Ilmu Al-Qur'an

Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (II)

Sel, 28 April 2020 | 03:00 WIB

Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (II)

(Foto ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an atau yang dikenal dengan qira’at Al-Qur’an –sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi lalu–ada yang berdampak pada perubahan makna. Perbedaan bacaan Al-Qur’an yang berpengaruh pada perubahan makna yaitu perbedaan bacaan yang berkaitan dengan substansi lafadz dalam Al-Qur’an. Sebab munculnya perbedaan bacaan itu kemudian juga berdampak pada ranah istimbath (penggalian kesimpulan) hukum.

 

Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam suatu persoalan, kadang, dilatarbelakangi oleh perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an. Seperti pada kasus shalat di belakang maqam Ibrahim. Dalam syariat Islam shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sebuah anjuran bagi kaum muslimin saat mereka melaksanakan thawaf. Tapi apakah anjuran ini berlegalitas hukum sunnah atau hukum wajib? Pada kesempatan ini, penulis akan menguraikan perbedaan tersebut dengan pendekatan perbedaan bacaan qira’at Asyrah dalam surat al-Baqarah ayat 125.

 

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

 

Para imam qira’at berbeda pendapat tentang bacaan lafadz وَاتَّخِذُوا; Imam Nafi’ dan Ibnu Amir membacanya dengan harakat fathah pada huruf kha’ (وَاتَّخَذُوا) bentuk madhi (kata kerja lampau), sedangkan imam-imam yang lain, seperti Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, al-Kisa’i, Abu Ja’far, Ya’kub al-Hadrami dan Khalaf, membacanya dengan harakat kasrah pada huruf kha’ (وَاتَّخِذُوا) bentuk amr (perintah) (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 40).

 

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa apabila dibaca dengan bentuk madhi, ia memiliki kandungan arti berita (وَاتَّخَذُوا), maka lafadz ini di-athaf-kan kepada lafadz sebelumnya, yaitu (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا). Dengan demikian, dua kalimat ini adalah satu susunan kata yang terikat. Sementara apabila dibaca dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا), ia memiliki kandungan arti perintah, maka pada lafadz (وَاتَّخِذُوا) adalah kalimat baru yang terputus dari kalimat yang pertama (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an , II: 110).

 

Senada dengan al-Qurtubi, Nabil Muhammad mengatakan bahwa apabila dibaca dengan fathah huruf kha’-nya (madhi), maka bacaan itu adalah mengandung arti berita atau pemberitahuan semata. Artinya, bahwa ayat ini sebuah kabar dari Allah bahwa anak keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Bacaan ini selaras dengan ayat sebelumnya yang berbentuk madhi juga, yaitu (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا).

 

Dari keselarasan kedua kelimat di atas, yang sama-sama berbentuk madhi (جَعَلْنَا) dan (اتّخَذُوا), maka bacaan ini memberi pemahaman bahwa Allah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia dan anak keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqamnya sebagai tempat shalat.

 

Sementara apabila dibaca dengan kasrah huruf kha’-nya (وَاتَّخِذُوا), maka bacaan itu adalah bentuk perintah (amr) dan perintah adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Artinya, melakukan shalat di maqam ibrahim adalah wajib. Bacaan ini di perkuat oleh sejarah perjalanan Nabi Muhammad bahwa beliau ketika melakukan thawaf di Baitul Haram, beliau membaca ayat ini (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى) kemudian beliau melaksanakan shalat sunnah dua rakaat di belakang maqam Ibrahim sesuai dengan perintah pada ayat di atas (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at; Nasy’atuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah: 381).

 

Sementara itu, Imam Nawawi al-Bantani menguraikan bahwa Imam Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, Ashim dan al-Kisa’i membaca dengan kasrah huruf kha’, dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا) yang berarti perintah. Untuk memperkuat pendapat bacaan ini beliau mengutip perkataan Imam Qatadah dan Imam al-Suddi: (أمروا أن يصلوا عنده). Artinya: “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat di maqam Ibrahim”. Dengan demikian, jumlah kalimat ini adalah kalam I’tiradh (berlawanan) di sela-sela kisah Nabi Ibrahim.

 

Sementara Imam Nafi’ dan Ibnu Amir membaca fathah huruf kha’ (وَاتَّخذُوا) dengan bentuk madhi, yang mengandung arti berita bahwa keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. (Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labid li Kasyfi makna Qur’an Majid /35).

 

Atas dasar perbedaan bacaan inilah kemudian para fuqaha’ berbeda pendapat soal status hukum shalat di belakang maqam Ibrahim, apakah ia berstatus sunnah atau berstatus wajib ?.

 

Malikiyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Imam Syafi’I menegaskan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sunnah.

 

Imam al-Zurqani dalam syarah kitab al-Muwatha’ menjelaskan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sunnah. Beliau berkata:

 

(فَرُبَّمَا صَلَّى عِنْدَ الْمَقَامِ) ، أَيْ خَلْفَ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عَمَلًا بِالْمُسْتَحَبِّ، (أَوْ عِنْدَ غَيْرِهِ) ، لِجَوَازِهِ.

 

Artinya: “Boleh jadi dia shalat di belakang maqam Ibrahim karena mengamalkan sunnah, atau di ditempat lain karena hal tersebut boleh. (Muhammad al-Zurqani al-Masri al-Azhari, Syarah al-Zurqani ‘Ala Muwattha’ Imam Malik. Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2003/juz 2/ 459).

 

Demikian pula, menurut Imam al-Qudamah bahwa shalat di belakang maqam adalah sunnah. Beliau berkata:

 

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَرْكَعَهُمَا خَلْفَ الْمَقَامِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى}

 

Artinya: “Disunnahkan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, karena susuai firman Allah (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى). (Ibu Qudamah, Al-Mughni Li Ibn Qudamah, Kairo: Maktabah Kairo, 1968, III: 347).

 

Sementara pendapat Imam Syafi’i terdapat dua pendapat; wajib dan sunnah.

 

وإذا فرغ من الطواف صلى ركعتي الطواف وهل يجب ذلك أم لا فيه قولان: أحدهما أنها واجبة لقوله عز وجل {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} [البقرة:125] الأمر يقتضي الوجوب والثاني لا يجب لأنها صلاة زائدة على الصلوات الخمس فلم تجب بالشرع على الأعيان كسائر النوافل والمستحب أن يصليهما عند المقام لما روى جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طاف بالبيت سبعاً وصلى خلف المقام ركعتين فإن صلاهما في مكان آخر جاز.

 

Artinya: “Apabila telah rampung melaksanakan thawaf, maka hendaklah shalat dua rakaat thawaf, apakah shalat ini wajib atau tidak? Ada dua qaul; salah satunya menyatakan bahwa shalat itu adalah wajib, sesuai firman Allah: (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً)—dibaca kasrah huruf kha’-nya. Adapun perintah mengandung arti wajib. Kedua, shalat di belakang maqam Ibrahim adalah tidak wajib, sebab itu adalah shalat tambahan atas shalat lima waktu, maka shalat itu tidak wajib menurut syara’, ia seperti shalat sunnah lainnya. Adapun yang disunnahkan adalah shalat dua rakaat di belakang maqam sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bahwa Nabi Muhammad Saw, thawaf di Baitul Haram tujuh kali dan shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim, apabila di laksanakan di tempat lain, maka boleh. (al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth/ juz 1/ 408).

 

Adapun menurut Imam Hanafi dan pengikutnya menyatakan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah wajib. Hal ini didasarkan pada ayat {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً}-dibaca kasrah huruf kha’-nya-. menurutnya bentuk amr dalam lafadz {وَاتَّخِذُوا } merupakan perintah yang harus dilaksanakan.

 

(ثُمَّ يَأْتِي الْمَقَامَ فَيُصَلِّي عِنْدَهُ رَكْعَتَيْنِ أَوْ حَيْثُ تَيَسَّرَ مِنْ الْمَسْجِدِ) وَهِيَ وَاجِبَةٌ عِنْدَنَا

 

Artinya: “Maka hendaknya dia shalat dua rakaat jika ia mendatangi maqam Ibrahim, atau sekiranya mudah (dilaksanakan) dari masjid. Shalat (di belakang maqam Ibrahim) itu menurut kami adalah wajib”.

 

Untuk memperkuat pendapat ini, beliau mengutip hadits Nabi Muhammad:

 

وَلِيُصَلِّ الطَّائِفُ لِكُلِّ أُسْبُوعٍ رَكْعَتَيْنِ

 

Artinya: “Hendaknya seorang yang thawaf melaksanakan shalat dua rakaat setiap (setelah) tujuh kali putaran”. Menurutnya, kata perintah di sini adalah wajib yang harus dilaksanakan. (Ibnu al-Hammam, Fathul Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tth/ juz 2/456).

 

Selaras dengan pendapat di atas, Imam Makki bin Abi Thalib menguraikan beberapa riwayat, diantaranya adalah;

 

روي أن النبي صلى الله عليه وسلّم أخذ بيد عمر رضي الله عنه، فلمّا أتيا المقام، قال عمر: هذا مقام أبينا إبراهيم ؟ فقال النبي نعم ، فقال عمر: أفلا نتخذه مصلّى ؟ فأنزل الله جلّ ذكره: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} على الأمر بذلك، اي افعلوه.

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, memegang tangan Umar, ketika keduanya sampai di maqam Ibrahim, Umar bertanya, “Apakah ini maqam bapak kita Ibrahim ?. Nabi menjawab, “Iya”. Maka umar berkata: “Apakah kami boleh menjadikannya tempat shalat ?. Maka Allah menurunkan ayat “Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat”. (ayat itu turun) atas perintah, artinya: “Lakukanlah itu”. (Makki bin Abi Thalib, Al-Kasyfu ‘An Wujuh al-Qira’at al-Sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984) 263.

 

Pendapat ini diperkuat oleh riwayat-riwayat yang lain yang disampaikan oleh Imam Abu Umar Hafs al-Duri dalam karyanya “ Juz’un Fihi Qira’at an-Nabi”.

 

حدثنا أحمد بن إسحاق الحضرمي، عن يحيى بن سعيد القطان، حدثني جعفر بن محمد، حدثني أبي قال: سمعت جابر بن عبد الله يقول : إن النبي صلى الله عليه وسلّم كان يقرأ (وَاتَّخِذُوا) مكسورة.

 

Ahmad bin Ishaq al-Hadhrami menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Said al-Qatthan, Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku, Bapakku bercerita bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw, membaca lafadz وَاتَّخِذُوأ dengan kasrah huruf kha’.

 

حدثنا أبو عمارة، عن أبي الفضل الأنصاري، عن القاسم بن عبد الرحمن الأنصاري، عن أبي جعفر محمد بن علي، عن جابر بن عبد الله الأنصاري أن النبي صلى الله عليه وسلّم قرأ (وَاتَّخِذُوا) على الأمر.

 

Abu Imarah bercerita kepada kami dari Abi al-Fadhl al-Anshari dari al-Qasim bin Abdurrahman al-Anshari dari Abi Ja’far Muhammad bin Ali dari Jabir bin Abdullah al-Anshari bahwa Nabi Muhammad Saw, membaca وَاتَّخِذُوأ dengan wazan amr (perintah). (Abu Umar Hafs al-Duri, Juz’un Fihi: Qira’at an-Nabi, Madinah: Mkatabah al-Dar, 1988) 71-72.

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an berpengaruh pada perubahan makna, dan atas dasar perbedaan itu pula para ulama fiqh ber-istimbath hukum. Selaras dengan fungsi turunnya Al-Qur’an, yaitu menjadi rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam, maka perbedaan dalam Al-Qur’an merupakan suatu manisfestasi rahmat itu sendiri, sebab tidak akan dijumpai perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an perbedaan yang kontradiktif, karena ia turun dan lahir dari kalam Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya.

 

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih