Ilmu Al-Qur'an

Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat atau Belum Jelas Maknanya

Sab, 29 Februari 2020 | 11:00 WIB

Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat atau Belum Jelas Maknanya

(Foto ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Untuk diketahui bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Begitu juga pada hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Allah ta'ala berfirman:

 

هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ (ءال عمران: 7)

 

Maknanya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan: "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal” (QS Al Imran: 7).

 

 

Ayat Muhkamat adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna yang jelas dan tidak memungkinkan untuk ditakwil (dipalingkan) ke makna lain, atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya, seperti firman Allah ta’ala:

 

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (الشورى: ١١)

 

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya)” (QS asy-Syura: 11).

 

Begitu juga ayat-ayat berikut ini:

 

وَلِلهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى (النحل: ٦٠)

 

Maknanya: “Dan Allah memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya” (QS an-Nahl: 60).

 

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص: ٤)

 

Maknanya: “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (QS al-Ikhlash: 4).

 

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ (النحل: ٧٤)

 

Maknanya: “Maka janganlah kamu mengadakan serupa-serupa bagi Allah” (QS an-Nahl: 74).

 

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (مريم:٦٥)

 

Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya” (QS Maryam: 65).

 

Ayat-ayat tersebut sangat jelas kandungan maknanya dan tidak memiliki makna lain kecuali makna bahwa Allah tidak menyerupai apa pun dan siapa pun

 

Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman, sehingga menuntut perenungan yang mendalam dari para ahli agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Ayat mutasyabihat adalah seperti firman Allah ta’ala:

 

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: ٥)

 

Surat Thaha ayat 5 tersebut memiliki beberapa kemungkinan makna. Karena kata (اِسْتَوَى) dalam bahasa Arab memiliki 15 makna, bahkan ada yang mengatakan 20 makna (lihat kitab-kitab mu’jam/kamus besar bahasa Arab, seperti Taj al-‘Arus dan lainnya).

 

Ada dua metode untuk menyikapi ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar:

 

Pertama, metode tafwidl (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil ijmali/takwil secara global). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama salaf (ulama yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah). Yaitu dengan cara mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah makna lahiriahnya yang merupakan sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat, yakni dengan meyakini bahwa ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak mengandung makna yang bertentangan dengan makna ayat-ayat muhkamat.

 

Kedua, metode ta’wil (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil tafshili/takwil secara terperinci). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama khalaf (ulama yang hidup setelah tiga abad pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna lahiriahnya.

 

Metode ta’wil ini sangat tepat dan bijak untuk diterapkan, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan aqidah di kalangan orang-orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Metode ini juga digunakan oleh sebagian ulama salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari dan lainnya.

 


Baca juga:
Benarkah Pelaku Takwil dan Tafwidl adalah Musyabbih?
Dua Sikap Ahlussunnah tentang Sifat Khabariyah Allah

 

 

 

(Bersambung)

 

Ustadz Nur Rohmad, Peneliti/Pemateri Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur