Ilmu Tauhid

Bagaimana Aqidah Penyandang Tunarungu Sekaligus Tunanetra?

Selasa, 28 Mei 2019 | 12:30 WIB

Aqidah adalah masalah paling pokok dalam agama Islam. Berbeda dengan persoalan fiqih yang sangat lentur dan bisa menampung banyak sekali perbedaan pendapat dari yang berat hingga ringan, persoalan aqidah dituntut untuk seragam sesuai dalil yang meyakinkan dari Al-Qur’an dan hadits. Kesalahan dalam masalah aqidah bisa berujung pada vonis sesat bahkan kafir, tergantung seberapa parah kesalahannya. Sebab itulah para ulama amat hati-hati bila sudah menyangkut persoalan aqidah.
 
Namun, bagaimana dengan aqidah seseorang yang menyandang tunarungu (tuli) dan tunanetra (buta) sekaligus? Jenis disabilitas ganda ini adalah jenis paling sulit untuk menerima informasi sebab jalur informasi utama berupa suara dan penglihatan terputus darinya. Dengan keterbatasan ini, sulit sekali untuk memberinya pemahaman yang baik tentang berbagai hal yang rumit, termasuk soal aqidah. Kemungkinan besar, penyandang disabilitas ganda semacam ini akan mereka-reka sendiri tentang Tuhan dan besar kemungkinan rekaannya akan salah. Kemungkinan ia akan jatuh pada penyembahan berhala, syirik atau mungkin tidak bertuhan sama sekali cukup besar sebab keterbatasan informasi yang ia dapat. 
 
Dalam hal semacam ini, para ulama ahli aqidah menyatakan bahwa manusia dengan keterbatasan akses mendengar sekaligus melihat itu tetaplah selamat di akhirat, meskipun ia salah dalam hal aqidah. Syekh Ibrahim al-Baijuri, salah satu Grand Syekh al-Azhar di masanya menjelaskan:
 
قال بعض أئمة الشافعية: لو خلق الله إنسانا أعمى أصم سقط عنه وجوب النظر والتكاليف وهو صحيح كما في شرح المصنف
 
“Sebagian para imam mazhab Syafi’iyah berkata: Bila Allah menciptakan seorang manusia tunanetra sekaligus tunarungu, maka gugurlah kewajiban berpikir tentang Tuhan dan segala tuntutan hukum baginya. Itu adalah pendapat yang sahih, seperti dalam penjelasan penulis.” (Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyat al-Baijuri ‘ala Jauharat at-Tauhid, 68)
 
Pendapat ini berdasarkan firman Allah:
 
 وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا 
 
"Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’: 15)
 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas semacam ini statusnya bebas dari berbagai tuntutan hukum seperti halnya orang yang tinggal jauh di pedalaman yang sama sekali tak pernah mendapat akses dakwah. Bila ia salah dalam berpikir atau bertindak, maka ia tidaklah dianggap berdosa sebab ajaran Islam memang tak bisa sampai padanya. Namun bila dengan cara tertentu penyandang disabilitas tersebut bisa mengakses informasi dakwah dari orang lain, maka barulah dalam hal tersebut ia terkena beban hukum dan harus taat. Wallahu a'lam.
 
 
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.