Ilmu Tauhid

Empat Jenis Keimanan Manusia atas Penularan Wabah Penyakit

Rabu, 8 April 2020 | 11:30 WIB

Empat Jenis Keimanan Manusia atas Penularan Wabah Penyakit

Penularan wabah penyakit berlaku hanya secara hukum kebiasaan/adat

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karyanya Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un mencoba menyimpulkan sikap teologis manusia atas penularan wabah penyakit. Ia menyebut setidaknya empat pandangan manusia atas penularan wabah penyakit.

1. Wabah penyakit secara alamiah semata dapat menular kepada sesama manusia atau makhluk hidup secara umum. Ini pandangan orang kafir.

2. Wabah penyakit dapat menular kepada sesama manusia atau makhluk hidup secara umum melalui kekuatan atau sebab yang Allah ciptakan dan titipkan padanya, sesuatu kekuatan yang tidak pernah lepas darinya. Hanya karena mukjizat (untuk nabi) atau karamah (untuk wali), seseorang dapat tercegah dari penularan wabah penyakit. Ini salah satu pandangan sekte dalam Islam, tetapi pandangan ini lemah. (Kelompok yang dimaksud Al-Asqalani bisa jadi adalah Muktazilah).

3. Wabah penyakit dapat menular kepada sesama makhluk hidup bukan secara alamiah, tetapi secara hukum kebiasaan/adat yang diberlakukan oleh Allah (sunnatullah) pada ghalibnya sebagaimana Allah membuat sunnatullah pada pembakaran oleh api. Hukum kebiasaan ini dapat tidak berlaku pada saat-saat tertentu atas kehendak Allah. Namun demikian, ketidakberlakuan hukum kebiasaan ini jarang sekali terjadi dalam kebiasaan.  

4. Wabah penyakit tidak menular secara alamiah sama sekali. Tetapi penyakit yang menjangkiti seseorang pada saat yang bertepatan dengan wabah, maka Allah menciptakan penyakit pada dirinya sedari mula, (bukan karena penularan). Oleh karena itu, "Kau melihat banyak orang sakit dikatakan bahwa mereka dapat menularkan penyakitnya, sementara orang sehat banyak melakukan kontak dengannya tanpa tertular sedikitpun. Tetapi kau melihat banyak orang yang tidak pernah sama sekali melakukan kontak langsung dengan penderita penyakit 'menular' justru mengidap penyakit yang sama. Semua itu terjadi berkat takdir Allah SWT.

والمذهبان الأخيران مشهوران والذي يترجح في باب العدوى هو الأخير عملا بعموم قوله صلى الله عليه وسلم لا يعدي شيء شيأ وقوله ردا على من أثبت العدوى فمن أعدى الأول؟ كما تقدم تقريره والله سبحانه وتعالى أعلم

Artinya, “Kedua pandangan terakhir cukup terkenal (dianut banyak orang). Pandangan yang paling kuat dari keduanya adalah pandangan terakhir (keempat) dengan mengamalkan keumuman hadits, ‘Sesuatu (penyakit) tidak menular pada sesuatu’ dan penolakan Rasulullah atas pandangan masyarakat (jahiliyah) yang menetapkan penularan dengan sabdanya, ‘Lalu siapa yang menulari penderita pertama?’ sebagaimana ketetapan yang telah lalu. Wallahu SWT a‘lam,” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul Ashimah: tanpa tahun], halaman 344)

Al-Asqalani sebelumnya menjelaskan bantahan atas pandangan penularan wabah penyakit. Ia mengutip Qadhi Tajuddin RA yang mengatakan bahwa penularan wabah penyakit berlaku hanya secara hukum kebiasaan/adat. Sedangkan maksud hadits Rasulullah SAW yang menapikan penularan wabah penyakit adalah penularan penyakit secara alamiah, (bukan atas kehendak dan kuasa Allah). (Al-Asqalani, tanpa tahun: 342).

Penjelasan Al-Asqalani sejalan dengan hukum 'adi, satu dari tiga kategori hukum dalam kajian Ilmu Kalam menurut pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu hukum aqli (wajib, mustahil, ja’iz), hukum sya’ri (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), dan hukum ‘adi (hukum kebiasaan yang sah bersalahan/la ta'tsira li syai'in minal ka'inati bi quwwatihi wa thab'ihi).
 
Pandangan ini tidak menafikan perintah agama untuk menjaga diri dari penyebaran wabah penyakit secara hukum kebiasaan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)