Ilmu Tauhid

Empat Masalah dalam Buku-buku Anti-Asy'ariyah-Maturidiyah

Ahad, 15 Juli 2018 | 08:15 WIB

Ada banyak kitab atau buku akidah baru yang dibuat khusus sebagai kecaman terhadap Asy'ariyah. Buku-buku tersebut biasanya menukil pernyataan tokoh-tokoh di masa lalu yang memojokkan Asy'ariyah-Maturidiyah, dua mazhab teologi yang dianut Ahlussunnah wal Jamaah. Asy’ariyah dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari, sedangkan Maturidiyah oleh Abu Mansur al-Maturidi.
 
Kalau dilihat di menu update Maktabah Syamilah atau di portal-portal kitab pdf, makin lama makin banyak jumlah kitab beginian sebab ada kelompok yang alergi sekali dengan mazhab akidah terbesar dalam sejarah umat Islam ini. Hingga kini, mereka yang alergi ini terus membuat banyak kitab yang isinya sama saja, hanya mengulang-ulang kritik yang sudah kuno yang sejatinya sudah dijawab sejak dahulu kala oleh para ulama.
 
Baca juga: Dalil dan Penjelasan tentang 20 Sifat Wajib bagi Allah
Satu kekurangan besar dari kitab-kitab semacam itu, yakni minimnya objektivitas. Meskipun isinya ada yang tebal hingga lebih dari 500 halaman, objektivitasnya tetap saja sangat minim, kalau tak mau dibilang tak ada. Contoh minimnya objektivitas itu dapat dilihat dari hal-hal berikut:
 
1. Tidak representatif. 
 
Menukil banyak nukilan bukan berarti sudah representatif. Ini pelajaran dasar dalam ilmu penelitian yang anehnya para penulis buku itu seperti tak ada yang paham soal ini. Karena tidak representatif, tulisan mereka setara dengan klaim bahwa orang se-indonesia ingin ganti presiden, orang se-indonesia benci tokoh ABC dan sebagainya. Meskipun klaim-klaim seperti itu diberi nukilan dari pernyataan ribuan orang hingga dicetak mencapai ribuan halaman, tetap saja tidak representatif sebab penduduk Indonesia lebih dari 250 juta orang. Kesepakatan sebagian orang tak bisa digeneralisasi menjadi kesepakatan (ijma‘) seluruh orang, apalagi hanya kesepakatan segelintir orang.
 
Demikian juga dalam hal akidah. Menukil puluhan orang yang mencela Asy'ariyah-Maturidiyah atau bahkan ratusan orang sekalipun tetap saja tidak representatif sebab kenyataan sejarahnya adalah selama satu milenium lebih Asy'ariyah-Maturidiyah adalah mayoritas. Apalagi bila yang dinukil bukan tokoh-tokoh besar yang diakui sebagai representasi sebuah golongan.
 
2. Tidak mendudukkan masalah secara proporsional.
 
Ambil contoh sederhana, menukil seluruh pernyataan ulama yang anti terhadap takwil untuk memojokkan Asy'ariyah. Padahal faktanya hanya sebagian dari Asy'ariyah yang mentakwil. Umumnya, para imam Asy'ariyah mengajarkan tafwidh (memasrahkan makna definitif suatu sifat kepada Allah tanpa membahas secara mendalam apa maksudnya sambil memastikan bahwa bukan makna jismiyah yang dimaksud) sebagaimana mayoritas ulama salaf juga melakukannya. Ulama Asy'ariyah yang men-tafwidh ini juga mengkritik keras para penakwil. Adalah kekonyolan bila kemudian berbagai pernyataan ulama yang anti-tafwidh itu dijadikan serangan pada Asy'ariyah secara umum ketika faktanya Asy'ariyah sendiri juga tak semua setuju takwil. Bahkan tak jarang ada nukilan dari ulama anti takwil yang dinukil dalam konteks memojokkan Asy'ariyah padahal nyata-nyata ulama yang bersangkutan adalah Asy'ariyah juga.
 
Ada juga nukilan dari ulama yang dengan tegas mengaku bukan Asy'ariyah dan bahkan menyatakan tidak setuju terhadap Asy'ariyah. Namun ternyata pendapat ulama tersebut sama saja dengan ulama Asy'ariyah pada umumnya, hanya berbeda dalam beberapa hal yang dalam internal Asy'ariyah sendiri bukanlah sebuah kesepakatan. Ulama Asy'ariyah tak ada yang mempermasalahkan soal penisbatan sebagai pengikut Asy'ariyah atau bukan sehingga hal seperti ini tidak penting. Yang penting adalah pendapatnya tidak keluar dari ruang lingkup Ahlussunnah wal Jama'ah. 
Karena itulah, Asy'ariyah tak mempermasalahkan pengikut Imam Maturidi meskipun menisbatkan diri bukan pada Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Demikian juga tak masalah bila ada yang mau menisbatkan diri kepada Imam at-Thahawi atau Imam Ahmad selama betul-betul konsisten atas pendapat mereka sebab sejatinya para imam besar itu tidak berselisih paham soal akidah.
 
3. Tidak tahqiq (memeriksa secara detail) terhadap istilah atau ungkapan.
 
Banyak sekali istilah bersayap dalam bahasan akidah. Istilah atau ungkapan seperti "makna dhahir", "tanpa tasybih", "tanpa takyif", "bidzatihi", "haqiqatan" dan sebagainya beda-beda artinya ketika diucapkan oleh tokoh yang berbeda. Misalnya:
 
• Ketika seorang ahli tajsim (percaya bahwa Allah berfisik, red) mengatakan "tanpa tasybih" itu artinya fisik Allah tidak mirip dengan kita. Namun ketika seorang ahli tanzih (menolak bahwa Allah berfisik, red) mengatakan "tanpa tasybih" itu artinya Dzat Allah bukan bentuk fisik.
 
• Ketika seorang ahli tasybih mengatakan "bidzatihi", itu artinya dengan organ fisik Allah sendiri. Namun ketika seorang ahli tanzih mengatakan "bidzatihi", itu artinya Allah melakukannya sendiri bukan diwakili malaikat atau siapapun.
 
• Ketika seorang ahli tajsim mengatakan bahwa sebuah sifat Allah harus dipahami secara "haqiqatan" itu artinya sebagai makna secara fisikal. Namun ketika seorang ahli tanzih mengatakan hal yang sama, itu artinya makna yang tak perlu ditakwil tapi cukup di-tafwidh. Hal yang sama juga berlaku pada ungkapan "dhahir".
 
Istilah atau ungkapan yang bersayap ini ketika tidak ditahqiq akan menimbulkan kerancuan. Kitab-kitab pengkritik Asy'ariyah itu biasanya mencampur adukkan istilah-istilah itu tanpa tahqiq sehingga seringkali menukil sebuah nukilan yang tidak tepat. Misalnya saja menukil sebagian ulama Asy'ariyah yang mencela makna dhahir dalam arti sebagai makna fisikal dengan pernyataan tokoh ulama yang mewajibkan penggunaan makna dhahir, padahal makna dhahir yang dimaksud ulama yang bersangkutan bukanlah makna fisikal sehingga sejatinya sama sekali tidak bertentangan.
 
4. Tidak memilah keahlian tokoh yang dinukil.
 
Masing-masing tokoh punya keahlian atau spesialisasi yang berbeda. Ada yang ahli di bidang fikih, bidang rijalul hadis, bidang sejarah, bidang ilmu gramatika dan seterusnya. Ilmu Kalam adalah sebuah disiplin ilmu yang mandiri, sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Yang harus disadari adalah tidak semua tokoh ulama ahli dalam ilmu kalam, meskipun mereka adalah tokoh besar dalam rumah besar Ahlusunnah Wal Jama'ah.
 
Adalah bukan pada tempatnya menukil pernyataan ulama yang tidak ahli di bidang ilmu kalam untuk mematahkan pernyataan ulama yang ahli di bidang ilmu ini dalam persoalan kalamiyah. Bila hal ini dilakukan, tak jarang yang terjadi hanyalah kesalahpahaman semata.
 
Itulah empat masalah yang ada dalam buku-buku akidah Asy'ariyah-Maturidyah. Para pembaca yang kritis yang kaya literasi tentu akan menyadari keempat masalah tersebut. Namun berbeda halnya dengan pembaca yang literasinya kurang, apalagi bila tahunya hanya buku-buku semacam itu saja, maka kemungkinan besar ia akan menganggap  isinya sebagai kebenaran, padahal faktanya tidak demikian.
 
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember sekaligus Aktifis Aswaja NU Center Jember