Ilmu Tauhid

Ini Pandangan Imam Al-Ghazali Terkait Kafir-Mengafirkan atau Takfiri

Rab, 3 Juni 2020 | 11:30 WIB

Ini Pandangan Imam Al-Ghazali Terkait Kafir-Mengafirkan atau Takfiri

Tuduhan kafir terhadap orang lain tidak dapat dilontarkan secara sembarangan dan ringan.

Fenomena takfir atau tuduhan kekafiran terhadap orang lain (baik secara individu maupun secara kelompok) lain bukan merupakan fenomena 20 tahun terakhir yang dibarengi dengan tindakan teror. Takfir terjadi sejak awal penyebaran dan perkembangan agama Islam yang melahirkan banyak mazhab.


Tuduhan kafir terhadap orang lain atau kelompok didorong oleh berbagai kepentingan. Tuduhan kafir kadang dilontarkan secara murah atau asal saja tanpa argumentasi dan dalil yang kokoh serta meyakinkan. Tuduhan kafir pada beberapa kejadian dilontarkan hanya didasarkan pada perbedaan pandangan dan identitas kelompok politik atau sosial-keagamaan.


Al-Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tuduhan kafir terhadap orang lain tidak dapat dilontarkan secara sembarangan dan ringan. Menurutnya, perlu ada penjelasan terkait batasan kafir dan tidak kafir yang mengharuskan uraian rinci semua pandangan dan mazhab pemikiran; menjelaskan kesyubhatannya; serta argumentasi dan interpretasi pandangan tersebut yang jauh dari zahirnya.


Penjelasan tersebut memerlukan berjilid-jilid buku. Al-Ghazali tidak punya cukup waktu untuk melakukan proyek besar tersebut. Tetapi ia mencukupkan pada pesan dan ketentuan singkat yang ditulisnya dalam Fashlut Tafriqah yang dikutip berikut ini:


أما الوصية فأن تكف لسانك عن أهل القبلة ما أمكنك ما داموا قائلين لا إله إلا الله محمد رسول الله غير مناقضين لها. والمناقضة تجويزهم الكذب على رسول الله بعذر أو غير عذر، فإن التكفير فيه خطر والسكوت لا خطر فيه


Artinya, “Adapun pesan (saya), kau menahan sedapat mungkin ucapanmu tentang (keimanan/kekufuran) ahli kiblat selama mereka mengucapkan ‘Lā ilāha ilallāh, Muhammadar rasūlullāh’ tanpa membatalkannya. Pembatalan (kalimat tauhid) itu adalah pernyataan kemungkinan dusta atas kabar Rasulullah dengan atau tanpa uzur. Pasalnya, pengafiran dalam hal ini berbahaya. Diam itu tidak berbahaya,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Fashlut Tafriqah pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun] halaman 265).


Imam Al-Ghazali juga mengutip pandangan Ibnu Kaisan yang memasukkan pasal imamah ke dalam keimanan. Menurut Ibnu Kaisan, tindakan kelompok yang memasukkan pasal imamah satu paket dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya adalah tindakan berlebihan. Pasalnya, imamah tidak termasuk ke dalam rukun iman yang enam.


فقد أنكر ابن كيسان أصل وجوب الإمامة ولا يلزم تكفيره ولا يلتفت إلى قوم يعظمون أمر الإمامة ويجعلون الإيمان بالإمام مقرونا بالله وبرسوله ولا إلى خصومهم المكفرين لهم بمجرد مذهبهم في الإمامة. فكل ذلك إسراف إذ ليس في واحد من القولين تكذيب للرسول أصلا، ومهما وجد التكذيب وجد التكفير وإن كان في الفروع


Artinya, “Ibnu Kaisan mengingkari asal kewajiban imamah. Tidak wajib mengafirinya dan tidak perlu memerhatikan kelompok yang mengagungkan masalah imamah dan menjadikan keimanan terhadap imam sepaket dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya; dan kepada permusuhan mereka yang melakukan takfir semata karena pandangan mazhab mereka perihal imam. Semua itu adalah tindakan berlebihan karena tidak satupun dari kedua pandangan ini pendustaan (takzib) sama sekali terhadap Rasulullah SAW. Ketika terdapat takzib, maka di situ ada takfir meski pada masalah furu,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Fashlut Tafriqah: 265).


Dari sini kemudian, kita dapat menyimpulkan bahwa Imam Al-Ghazali membagi dua bagian yang membatasi keimanan seseorang, yaitu keimanan pada pokok-pokok agama Islam (ushuliyyah) dan keimanan pada khabar atau informasi (furuiyyah) dari Rasulullah dengan jalur mutawatir (tawatur). Pandangan ini digali dari sumber primer keislaman, Al-Qur'an, hadits, dan juga kehidupan para sahabat dalam menyikapi perbedaan pandangan. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)