Ilmu Tauhid

Politik Identitas dan Gelombang Aksi Bela Islam dalam Kajian Aqidah

Sel, 15 Oktober 2019 | 14:10 WIB

Politik Identitas dan Gelombang Aksi Bela Islam dalam Kajian Aqidah

Ilustrasi politik Indonesia. (NU Online)

Kita di Indonesia sering kali dikejutkan dengan peristiwa penolakan seseorang Muslim untuk menyanyikan lagu Indonesia raya, atau penolakan untuk mengambil sikap berdiri ketika lagu kebangsaan ini dinyanyikan bersama. Kita juga kerap menemukan seseorang Muslim menolak penghormatan bendera merah putih sebagai simbol negara. 
 
Ada juga sebagian mereka yang tidak menolak simbol-simbol negara, namun mereka membedakan umat Islam berdasarkan preferensi politik.
 
Penolakan-penolakan semacam ini dan pembelahan umat berdasarkan preferensi politik umumnya kerap disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap konsep al-wala wal bara. Al-wala biasa diartikan sebagai loyalitas. Sedangkan al-bara diartikan berlepas diri atau pengingkaran.

Umat Islam bersaudara. Satu sama lain dituntut untuk bersikap loyal. Umat Islam melalui al-bara dituntut untuk mengingkari kekufuran, kesesatan, dan kezaliman. Oleh sebagian kelompok eksklusif Muslim, al-wala dipahami sebagai larangan untuk bersikap loyal kepada non-Muslim. Oleh sebagian kelompok, al-bara dipahami sebagai perintah terhadap umat Islam untuk membenci, memusuhi, dan menghancurkan orang kafir, orang musyrik, dan Muslim yang berbuat bid‘ah atau Muslim yang berhubungan baik dengan non-Muslim.

Banyak dalil agama yang menunjukkan al-wala wal bara sebagai ajaran Islam. Tetapi, al-wala wal bara sering diartikan ekstrem dalam kehidupan sosial dan politik yang sangat melewati batas. Dalil yang sering diajukan adalah Surat Al-Ma’idah ayat 51, Al-Mujadalah ayat 22, dan Al-Mumtahanah ayat 4.

Surat Al-Ma’idah ayat 51 berbunyi sebaga berikut:
 
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 
 
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Al-Mujadalah ayat 22:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Mereka kelak dimasukan oleh-Nya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sungguh hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

Al-Mumtahanah ayat 4:
 
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
 
Artinya, “Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sungguh aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali".

Al-wala wal bara ini oleh sebagian orang dihadap-hadapkan pada negara, nasionalisme, simbol negara berupa lagu kebangsaan dan bendera negara. Negara, nasionalisme, simbol negara baik lagu kebangsaan maupun bendera negara dianggap sebagai berhala sesembahan selain Allah. Sekelompok orang ini memahaminya demikian dengan mendasarkannya pada Surat Al-Jin ayat 18:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا 

Artinya, “Sungguh masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”

Pemahaman eksklusif atas al-wala wal bara yang cenderung keras ini dikemukakan oleh Muhammad bin Sa‘id Al-Qahthani secara tersendiri dalam tesisnya yang diselesaikan pada 1401 H/1981 M di Universitas Ummul Qura, Makkah. Tesis yang diberi pengantar oleh salah seorang pengujinya, Syekh Abdurrazaq Afifi, kemudian dibukukan dengan judul Al-Wala wal Bara fil Islam.

Al-Qahthani secara ekstrem mempertentangkan segala bentuk pemikiran, aliran, dan gerakan kontemporer seperti kebangsaan atau nasionalisme, humanisme dengan aqidah al-wala wal bara.

Menurutnya, paham kebangsaan atau nasionalisme membatasi al-wala atau loyalitas terhadap sesama Muslim berdasarkan sistem zonasi sehingga empati dan kepedulian didasarkan pada geografis yang mempersatukan Muslim Arab, Yahudi Arab, Nasrani Arab, Ba‘ats Arab.

Ikatan nasionalisme mempersatukan mereka. Ini, kata Al-Qahthani, bertentangan dengan Islam yang mengikat orang berdasarkan akidah terlepas dari bangsa dan negara mana pun. Sedangkan paham nasionalisme membatasi al-wala. Menurutnya, paham kebangsaan yang bersifat zonasi dan geografis ini membuat lemah umat Islam dan memudahkan invasi serta okupasi kolonial Eropa, yang mana mereka adalah Yahudi dan Nasrani atau penjajah ateis setelah itu, yakni komunis, (Al-Qahthani, 1997 M: 419).

Al-Qahthani menyimpulkan bahwa nasionalisme adalah bentuk kemusyrikan terhadap Allah karena menuntut penganutnya untuk bekerja, berkorban, berempati, dan loyal semata untuk bangsa dan negara. Dengan demikian bangsa dan negara menjadi berhala yang disembah. Paham nasionalisme ini jelas menafikan konsep al-wala wal bara yang menjadi rukun uluhiyah dan ubudiyah kalimat tauhid La ilaha illallah dengan dalil Al-Baqarah ayat 165.

Menurutnya, di samping kebenaran hanya ada kesesatan. Ia memperingatkan umat Islam agar waspada terhadap kemusyrikan terselubung.

Logika hitam putih ini yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri 'Mazhab Wahabi,' (1115 H/1701 M-1206 H/1793 M), dan penerusnya yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) dalam Syarah Ushulut Tsalatsah, Sa‘id Abdul Mughni dalam karyanya Haqiqatul Wala wal Bara fi Mu’taqadi Ahlissunnah wal Jamaah, dan Al-Qahthani dalam karyanya Al-Wala wal Bara fil Islam.

Al-Qahthani juga membahas paham humanisme universal atau gerakan kemanusiaan tanpa memandang latar belakang SARA dari sudut pandang al-wala wal bara. Ia mengkritik paham kemanusiaan dan gerakan kemanusiaan.

Menurutnya, humanisme mengambil posisi serupa dengan paham nasionalisme dalam kaitannya dengan al-wala wal bara Islam. Hanya saja humanisme universal atau paham kemanusiaan ini ada di kutub yang berseberangan dengan nasionalisme, yaitu memasukkan siapa saja ke dalam al-wala tanpa memandang bangsa, negara, dan agama yang menegasikan al-bara. Kemanusiaan ini, menurutnya, berdiri di atas asas yang menipu dan ilusi, yaitu kemerdekaan, persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan (Al-Qahthani, 1997 M: 425).

Pandangan-pandangan terkait al-wala wal bara secara eksklusif ini dikembangkan atas dasar dalil-dalil Al-Qur’an yang bersifat khusus pada kondisi tertentu dengan mengabaikan dalil Al-Qur’an yang bersifat umum pada situasi normal sekaligus menafikan realitas sosial dan politik yang heterogen.

Kesalahpahaman atas al-wala wal bara yang dikampanyekan oleh sekelompok orang ini kemudian menciptakan keresahan di tengah masyarakat dengan sistem sosial dan politik yang kompleks, dan menciptakan eksklusitivitas umat Islam serta mendorong umat untuk berlaku tidak adil.

Pandangan yang cenderung eksklusif ini terjadi karena sekelompok itu menyeleksi dalil-dalil yang mendukung pandangan eksklusif dan intoleransi mereka dengan mengabaikan dalil-dalil Al-Qur’an lainnya yang bertentangan dengan pemahaman mereka.

Kesalahpahaman atas pengamalan al-wala wal bara ini berkontribusi besar pada praktik eksklusif beragama beberapa tahun belakangan di Indonesia. Sikap itu ditandai dengan menguatnya politik identitas, gerakan intoleransi atas keragaman preferensi politik setidaknya pada Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019.

Kesalahpahaman atas al-wala wal bara ini juga mengambil bentuk hoaks dan ujaran kebencian atas nama agama, dan pelbagai gelombang aksi bela ini dan aksi bela itu sekurangnya 5 tahun belakangan di Indonesia. Dalam fiqih keseharian, mereka bisa jadi bermazhab Syafi’i dan melakukan amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah seperti tahlilan, ziarah kubur, dan lain sebagainya. Tetapi secara aqidah, mereka secara sadar atau tidak, mengikuti penafsiran eksklusif atas al-wala wal bara yang dikampanyekan oleh kelompok Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan penerusnya.
 
Yang perlu diingat adalah bahwa al-wala wal bara diamalkan dalam konteks jihad sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M-728 H/1328 M) atas Surat Al-Mujadalah ayat 22 dalam karyanya, Kitab Al-Iman halaman 21-22. Sebagaimana dimaklumi, jihad termasuk al-wala wal bara yang menjadi turunannya menuntut ketentuan dan syarat tertentu, salah satunya perintah jihad atau perang yang diumumkan oleh pemerintah seperti diatur dalam fiqih siyasah. Pengamalan al-wala wal bara dalam situasi normal, dalam hal ini kontestasi elektoral pemilu, tidak memenuhi syarat.
 
Adapun penolakan terhadap simbol negara seperti lagu kebangsaan dan hormat bendera merupakan pengamalan al-bara yang berlebihan, melewati batas, dan tidak berdasar. Wallau a‘lam.
 
 
Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Muchlishon