Internasional

Akhirnya Taliban Dirikan Sekolah untuk Anak Perempuan

Jum, 17 Januari 2014 | 17:38 WIB

Kabul, NU Online
Saat Taliban melarang anak- anak perempuan untuk bersekolah di tahun 1990-an, Mulah Wakil Ahmad Muttawakil menjabat sebagai menteri luar negeri.
<>
Kini, putri Muttawakil bersekolah di Kabul— di sebuah sekolah yang ia bangun. “Ia duduk di kelas dua dan menjadi salah satu siswa berprestasi di kelasnya,” ujarnya bangga. Katanya ia sering membantu anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Demikian dilaporkan oleh wall street journal, Kamis (17/1).

Putrinya adalah satu dari 250 anak perempuan yang mendaftar di sekolah yang ia dirikan tiga tahun lalu bersama sejumlah mantan pejabat Taliban yang lebih memilih bersikap moderat dalam beberapa tahun belakangan.

Seperti juga pendiri lain, Mullah Abdul Salam Zaeef, mantan duta besar Taliban untuk Pakistan, Muttawakil menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara milik Amerika Serikat (AS) setelah rezim Taliban digulingkan pada 2001. Keduanya berada dalam pengawasan pemerintah, namun tak satu pun dari mereka menolak kepemimpinan Mullah Omar.

Dalam beberapa tahun terakhir, kepemimpinan Taliban telah berupaya memperlunak citra di mata masyarakat. Mereka ingin kembali berkuasa di saat pasukan koalisi pimpinan AS keluar dari negeri itu pada Desember. Dalam pernyataan publik, Taliban menyatakan dukungan terhadap pendidikan bagi kaum wanita sejauh pengajaran dilakukan dalam suasana Islami.

Sekolah yang didirikan di Kabul oleh Muttawakil dan mantan pejabat Taliban digembar-gemborkan lebih dari itu, dan memberi pandangan sekilas tentang bagaimana wajah pendidikan di wilayah yang dikuasai pemberontak.

Gagasan di balik sekolah Afghan, ujar Muttawakil, adalah “menjembatani jurang antara sekolah modern dan madrasah.”

Lembaga yang menaungi sekolah dasar hingga sekolah menengah atas itu menerapkan pemisahan antara lelaki dan perempuan.

Para siswa mendapat porsi besar pelajaran agama. Dalam kunjungan ke sekolah itu baru-baru ini, para siswa kelas satu berdiri untuk membawakan huruf Hijaiyah. Namun, mereka pun belajar bahasa Inggris dan komputer.

Selain kurikulum pemerintah, sekolah itu juga menawarkan kursus keterampilan: memasak dan menjahit bagi para siswi, dan pelatihan kelistrikan bagi para siswa.

Satu-satunya ruangan yang menyatukan keberadaan murid lelaki dan perempuan adalah laboratorium kimia, dengan pintu terpisah. Jendela besar laboratorium dicat agar para siswa tidak bisa mengintip ke wilayah para siswi.

Hebatnya, model tersebut mendapat persetujuan pemerintah Afghanistan dan Taliban. Kementerian Pendidikan Afghanistan baru-baru ini menggolongkan sekolah tersebut sebagai salah satu yang terbaik di Kabul.

“Menurut aturan Islam dan budaya Afghanistan, sistemnya bagus,” ujar Kabir Hakmal, juru bicara kementerian. “Sistem itu mendorong keluarga untuk menyekolahkan para putrinya.”

Dalam masyarakat yang konservatif seperti itu, banyak keluarga enggan menyekolahkan anak perempuan. Pendaftaran anak perempuan ke sekolah terus meningkat sejak 2001, tetapi belum maksimal: sekitar 66% anak perempuan masuk sekolah dasar, sementara murid laki-laki berjumlah 92%, demikian data pemerintah pada 2012. Persentase itu turun menjadi 26% pada tingkat sekolah menengah pertama saat para gadis memasuki masa pubertas dan memasuki usia menikah.

Itu prestasi besar dari sektor pendidikan di puncak kekuasaan Taliban pada 1999 yang hanya mencatat 6,4% gadis usia sekolah dasar di Aghanistan mendapatkan pengajaran, demikian perkiraan Badan Pembangunan Internasional AS. 
PBNU turun mendorong pengembangan pendidikan bagi perempuan Afganistan. Mulai September 2013 lalu, sebanyak 23 mahasiswa perempuan asal Afganistan memperoleh beasiswa dari PBNU untuk belajar di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Mereka belajar dalam berbagai program studi seperti ekonomi, farmasi, hubungan internasional, dan lainnya. (mukafi niam)
Foto: wsj