Khutbah

Khutbah Jumat: Islam, Agama Ramah Budaya

Kam, 21 April 2022 | 06:30 WIB

Khutbah Jumat: Islam, Agama Ramah Budaya

Khutbah Jumat: Islam, Agama Ramah Budaya. (Foto: Masjid Menara Kudus/Wikipedia)

Materi khutbah Jumat kali ini menekankan bahwa Islam bukanlah agama yang antibudaya. Ia memang berasal dari “langit” tetapi bukan berarti mengawang-awang, tidak membumi dengan realitas kehidupan manusia.

 


Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul "Khutbah Jumat: Islam, Agama Ramah Budaya". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)



Khutbah I


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى، وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى. أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ يَلْهَجُ أُوْلُوْ الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى. وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمٍ لَا يُحْصَى لَهَا عَدَدًا وَلَا أَبْلُغُ لَهَا مُنْتَهَى. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْكَبِيْرُ الْأَعْلَى. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلَى سَبِيْلِ الْأَقْوَمِ وَالْمُحَذِّرُ مِنْ طُرُقِ الْهَلَاكِ وَالشَّقَا. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَئِمَّةِ الْعِلْمِ وَالْهُدَى


أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهاَ الْحَاضِرُوْنَ الْمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَقَالَ أَيْضًا: وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ


Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Khatib mengajak di siang barakah ini kepada diri sendiri dan kepada jamaah semua untuk memperkuat ketakwaan kita kepada Allah. Karena pribadi yang muttaqin-lah yang menjadi parameter derajat kemuliaan manusia di sisi Allah. Mari tingkatkan kualitas kepatuhan terhadap segala perintah dan larangan-Nya.


Hadirin,
Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Islam terkait dengan sumber ilahiah yang memiliki kebenaran mutlak karena berasal dari Tuhan, sedangkan budaya berkenaan dengan pikiran, perilaku, dan kreativitas manusia. Namun, dua hal ini memiliki keterkaitan yang sangat kuat, saling tumpang tindih, dan saling menopang satu sama lain. Dengan bahasa lain, Islam dan budaya memang berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan.


Setiap manusia pasti berbudaya. Karena inilah ciri khas yang membedakannya dengan spesies binatang. Ketika agama samawi turun untuk manusia maka secara otomatis ia akan bersentuhan dengan budaya manusia: tentang pakaian, pola makan, tempat tinggal, serta cara berperilaku, berinteraksi dengan masyarakat dan alam, mengatasi masalah, dan lain sebagainya.


Islam sendiri ketika hadir di jazirah Arab melalui Nabi Muhammad saw tidak lantas memberangus semua budaya masyarakat jahiliyah. Rasulullah memang melakukan reformasi budaya tetapi beliau tidak lantas menghapus total budaya lama lalu digantikan dengan budaya yang sama sekali baru. Contohnya adalah kasus ritual haji. Sebelum Baginda Muhammad diutus sebagai nabi, masyarakat jahiliyah sudah sejak lama memiliki tradisi tawaf di Ka’bah. Hanya saja, ketika itu tawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sambil bertelanjang busana. Islam kemudian datang melanjutkan tradisi tawaf tersebut dengan mengubah perilaku bertelanjang dengan busana yang terhormat.


Tradisi zaman pra-Islam lain yang kemudian diakomodasi ke dalam syariat Islam adalah puasa Asyura, aqiqah atas kelahiran bayi, dan lain sebagainya. Meskipun Rasulullah melakukan perubahan atas tradisi tetapi kesan bahwa Islam cukup akomodatif terhadap budaya sangat tampak.


Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Kehidupan manusia adalah sesuatu yang terus bergerak. Budaya manusia pada kenyataannya bukan hanya beragam tetapi juga bisa berubah-ubah. Budaya di negara Indonesia bisa berbeda dari negara Amerika Serikat, negara Amerika Serikat berbeda dari Arab, dan negara Arab berbeda dari Indonesia, dan seterusnya. Bukan hanya itu, dalam perjalanan sejarah masing-masing negara bisa mengalami perubahan-perubahan sehingga budaya pada satu zaman bisa berbeda pada zaman lainnya.


Di tengah dinamika semacam itu, Islam mesti tetap menunjukkan nilai universalnya, membuktikan bahwa ia tetap layak untuk semua tempat dan zaman (shalihun li kulli zaman wal makan). Hadratussyekh KH Achamd Siddiq pernah mengatakan, universalitas Isiam (ilâ kâffatil khaiqi) tidak berarti bahwa Islam mengatur segala-galanya secara ketat, terperinci, dan seragam. Justru universalitas Islam itu tercermin dalam bervariasinya cara pengaturan berbagai hal, dalam berbagai situasi dan kondisi. Ada hal yang diatur secara terperinci dan seragam, ada hal yang diatur pokok-pokoknya saja, sedang perinciannya diberikan kelonggaran kepada manusia untuk mengaturnya sendiri.


Jadi, menurut beliau, logislah kalau Islam mengakui adanya nilai-nilai positif yang mungkin sudah ada dan sudah tumbuh pada manusia atau sekelompok manusia, sebelum mereka menerima ajaran Islam. Terhadap nilai-nilai "lama" ini, Islam tidak bersikap apriori menolak, menentang, dan menghapuskannya sama sekali, tetapi bersikap akomodatif, selektif dan proporsional:

 
●    Ada yang harus dikoreksi total.
●    Ada yang harus dikoreksi sebagian.
●    Ada yang harus diisi, ditambah.
●    Ada yang harus dikokohkan dan disempurnakan.
 

Memang di antara nilai-nilai lama itu ada yang tergolong negatif:

مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا

"Mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang"

 Namun ada pula yang tergolong positif:

وَاَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى الْاَرْضِ

"Yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi"


Jamaah as’adakumullah,
Dalam menghadapi budaya, tradisi, atau kebiasaan di masyarakat, umat Islam terutama ulamanya dituntut untuk senantiasa berhati-hati dan mengedepankan akhlaqul karimah. Termasuk dalam akhlak mulia itu adalah menyesuaikan dan menghormati apa yang sedang atau masih membudaya di masyarakat selama itu bukan tindakan maksiat.


Rasulullah bersabda,


اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ رواهُ التِّرْمذيُّ وقال: حديثٌ حسنٌ


Artinya, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun berada. Susullah keburukan dengan kebaikan niscaya (kebaikan itu) akan menghapusnya. Pergaulilah masyarakat dengan budi pekerti yang baik” (HR at-Tirmidzi, menurutnya ini hadits hasan).


Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam Tanbihul Mughtarin menjelaskan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib memaknai “budi pekerti yang baik” dalam hadits tersebut sebagai,


‎مُوَافَقَةُ النَّاسَ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ مَا عَدَا الْمَعَاصِي


Artinya, “Menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam segala hal kecuali kemaksiatan.”


Hadirin,
Dari sini tampak jelas betapa para wali dan ulama penyebar Islam di Nusantara ini dulu memiliki kearifan dan pandangan yang luas tentang bagaimana menyikapi masyarakat. Tradisi tahlilan, selamatan, nyadran (haul), maulid Nabi, dan tradisi keagamaan lain yang hidup di sekitar kita sebagian adalah buah kecerdasan mereka dalam beradaptasi dengan masyarakat sasaran dakwah mereka. Lain masyarakat tentu saja lain budaya, lain pula cara kita merespons dan menyesuaikan diri.


Andai para penyebar Islam di Nusantara ini tidak ramah terhadap budaya, kita tidak tahu apakah umat Islam akan menjadi mayoritas di Indonesia seperti sekarang ini. Perilaku untuk merangkul, tidak gampang menyalahkan, sembari memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki perlu kita teladani dari ulama-ulama terdahulu.


Semoga Allah menganugerahi kita semua sifat-sifat lembut dan kasih sayang, sehingga mampu bergumul di masyarakat tanpa menyakiti, merusak, merugikan, apalagi mezalimi mereka.


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah II


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إلىَ رِضْوَانِهِ.  اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا


أَمَّا بَعْدُ، فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلَآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلَآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيّ يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.  اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلَآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ


  اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلأَحْيَآءُ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.  اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلَازِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي الْقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


Mahbib Khoiron


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP