Nasional

Peneliti: Skandal Beras Oplosan Jadi Bukti Cacatnya Tata Niaga Pangan

NU Online  ยท  Senin, 4 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Peneliti: Skandal Beras Oplosan Jadi Bukti Cacatnya Tata Niaga Pangan

Ilustrasi. Aktivitas di pergudangan beras Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Beredarnya beras oplosan pada Juli 2025 menjadi perhatian publik. Menurut Dittipideksus Bareskrim Polri, skandal beras oplosan merugikan negara sebesar Rp100 triliun.


Menurut laporan Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov, kasus tersebut mencerminkan tata niaga pangan yang tidak beroperasi sebagaimana mestinya.


Nantinya, kasus beras oplosan itu memiliki efek pada harga dan kepercayaan konsumen, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan mutu dan distribusi pangan publik.


"Dari 268 merek beras yang diuji Kementerian Pertanian, 212 merek atau 79 persen melanggar standar mutu, terutama pada kadar patahan dan ketidaksesuaian label premium," katanya menurut rilis yang diterima NU Online pada Senun (4/8/2025).


"Kerugian konsumen akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp99 triliun per tahun, mencerminkan ekstraksi nilai dari konsumen melalui asimetri informasi dan ketiadaan pengendalian mutu," lanjutnya.


Abra juga memaparkan dampak ekonomi dan sosial akibat beras oplosan. Ia menyebut, bakal terjadi ketidakstabilan harga dan peningkatan inflasi pangan.


"Terlepas dari pasokan nasional yang meningkat, harga beras naik di 219 kabupaten atau kota dalam pekan keempat Juli (BPS), dengan kasus ekstrem di Papua (Rp54.772/kg) yang mencerminkan lemahnya mekanisme stabilisasi harga antarwilayah," katanya.


Menurut Abra, permasalahan tersebut juga bermuara pada terkikisnya kepercayaan pasar, sehingga muncul kecurigaan publik terhadap hampir semua beras kemasan, sehingga mendorong penurunan konsumsi beras premium dan penurunan omzet beberapa pedagang hingga 50 persen yang mengganggu stabilitas saluran distribusi ritel.


Tak sampai di situ, Abra menjelaskan bahwa dugaan keterlibatan beras subsidi dalam praktik oplosan memperlihatkan potensi pengalihan alokasi dari kelompok rentan ke segmen pasar komersial yang dapat memperdalam ketimpangan akses pangan.


"Beras menjadi kontributor utama inflasi dengan kontribusi 0,06 persen terhadap inflasi umum," tegasnya.


Abra juga mengkritik respons pemerintah yang dinilainya belum menyentuh akar permasalahan. Ia menilai bahwa hal tersebut tercermin dari kebijakan penyeragaman harga beras yang justru berisiko menambah distorsi di pasar.


Menurutnya, meskipun pemerintah merespons cepat dengan langkah-langkah berupa pemeriksaan mutu, distribusi stok Bulog, dan penegakan hukum, rencana penerapan harga eceran tertinggi (HET) dan mutu secara nasional, tetapi berpotensi menimbulkan berbagai masalah.


"Rencana kebijakan penyeragaman harga dan mutu (satu HET nasional) berpotensi menimbulkan disinsentif peningkatan mutu, kesenjangan distribusi, dan tekanan bagi pelaku kecil," katanya.


"Diperlukan reformasi struktural berupa penguatan sistem mutu nasional, skema harga berbasis zonasi, dan kebijakan transisi bertahap untuk menciptakan pasar beras yang adil, efisien, dan tahan terhadap manipulasi," terangnya.