Nasional

PHK Massal Meningkat, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Kebijakan

NU Online  ·  Kamis, 5 Juni 2025 | 14:30 WIB

PHK Massal Meningkat, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Kebijakan

Ilustrasi orang terkena PHK. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online 

Komnas HAM mencatat tren peningkatan jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan aduan yang diterima pada 2023 hingga awal 2024 dengan jumlah lebih dari 3.000 pekerja. Sementara itu, pada Januari–Maret 2025 jumlah korban PHK melonjak menjadi 8.786 pekerja.


"Salah satu aduan yang paling banyak masuk ke Komnas HAM adalah soal PHK,”kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Uli Parulian dalam peluncuran Kertas Kerja Kebijakan Hasil Pengamatan Situasi HAM atas Pengaduan PHK di Jakarta, Kamis (5/6/2025).


Uli menyebut ada 10 tipe PHK yang banyak diadukan antara lain PHK tanpa surat peringatan, pembayaran upah di bawah minimum, tidak adanya perjanjian kerja,tidak diberikannya pesangon, PHK massal yang menyasar kelompok tertentu, pengalihan pekerja ke entitas lain, mutasi atau demosi sebelum PHK, informasi yang tidak memadai terkait PHK, dan alasan efisiensi yang tidak transparanm ketidakjelasan hak pekerja pasca PHK.


Komnas HAM, kata Uli, mencermati bahwa kebijakan pemerintah turut menjadi faktor penyebab PHK, baik yang dilakukan dengan dalih efisiensi maupun karena perusahaan mengalami kebangkrutan dan lainnya.


Beberapa kebijakan yang disebut berdampak terhadap kondisi ketenagakerjaan di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 8 Tahun 2024 yang memengaruhi industri tekstil dan garmen, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023.


"Menurut kajian Komnas HAM, peraturan-peraturan tersebut berdampak langsung pada kesejahteraan pekerja dan meningkatkan potensi PHK," kata Ulil.


Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menambahkan bahwa PHK harus menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya ditempuh oleh pemerintah, pemberi kerja, pekerja, dan serikat pekerja. 


"PHK juga harus dilakukan atas dasar alasan yang sah dan disertai kompensasi yang layak," imbuhnya.


Ia menambahkan bahwa sejumlah kebijakan pemerintah seperti kebijakan impor, efisiensi anggaran, maupun peraturan ketenagakerjaan sering kali belum mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM.


"Kondisi ini menunjukkan pentingnya perbaikan kebijakan yang sesuai dengan kewajiban negara. Dari tahun ke tahun, memang ada indikasi perbaikan, baik dari segi regulasi maupun kesejahteraan pekerja,”ujarnya.


Perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Ahmad Supriadi mengatakan PHK bukan sekadar persoalan hubungan industrial, melainkan sebagai potensi pelanggaran HAM.


"Kami berharap isu pelanggaran HAM tidak hanya menyasar kasus PHK, tetapi juga menyentuh persoalan struktur dan besaran upah antar daerah yang tidak mencerminkan keadilan,”katanya.


Ahmad memprediksi bahwa kasus PHK massal bisa jadi dipicu oleh rendahnya upah pekerja. "Ada indikasi pemicunya dari upah pekerja yang murah," ucapnya.
 

Senada, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan badai PHK bukan fenomena tunggal ini sangat sistemik sehingga negara harus turut andil menyelesaikan persoalan ini. "Tidak mungkin industri menyelesaikan sendiri," ujar Fadil.


Menurutnya, dalam konteks pelanggaran HAM atas pekerja, tersangkanya bukan hanya pengusaha tapi juga negara. "Walaupun kita berdebat apa penyebabnya dan bagaimana dirasakan buruh tapi negara harus hadir menyelesaikan persoalan," pintanya.


Upaya pemerintah

Sementara itu, Koordinator Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Fritz Simon Saortua mengakui bahwa dunia industri tengah menghadapi berbagai tantangan mulai dari tekanan ekonomi global, persaingan pasar, hingga dinamika hubungan industrial.


Namun, menurutnya, pemerintah terus berupaya mengatasi dampak PHK dengan memberikan sejumlah stimulus bagi industri seperti bantuan untuk sektor tekstil, insentif investasi, subsidi pembelian mesin, dan kebijakan pengamanan harga.


"Pemerintah juga akan memberikan subsidi upah atau bantuan langsung tunai kepada pekerja dengan upah di bawah Rp3,5 juta dan kepada guru honorer," ujarnya.


Presiden Prabowo, lanjutnya, juga berencana membentuk Satgas PHK yang saat ini masih dalam tahap perumusan. Satgas ini tidak hanya akan mencatat dampak PHK, tetapi juga mengoordinasikan langkah-langkah penanganannya.


"Kami berharap kertas kebijakan yang diluncurkan hari ini menjadi pijakan bersama untuk menangani persoalan PHK secara kolektif,”tandas Fritz.