Syariah

Pemutusan Hubungan Kerja dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif

NU Online  ·  Kamis, 5 Juni 2025 | 10:00 WIB

Pemutusan Hubungan Kerja dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif

Ilustrasi PHK. Sumber: Canva/NU Online.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akhir-akhir ini menjadi trend di berbagai perusahaan. Semenjak awal tahun 2025, perusahaan gencar melepas kontrak karyawannya secara serentak. Jumlahnya pun mulai dari ratusan hingga puluhan ribu. 


Langkah tersebut berdasar pada efisiensi. Semakin ramping cost (biaya) yang ditanggung oleh perusahaan, yang mana gaji karyawan termasuk bagian dari  tanggungan, semakin produktif pula dalam mendapatkan keuntungan.


Sederhananya, PHK merupakan keputusan perusahaan berupa pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dengan emiten atau perusahaan. Fenomena ini menjadi dramatis lantaran memunculkan kesan pihak yang sangat dirugikan adalah karyawan.


Menarik jika fenomena PHK yang marak terjadi ditinjau dari sudut pandang Islam dan Hukum Positif. Tentu, dengan tujuan memahami fenomena ini secara objektif.

 

Akad Antara Karyawan dengan Perusahaan 

Dalam tinjauan muamalah Islam, keterikatan karyawan dengan perusahaan yang menaunginya termasuk akad Ijarah (sewa). Akad Ijarah menitikberatkan pada perolehan manfaat atau nilai yang diberikan penyewa (mu’jir) terhadap pihak yang menyewa (musta'jir). Adapun cakupan manfaat terbagi menjadi dua, berdasarkan kurun waktu (muddah) dan jasa (amal). 


Perolehan manfaat berupa jasa adalah representasi dari hubungan karyawan dengan perusahaan. Perusahaan yang memiliki modal cukup besar kemudian menyewa jasa seseorang untuk masuk pada lini pekerjaan tertentu, misalnya divisi teknis, divisi marketing, divisi riset and development, dan lain-lain. Perusahaan memposisikan sebagai pihak yang menyewa, sedangkan pekerja atau karyawan sebagai penyewa jasa.


Secara eksplisit, Dr. Wahbah Zuhaili membagi dua macam perolehan manfaat, yakni kontrak eksklusif (Al-Ajīr Al-Khaṣ) dan kontrak kolektif (Al-Ajir Al-Musytarak). Keterkaitan perusahaan dengan karyawan masuk dalam kontrak eksklusif, yang mana hanya terikat pada satu pihak   Berikut redaksinya: 


ٱلْأَجِيرُ ٱلْخَاصُّ أَوْ أَجِيرُ ٱلْوَحْدِ: هُوَ ٱلَّذِي يَعْمَلُ لِشَخْصٍ وَاحِدٍ مُدَّةً مَعْلُومَةً. وَحُكْمُهُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ ٱلْعَمَلُ لِغَيْرِ مُسْتَأْجِرِهِ


Artinya, “Al-Ajīr Al-Khaṣ (kontrak eksklusif): adalah orang yang bekerja untuk satu orang saja dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hukumnya: tidak boleh baginya bekerja untuk selain orang yang menyewanya (perusahaan).” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz V, halaman 3845).


Memutus Berjalannya Akad Ijarah

Akad Ijarah merupakan bagian dari akad-akad yang mengikat antara dua pihak, dalam hal ini penyewa dan pihak yang menyewakan. Istilah yang digunakan dalam literatur fiqih adalah Lazim min At-Tharafain. Ketika kontrak sudah terjalin, maka dalam prosesnya tidak diperbolehkan memutus secara sepihak. Sebagaimana model akad jual beli berupa salam, khiar, hiwalah, dan musaqah (Muhyiddin An-Nawawi, Al-Ushul wa Ad-Dhawabith, [Beirut, Darul Basyair: 1986], halaman 26).


Namun, pemutusan proses akad Ijarah boleh diberlakukan penyewa, di saat terjadi atau ditemukannya udzur syar’i. Hanya pada saat itu, akad Ijarah boleh diputus. Sebagaimana pendapat Abu Hanifah yang direkam di dalam Al-Hawi Al-Kabir:


وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ فَسْخُ الْإِجَارَةِ بِالْأَعْذَارِ الظَّاهِرَةِ مَعَ السَّلَامَةِ مِنَ الْعُيُوبِ


Artinya, “Abu Hanifah berkata, ‘penyewa diperbolehkan merusak (memutus) akad Ijarah berdasarkan udzur syar’i yang jelas serta tidak terdapat kecacatan”. (Abu Al-Hasan Al-Mawardi,[Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], Juz 7, halaman 393).


Hal ini tercermin pada proses PHK. Perusahaan selaku penyewa yang sedang mengalami kerugian, pailit, kehilangan aset, dan faktor-faktor lainnya, akan memutus sepihak pegawai atau karyawan yang belum memenuhi masa kontraknya. 


Apabila kontrak sewa antara penyewa yang menyewa jasa karyawan diputus sepihak sebelum masa kontrak selesai, bukan berarti rangkaian akad Ijarah selesai begitu saja. Terdapat konsekuensi yang perlu dituntaskan pihak penyewa. Tanggungan tersebut adalah tetap membayar upah sesuai persetujuan kontrak.


Pihak penyewa dengan sengaja memutus jasa seseorang sebelum kontraknya selesai. Upah yang sudah disepakati tetap harus diberikan kepada pegawai. Imam Syafi’i mendasari persoalan ini, bahwa pilihan tidak menyerap manfaat dari  jasa pekerja sebelum masa kontraknya selesai, merupakan pilihan dari penyewa itu sendiri. (Ibnu Qudamah, Mughni Al-Muhtaj,[Kairo, Maktabah Al-Qahirah: 1969], Juz 5, halaman 331).


Walakin, hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya pemutusan kontrak sebelum masanya, berdasarkan faktor yang dilegalkan. Jika faktor didasari sesuatu yang merugikan kedua belah pihak, semisal perusahaan memutus kontrak sepihak dan karyawan melakukan pelanggaran, maka rangkaian pembahasan ini tidak berlaku.


PHK Dalam Sudut Pandang Hukum Positif

Terjadinya proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara keseluruhan, mulai dari latar belakang yang mendasari pemutusan kontrak sampai kewajiban perusahaan memberikan pesangon tercantum di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Undang-undang ini secara keseluruhan melindungi seluruh pihak yang bersangkutan, baik perusahaan dan pegawai.


Secara legalitas, perusahaan sah melakukan PHK terhadap pegawai-pegawainya. Akan tetapi undang-undang membatasi faktor yang memperbolehkannya. Hanya saat perusahaan sedang mengalami kerugian sehingga tidak menyanggupi beban gaji karyawannya, maka boleh memutus kontrak pegawai. Faktor yang tidak dilegalkan seperti tanpa alasan yang jelas perusahaan memecat tidak hormat beberapa pegawainya.


Setelah perusahaan memutus hubungan dengan pegawainya, perusahaan wajib mengeluarkan uang pesangon dan diberikan kepada pegawai yang sudah melepas kontrak. Perhitungan pesangon berdasarkan undang-undang ditinjau dari masa sisa pegawai. 


Jika kurang dari satu tahun, maka perusahaan wajib membayar pesangon satu bulan penuh. Ketika antara satu tahun dengan dua tahun, maka perusahaan wajib membayar upah selama dua bulan, begitu seterusnya.


Sehingga perusahaan tidak serta merta memutus kontrak pegawainya semena-mena. Pun pegawai yang lepas kontraknya tetap mendapatkan hak berupa pesangon. Kedua pihak tetap melaksanakan kewajiban dan haknya.


Kesimpulannya, proses terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja dari sudut pandang Islam diperbolehkan dengan syarat faktor yang melatarbelakangi harus sesuai udzur syar’i. Penyewa juga tetap harus membayar upah walaupun akad Ijarah putus sebelum masa selesai. 


Begitu pun dari sudut pandang hukum positif, perusahaan boleh memutus kontrak dengan dasar yang dilegalkan. Kemudian perusahaan wajib menunaikan pesangon dengan perhitungan tertentu. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin.