Nasional

Pilkada dengan Politik Uang Ibarat Shalat Tanpa Hati

Rab, 10 Januari 2018 | 14:48 WIB

Jakarta, NU Online 
Pesta demokrasi di sebagian wilayah Indonesia akan berlangsung. Setidaknya terdapat 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada 2018 ini. Namun, hampir di setiap Pilkada terjadi praktik politik uang. 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Robikin Emhas mengatakan, praktik politik uang yang terjadi pada Pilkada bisa mendistorsi demokrasi. 

"Money politik atau politik transaksional yang merujuk pada ideologi liberalisme itu seharusnya di Indonesia tidak punya ruang karena demokrasi kita adalah demokrasi pancasila," katanya di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (10/1). 

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Majelis Nasional Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), kalau proses demokrasi termasuk dalam pemilihan kepala daerah dan yang mengemuka adalah liberalisme politik yang ditandai oleh menguatanya peran kapital, maka demokrasi tidak akan mencapai maksud yang sesungguhnya. 

"Karena bekerjanya demokrasi hanya pada aspek prosedur, substansinya tidak ada," ujar alumnus Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang ini. 

Ia menambahkan, demokrasi yang hanya pada taraf prosedural, ibarat melaksanakan shalat dengan tanpa menghadirkan hati. 

"Dia hanya mengolahragakan kerja-kerja demokrasi," tegasnya. 

Robikin menjelaskan, substansi demokrasi adalah terpilihnya pemimpin yang bisa mengantarkan pada tujuan-tujuan kepemimpinan, yakni kemaslahatan umat: di antaranya meningkatnya pendapatan warga, semakin berkurangnya pengangguran, semakin berkurangnya kelompok orang miskin, dan semakin meningkatnya taraf pendidikan. 

"Nah, kalau kemudian kerja-kerja demokrasi tidak menghasilkan  masyarakat yang seperti itu pada akhirnya, maka sekali lagi demokrasi boleh dibilang gagal," katanya prihatin. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)