Nasional

Seni Kaligrafi Tak Boleh Dipandang Sebelah Mata

NU Online  ยท  Rabu, 23 Juli 2025 | 10:00 WIB

Seni Kaligrafi Tak Boleh Dipandang Sebelah Mata

Yusuf Elang Samudera saat menerima piagam penghargaan dari Dirjen IRCICA Prof Mahmud Erol Kilic didampingi Maestro Kaligrafi Dunia Syekh Belaid Hamidi di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (21/7/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Yusuf Elang Samudera, pemuda kelahiran Bekasi pada 2004, kini menetap di Ponorogo, Jawa Timur sebagai santri di Pondok Modern Darussalam Gontor.ย 


Pada usianya yang masih 21 tahun, ia telah menorehkan prestasi membanggakan di panggung internasional. Yusuf menjadi salah satu pemenang dari Indonesia dalam Kompetisi Kaligrafi Internasional ke-13 yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sejarah, Seni dan Budaya Islam (IRCICA) โ€‹โ€‹โ€‹โ€‹โ€‹di Istanbul, Turki. Dalam kompetisi bergengsi yang didedikasikan untuk maestro kaligrafi M Abdul Aziz Al-Rifaโ€™i itu, Yusuf meraih Juara Harapan untuk kategori Khat Diwani.ย 


Ketertarikan Yusuf pada dunia kaligrafi muncul sejak usia dini. Ia mencontoh sang paman yang memang menggemari seni kaligrafi ini.ย 


โ€œSejak umur 10 tahun. Kenapa suka dengan kaligrafi? Karena melihat paman, publik figur saya, menggeluti seni kaligrafi juga,โ€ tutur Yusuf.ย 


Sosok sang paman mengilhami kecintaannya pada goresan tinta Arab yang estetis dan sarat makna. Namun minat itu tak dibiarkan sekadar menjadi kekaguman.ย 


Yusuf kemudian mulai mempelajari kaligrafi secara serius sejak 2016, ketika masih duduk di bangku MTs. Saat itulah ia bertemu dengan Ahmad Fatahillah, guru yang tak hanya mengajarkan teknik kaligrafi, tapi juga membentuk karakternya.


"Guru MTs saya, Ahmad Fatahillah, yang pertama kali mengajarkan kaligrafi,โ€ katanya.


Yusuf mengingat jelas cara gurunya memberikan pelajaran yang bukan hanya dengan pena dan tinta, tetapi juga dengan keteladanan. Nilai-nilai itu menjadi fondasi penting dalam perjalanan Yusuf sebagai pegiat kaligrafi.


"Pembelajaran yang diselingi dengan nasihat dan totalitas dalam mengajarnya. Seperti sabar, perhatian, dan penuh inisiatif,โ€ kenangnya.ย 

โ€‹
Karya Yusufย Elang Samudera yang diperlombakan dalam Kompetisi Kaligrafi Internasional IRCICA Ke-13 di Turki.


Sebelum berlaga di kompetisi internasional, Yusuf telah berpengalaman mengikuti berbagai lomba kaligrafi. Namun ajang yang digelar IRCICA kali ini menjadi tonggak penting baginya. Bukan hanya karena skalanya yang global, tetapi karena proses panjang yang ia jalani untuk sampai ke titik itu.


โ€œSetelah keluar juknisnya, saya langsung observasi dan mengadakan penelitian tentang alat kaligrafi yang akan digunakan dalam perlombaan,โ€ ujar Yusuf.ย 


Ia tak hanya menyiapkan alat dan teknik, tapi juga mempelajari karya-karya para master kaligrafi serta para pemenang dari edisi sebelumnya. Semua itu dijadikan acuan untuk menciptakan karya yang indah secara bentuk dan kuat secara ruh.


โ€œSetelah itu saya mulai membuat karya saya dengan penuh perhatian dan aplikasi dari observasi tadi,โ€ lanjutnya.ย 


Goresan demi goresan ia buat dengan kesungguhan, memperhatikan detail huruf dan harmoni susunannya. Kaligrafi, bagi Yusuf, adalah cara untuk menata hati dan mengasah kesabaran.


Ketika namanya diumumkan sebagai juara harapan, Yusuf langsung diliputi rasa haru dan syukur.


"Alhamdulillah senang dan langsung mengabarkan kepada orang tua, guru, teman,โ€ ucapnya.


Kabar gembira itu disambut antusias oleh orang-orang terdekat. Guru-gurunya pun turut bangga atas pencapaian tersebut.ย 


โ€œAlhamdulillah ikut bangga dan memotivasi. Orang tua ikut senang juga," ungkap Yusuf tentang respons mereka.ย 


Kemenangan itu menjadi bukti bahwa proses yang panjang dan sabar pada akhirnya menemukan jalannya.


Namun bagi Yusuf, prestasi bukanlah garis akhir. Ia menyadari bahwa tanggung jawabnya justru bertambah yakni untuk terus belajar dan menularkan ilmunya.


"Mengajarkan seni ini ke orang lain dan terus melakukan observasi lebih dalam tentang seni ini baik secara historis maupun teoritis,โ€ tekadnya.


Ia pun menitipkan harapan kepada bangsa dan negara, agar seni kaligrafi Islam tidak dipandang sebelah mata.ย 


โ€œSaya berharap agar seni ini mendapat perhatian lebih dari negara dan dapat dikembangkan lebih besar lagi di Indonesia, juga bisa lebih luas lagi cakupannya,โ€ kata Yusuf.


Dari ruang-ruang pesantren yang sunyi, Yusuf merajut huruf demi huruf dengan cinta dan kesabaran. Ia menulis bukan untuk dipamerkan, tapi untuk menyampaikan pesan, memperindah ayat, dan menghidupkan ruh warisan Islam. Di tangannya, kaligrafi dianggap sebagai laku ibadah karena goresan tinta menjadi cermin ketekunan, keikhlasan, dan harapan.


Dari Bekasi menuju Gontor, hingga karyanya sampai ke panggung dunia, Yusuf telah membuktikan bahwa goresan kecil di ujung pena bisa menembus batas-batas dunia.