Tambang Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat Rugikan Nelayan, Ikan Menjauh, Tangkapan Menurun
NU Online · Kamis, 19 Juni 2025 | 09:00 WIB
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2025, Raja Ampat merupakan kawasan lautan yang menjadi pusat dari segitiga karang dunia dengan lebih dari 553 spesies karang (75 persen dari seluruh spesies dunia), 1.070 spesies ikan karang, dan 699 jenis moluska.
Namun, sejak tambang nikel milik PT Gag Nikel kembali beroperasi pada tahun 2018, para nelayan setempat mulai mengeluhkan penurunan hasil tangkapan. Ikan yang sebelumnya mudah ditemukan di sekitar pesisir kini sulit dijangkau dan memaksa para nelayan melaut lebih jauh dari biasanya.
Direktur Institut USBA Charles Adrian Michael Imbir mengungkapkan bahwa keluhan ini tidak hanya datang dari satu dua orang, namun dikeluhkan oleh seluruh nelayan. Tidak hanya nelayan di Pulau Gag, tetapi juga di pulau-pulau lain yang terdampat tambang, seperti Pulau Kawei, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun.
Charles menyampaikan bahwa sejak tambang kembali beroperasi, para nelayan merasakan perubahan signifikan pada hasil tangkapan ikan mereka.
“Kalau nelayan di Pulau Gag itu mengatakan bahwa mereka banyak yang bilang kalau mencari ikan semakin jauh, ketika tambang PT Gag Nikel ini diizinkan beroperasi kembali tahun 2018 itu sudah mulai (ikan menjauh),” ujar Charles kepada NU Online Rabu (18/6/2025).
Ia menilai bahwa penyebab ikan menjauh adalah sedimentasi yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Sedimentasi tersebut menyebabkan terumbu karang di sekitar pesisir tertutup lumpur, sehingga tidak lagi menjadi rumah bagi ikan-ikan karang.
“Karena sedimentasi itu. Kalau mencari makin jauh berartikan, terumbu karang di sekitar Pulau Gag tertutup sedimen yang membuat ikan tidak dapat tinggal di rumah karang, berarti dia (ikan) mencari rumah karang yang baru, yang lebih jauh dari pulau (pesisir),” ucapnya.
Tidak hanya itu, Ketua Dewan Adat Sub Suku Usba itu juga menyampaikan bahwa kerusahakan hutan mangrove memperburuk situasi masyarakat di Pulau Gag. Padahal, mangrove merupakan sumber makanan penting bagi berbagai jenis ikan.
Menurutnya, jika kawasan mangrove dirusak atau ditebang, maka rantai makanan akan terganggu. Akibatnya, selain populasi ikan yang menurun, kualitas ikan juga ikut terdampak.
“Kalau mangrove ditebang, sumber makanan ikan-ikan juga tidak ada. Kalau mangrove rusak, terumbu karang tertutup sedimen, pasti sumber makanan ikan hilang,” ujarnya.
“Ikan yang punya rumah juga sudah pergi kerumah lain atau mencari rumah agak jauh, atau terjadi penurunan kualitas ikan,” lanjutnya.
Charles menyampaikan bahwa saat ini, untuk mendapatkan tangkapan ikan yang memadai, para nelayan harus melaut lebih jauh dari pesisir, dengan risiko yang lebih besar dan biaya operasional yang meningkat.
“Nelayan di Pulau Gag mengeluhkannya begitu,” katanya.
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua