Nikah/Keluarga

Hak Nafkah Istri dalam Pernikahan

Ahad, 14 Februari 2021 | 07:00 WIB

Hak Nafkah Istri dalam Pernikahan

Nafkah adalah segala yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sebelumnya telah diuraikan dua hak istri setelah pernikahan. Satu hak berikutnya adalah hak nafkah. Berikut uraian singkatnya beserta syarat mendapatkannya, hal-hal yang menggugurkannya, jenis-jenis dan juga besarannya.


Nafkah adalah segala yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam konteks ini adalah nafkah yang diberikan suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya. Ulama bersepakat kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya berdasarkan ayat berikut:


لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا


Artinya, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7).


Lantas hak nafkah apa saja yang diterima istri dari suaminya? Yang disebutkan dalam nash Al-Qur’an dan hadits adalah:


أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ


Artinya, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,” (Surat At-Thalaq ayat 6).
 

Riwayat Mu‘awiyah al-Qusyairi menyebutkan bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah tentang hak istrinya. Beliau menjawab, “Engkau beri dia makan jika engkau makan. Engkau beri dia pakaian jika engkau memiliki memiliki pakaian,” (HR Ahmad).


Berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits di atas hak nafkah istri dari suaminya adalah tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Namun, di samping makanan, pakaian, dan tempat tinggal, Syekh Az-Zuhayli menambahkan lauk-pauk, alat kecantikan, peralatan rumah tanggal, termasuk asisten rumah tangga.


Kemudian, di antara beberapa pihak yang wajib dinafkahi seorang laki-laki, istri mendudukkan posisi pertama setelah dirinya dan nafkahnya yang terlewatkan tidak gugur begitu saja.    


Syekh Musthafa Al-Khin menyebutkan:


يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت


Artinya, “Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan karena nafkahnya tidak gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dengan berlalunya waktu.


Setelah diri dan istrinya, posisi orang yang harus dinafkahi seorang laki-laki adalah anaknya, kemudian ibunya yang tidak mampu, kemudian ayahnya yang tidak mampu, kemudian anak dewasanya yang tidak mampu, kemudian kakeknya yang tidak mampu. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imamis Syafi‘i,  jilid IV, halaman 178).


Saking besarnya hak nafkah, sampai-sampai seorang istri diperbolehkan mengambil hak tersebut secukupnya. Hal itu didasasarkan pada hadits riwayat Hindun binti ‘Utbah. Ia pernah mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasul, sesungguhnya Abu Sufyan itu kikir. Ia tidak mau memberiku nafkah kepadaku dan anakku kecuali yang aku ambil darinya di luar sepengetahuannya.” Beliau bersabda, “Ambillah secara makruf apa yang membuatmu dan anakmu cukup,” (HR As-Syafi‘i).


Selanjutnya, kapan seorang istri berhak mendapat nafkah dan kapan hak nafkahnya gugur? 


Syarat utama seorang istri berhak mendapat nafkah  adalah pernikahan yang sah. Sebab, syariat mengatur, setelah akad nikah berlangsung, maka fokus perhatian dan pelayanan istri beralih kepada suami, ketaatannya bertambah untuk suami, tinggalnya harus di rumah suami, tugasnya mengurus rumah tangga suami, mengasuh serta mendidik anak-anak suami. Maka sebagai imbalannya, sang istri mendapatkan hak nafkah yang cukup selama bangunan rumah tangganya tegak berdiri, tidak ada perbuatan nusyuz darinya,  dan faktor penghalang yang lainnya.


Lebih lengkapnya, Syekh Sayyid Sabiq merinci lima syarat seorang istri mendapatkan nafkah.


1. Suami dan istri terikat akad nikah yang sah


2. Istri memasrahkan dirinya kepada suami


3. Suami berkesempatan untuk bersenang-senang layaknya suami-istri


4. Istri tidak menolak untuk dipindahkan ke tempat yang diinginkan suami


5. Keadaan suami dan istri sudah normal secara seksual dan bukan anak di bawah umur (Lihat: Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 170).


Artinya, ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami. 


Begitu pula ketika istri tidak memasrahkan dirinya kepada suami, atau istri tidak mau diajak berhubungan intim, atau tidak mau diajak pindah rumah yang diinginkan suami tanpa ada alasan yang kuat, maka gugurlah hak nafkahnya. Sebab, perkara yang menggugurkan itu datang dari pihak istri. 


Bagaimana jika si istri mau memasrahkan diri, namun ia masih di bawah umur dan tidak mungkin diajak berhubungan badan, maka menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, maka nafkah untuknya tidak wajib. 


Diriwayatkan, sewaktu menikah dengan Siti ‘Aisyah, Nabi SAW tidak memberikan nafkah. Beliau memberinya nafkah ketika sudah bisa diajak tinggal bersama layaknya suami-istri. Tidak ada pengganti nafkah yang terlewatkan dari Nabi SAW. 


Meski demikian, bila suami meridai istri yang masih di bawah umur itu berada di rumahnya dengan tujuan sebagai teman pendampingnya, maka kondisi itu tetap mewajibkan nafkah.    


Lain halnya jika istri dewasa, suami yang masih di bawah umur. Maka dalam kondisi itu, menurut pendapat sahih, nafkah dari suami tetap wajib. Sebab, tidak ada unsur penggugur nafkah dari pihak istri. 


Besaran Nafkah

Adapun soal besaran nafkah, ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat, besaran nafkah tidak ditetapkan secara syariat. Ia dikembalikan kepada tempat, waktu, kemampuan suami, dan kebutuhan istri. Sementara Imam Syafii menyatakan sebaliknya. Besaran nafkah ditetapkan oleh syariat, yaitu dua mud (1 mud ialah 543 gram) bagi suami yang berkecukupan, satu setengah mud bagi suami kalangan menengah, dan satu mud bagi suami yang miskin. Namun rupanya besaran yang ditetapkan oleh Imam Syafii hanya berupa makanan. Sedangkan yang lain tidak ditentukan. 


Ada pula yang berpendapat, besaran nafkah tidak ada dibatasi kecuali batas kecukupan. Sedangkan kecukupan dikembalikan kepada adat kebiasaan. Suami tidak perlu memaksakan diri di luar kemampuannya. Yang penting sudah berusaha maksimal memenuhi kewajiban nafkah.


Hal itu didasarkan ayat di atas, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7). Demikian yang dikemukakan oleh Musthafa Al-Khin. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji,  jilid IV, hal. 173). Wallahu a’lam.


M. Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) di KUA Sukanagara, Cianjur