Nikah/Keluarga

Hukum Menindik Telinga Bayi Perempuan

Kam, 18 Agustus 2022 | 12:00 WIB

Hukum Menindik Telinga Bayi Perempuan

Anting merupakan perhiasan pada perempuan. Islam memiliki beragam pandangan perihal menindik telinga pada bayi perempuan.

Sudah jamak dilakukan oleh mayoritas orang tua di Indonesia, menindik atau melubangi daun telinga anak perempuan mereka saat masih bayi. Tindakan tersebut dilakukan sedini mungkin tujuannya adalah agar si anak perempuan tidak merasakan sakit saat mereka ditindik ketika sudah dewasa.


Bagaimanakah sesungguhnya hukum Islam menyikapi fenomena ini? Karena dari satu sudut pandang memang tujuannya baik yakni untuk berhias, namun di sisi lain, mengapa harus dengan cara menyakiti anak di saat usia mereka masih bayi?


Ada dua persoalan yang mesti kita pilah dalam hal ini. Pertama, hukum menindik daun telinga itu sendiri, dan kedua, apakah hal tersebut boleh dilakukan saat anak masih bayi?


Terkait persoalan hukum menindik daun telinga bagi perempuan, mayoritas ulama seperti mazhab Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi, memperbolehkannya apabila tujuannya ialah untuk menghias diri. Salah seorang ulama mazhab Hanafi, yakni Imam Syalbi dalam kitab Tabyin al-Haqa’iq, juz VI, halaman 227 (Kairo: Dar al-Kutub al-Islamy, 1313 H), menyatakan:


يجوز ثقبُ آذانِ البنات لا الأطفال؛ لأنَّ فيه منفعةً وزينةً، وكان يُفعَلُ في زمنه صلى الله عليه وسلم إلى يومِنا هذا من غير نكير


Artinya: “Dibolehkan menindik telinga anak perempuan, bukan laki-laki karena di dalamnya terdapat tujuan untuk berhias. Tindik telinga juga dilakukan (oleh para perempuan) di zaman Nabi Muhammad saw hingga saat ini dan tidak dibantah”.


Para ulama yang memutuskan diperbolehkannya menindik telinga, melandaskan pendapat mereka pada hadits Nabi riwayat ‘Aisyah Ra., di mana dalam hadits tersebut dikisahkan ada sebelas wanita yang berkumpul membicarakan perihal suami-suami mereka. Lantas Ummu Zar’in berkata:


أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ


Artinya: “Suamiku memberikanku perhiasan pada telingaku”


Selanjutnya, pada akhir hadits, Rasulullah saw berkata kepada ‘Aisyah ra:


فَكُنْتُ لَكَ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ


Artinya: “Bagimu, aku bagaikan Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in” (HR. Al Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448).


Pernyataan Nabi diatas mengindikasikan bahwa Nabi tidak melarang perempuan-perempuan menggunakan perhiasan di telinga mereka.


Berikutnya, terdapat pula hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah dalam kisah shalat hari raya di mana pada saat itu Rasulullah mengkritik perempuan-perempuan yang enggan bersedekah, kemudian:


فجعلْنَ يتصدقْنَ من حليِّهِنَّ . يُلقِين في ثوبِ بلالٍ من أقرطتهِنَّ وخواتمهِنَّ


Artinya: “.. maka para wanita menyedekahkan perhiasan-perhiasannya, mereka meletakkan anting-anting dan cincinnya pada baju Bilal” (HR. Al Bukhari no. 964, dan Muslim no. 885)


Anting-anting tersebut diterima sebagai bagian dari sedekah. Hal tersebut menunjukkan bahwa anting-anting merupakan barang yang tidak dilarang dalam Islam. Karena kalau misalkan dilarang, tentunya Nabi tidak akan menerimanya sebagai bagian dari sedekah. Berarti dari sini kita bisa menyepakati bahwa menindik daun telinga perempuan untuk tujuan berhias, memasang anting-anting, hukumnya adalah diperbolehkan.


Lantas bagaimana jika tindak penindikan tersebut dilakukan saat perempuan itu masih bayi? Dalam kitab Mughni al-Muhtaj disebutkan bahwa Imam al-Ghazali termasuk ulama yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang bisa menyakiti si bayi sehingga haram untuk dilakukan:


فَائِدَة : قَالَ فِي اْلإِحْيَاءِ لاَ أَدْرِيْ رُخْصَةً فِي تَثْقِيْبِ أُذُنِ الصَّبِيَّةِ لأَجْلِ تَعْلِيْقِ حُلِيِّ الذَّهَبِ أَيْ أَوْ نَحْوِهِ فِيْهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ جُرْحٌ مُؤْلِمٌ، وَمِثْلُهُ مُوْجِبٌ لِلْقِصَاصِ، فَلاَ يَجُوْزُ إلاَّ لِحَاجَةٍ مُهِمَّةٍ كَالْفَصْدِ وَالْحِجَامَةِ وَالْخِتَانِ. وَالتَّزَيُّنُ بِالْحُلِيِّ غَيْرُ مُهِمٍّ، فَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُعْتَادًا فَهُوَ حَرَامٌ، وَالْمَنْعُ مِنْهُ وَاجِبٌ، وَاْلإِسْتِئْجَارُ عَلَيْهِ غَيْرُ صَحِيْحٍ، وَاْلأُجْرَةُ الْمَأْخُوْذَةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ


Artinya: “Faidah; Imam Al-Ghazali berkata dalam kitab Ihya; Aku belum tahu keterangan yang memberikan kelonggaran hukum dalam melubangi telinga perempuan kecil untuk dibuat menggantungkan perhiasan emas (anting-anting). Sesungguhnya hal itu adalah melukai yang sangat menyakitkan. Dan seperti itu bisa menetapkan qishas. Hal itu tidak boleh dilakukan kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendasar, seperti untuk pengobatan bekam atau khitan. Sementara berhias dengan emas itu bukanlah hal penting. Melubangi telinga karena untuk menggantungkan perhiasan walaupun ini telah umum itu hukumnya haram dan mencegahnya hukumnya wajib. Menyewa seseorang untuk hal itu atau bekerja untuk hal itu hukumnya tidak sah dan ongkos yang diterimanya hukumnya haram”.


Berbeda halnya dengan Imam al-Zarkasyi dan ulama Hanabilah. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut boleh saja dilakukan karena sudah jamak dilakukan oleh orang-orang sejak zaman jahiliyah dan Rasulullah tidak mengingkarinya. Penjelasan mengenai hal ini bisa kita simak dalam kitab Fathul Muin:


وجوزه الزركشي واستدل بما في حديث أم زرع في الصحيح، وفي فتاوى قاضي خان من الحنفية أنه لا بأس به لانهم كانوا يفعلونه في الجاهلية فلم ينكر عليهم رسول الله


Artinya: “Imam Al-Zarkasyi membolehkan menindik telinga bayi perempuan berdasarkan hadits shahih yang bersumber dari Ummu Zar’in. Di dalam kitab Fatawa Qadhi Khan dari kalangan ulama Hanafiyah disebutkan bahwa tidak masalah menindik telinga bayi perempuan karena bangsa Arab di zaman Jahiliyah sudah terbiasa melakukan dan Rasulullah tidak mengingkarinya”.


Dari perdebatan di atas, maka sikap paling bijak yang bisa kita lakukan ialah menunda tindakan penindikan daun telinga perempuan hingga ia dewasa, mengingat bahwa hal tersebut diperbolehkan namun ada ulama yang mengharamkannya jika itu dilakukan saat masih bayi. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ibnu Sahroji atau dipanggil Ustadz Gaes, tinggal di Jakarta