Opini

Meluruskan Niat Haji

Rab, 15 Agustus 2018 | 22:00 WIB

Oleh Ahmad Yahya

Hakikat haji adalah kembali menuju kepada Allah SWT yang disimbolkan dengan menuju kepada Baitullah, sebagaimana dijadikan sebagai definisi haji secara bahasa. Sehingga orang yang menunaikan haji diharapkan kembali mendekat kepada Allah, baik secara lahir maupun batin.  

Ibadah haji merupakan ajaran dan ritual keagamaan untuk menapaktilasi Ibrahim, dimana haji hanyalah sebuah sistem simbol yang tidak terlalu berguna bagi kemanusiaan apabila tidak mampu menangkap makna terdalam dari ritualisme haji itu sendiri. Realitas masyarakat akan niat berhaji harus didasari dengan niat kuat hanya tunduk dan pasrah kepada Allah. 

Fenomena dan realitas masyarakat saat ini akan selfie ternyata merambah sampai pelaksanaan ibadah haji. Selfie secara harfiah seringkali diartikan sebagai aktivitas memotret diri sendiri atau narsisme. Jika ditelusiri lebih dalam, pengertian ‘selfie’ menurut referensi pustakawan Britania adalah “sebuah pengambilan foto diri sendiri melalui smartphone atau webcam yang kemudian diunggah ke situs web media sosial. 

Perbuatan itu dipandang mengandung unsur pamer atau bahkan riya’, yang kalau sampai pada taraf itu maka sangat membahayakan bagi pelakunya. Karena riya’ termasuk dosa besar, syirik kecil yang menghancurkan pahala amal. Sedangkan ibadah haji itu seharusnya hanya untuk Allah swt. Dimana perilaku tersebut juga akan mempengaruhi kualitas ibadah haji. 

Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah XIV/324, No. 4135 dari Mahmud bin Labid ; menerangkan bahwa “Sesungghuhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’. Allah swt akan mengatakan kepada mereka pada hari kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia “pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka di dunia.  Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka? (HR. Ahmad).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang datang ke Baitullah (untuk haji) lalu tidak berkata kotor dan tidak menyalahi aturan Allah, maka dia kembali sebagaimana baru terlahir dari rahim ibunya.” (H.R. Muslim).  

Di sinilah pentingnya, kenapa sampai para ulama angkat bicara untuk mengingatkan haji sedunia masalah selfie dalam berhaji. Karena selfie dalam berhaji dapat merusak amal sekaligus menjerumuskan pelakunya ke arah langkah-langkah syaitan. Sedangkan syaitan tidak akan menunjuki kecuali jalan ke neraka. 

Pentingnya Niat 
Niat memegang peranan penting dalam menggapai predikat haji mabrur. Dalam Al-Qur’an Allah swt telah menegaskan, bahwa mereka yang dipanggil untuk melaksanakan haji itu adalah mereka yang mampu (istitho’ah). Maksudnya, mampu berhaji karena Allah.” 

Niat karena Allah swt adalah melakukan segala perbuatan yang tujuannya hanya kepada Allah swt. Atau dalam bahasa arabnya yaitu Lillahi-Ta’ala (kepada Allah yang maha luhur). Tujuannya adalah “Yarjuuna Rahmatahu Wayakhoofuuna Adzaabah”  alias niat yang hanya berharap rahmat Allah (ridho Allah dan surga Allah) dan takut dari azab Allah. Ini mudah diucapkan namun dalam prakteknya perlu perjuangan dan konsistensi.  

Niat merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang menyatakan ; “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” HR. Bukhari.

Inilah sesungguhnya tantangan terberatnya, banyak orang yang antara lisan dan hati tidak sama. Sejatinya niat adalah sampainya ilmu, artinya jika sampai ilmu untuk melakukan sesuatu, maka berarti telah niat secara pasti. 

Sehingga diharapkan sebelum memulai tahapan haji, setiap calon jamaah haji bersungguh-sungguh meluruskan dan menata niat. Jangan sampai begitu tiba di tanah suci, muncul pikiran lain sehingga merusak niat tulus ibadah haji. 

Dalam memantapkan niat haji, para jamah haji harus dimulai dari kesadaran pribadi. Ibadah haji hendaknya dilakukan tulus dari lubuk hati yang paling dalam untuk menyempurnakan keimanan. Bukan karena gengsi dan riya’, dan bukan pula karena keturunannya (nasabnya) berasal dari orang baik-baik lantas pergi haji, bukan pula karena nasibnya baik serta bukan pula karena nisab ( materi)-nya. Atau istilahnya 3 ‘N’ (Nasab, Nasib dan Nisab).

Dalam kehidupannya, Rasulullah saw melaksanakan haji hanya sekali dan umrah tiga kali. Padahal, kesempatan Rasulullah saw untuk berhaji sangatlah banyak. Namun, penghulu para Nabi itu justru menunjukkan kepada umat-Nya bahwa kewajiban berhaji itu hanya sekali saja. Atau dalam sebuah istilah the first and the last of pilgrim to hajj (yang pertama dan terakhir menunaikan ibadah haji). Wallahu A’lam.


Penulis adalah Pengurus Ta’mir Mushala Al Ukhuwah, Sembungharjo, Genuk, Kota Semarang