Opini HARLAH KE-22 NU ONLINE

NU Online dan Transformasi Ritmisnya

NU Online  ยท  Selasa, 15 Juli 2025 | 07:01 WIB

NU Online dan Transformasi Ritmisnya

Saat ini, situs resmi Nahdlatul Ulama NU Online genap 22 tahun (Foto: NU Online)

Setelah sekian dasawarsa Nahdlatul Ulama (NU) menjadi wacana, dalam pengertian teknisnya, ada satu aspek di dalam tradisi warga Nahdliyin yang seringkali terabaikan, yakni fakta bahwa salah satu faktor utama yang melahirkan NU sebagai gerakan sosial keagamaan di awal abad-20 adalah kultur media. Artinya NU lahir dari perdebatan-perdebatan di media massa pada awal abad-20 di antara para tokoh pergerakan Indonesia di tengah tekanan kolonialisme.


Berdasarkan penuturan Ayung Notonegoro, Abdullah Alawi, dan berapa penelisik sejarah NU lainnya bahwa Surabaya pada awal abad-20 menjadi sebuah kota kolonial yang menjadi situs perjumpaan beragam latar belakang kelompok sosial sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan dari prototipe pergerakan nasional Indonesia, di antara tandanya adalah banyaknya penerbitan koran dan majalah yang menjadi medan (field) perdebatan intelektual pada masa itu, termasuk para tokoh pergerakan Islam, diantaranya para ulama pesantren.ย 


Para tokoh pendiri NU mengenal kultur korespondensi pemikiran dengan baik di koran maupun majalah yang tumbuh subur di masa awal abad-20 di Hindia Belanda. Sejak abad-19 akhir para kiai yang menimba ilmu pesantren dan mereka yang sempat menimba ilmu di Haramain adalah bagian dari kultur intelektual di Surabaya dan kota lainnya.


Setahun setelah NU didirikan, KH Abdul Wahab Chasbullah mendirikan majalah Swara Nahdlatoel Oelama (1927) dan Oetoesan Nahdlatoel Oelama (1928). Selang berapa waktu kemudian, NU menerbitkan Berita Nahdlatoel Oelama (1932).ย 


Penerbitan majalah dan koran oleh NU bukan lantaran mengikuti tren, tapi lebih pada kesadaran para kiai bahwa memiliki dan menerbitkan koran maupun majalah sebagai prasyarat dari eksistensi sebuah perkumpulan. Di samping itu, ada visi para pendiri NU bahwa di masa selanjutnya media akan menjadi salah satu tolok ukur bagi keberlangsungan NU sebagai wadah perjuangan Islam Indonesia.ย 


Setelah Swara Nahdlatoel Oelama, NU menerbitkan banyak majalah, disusul oleh lembaga-lembaga (lajnah) dan badan otonom di struktural NU yang turut menerbitkan majalah dan koran.


Namun, ketika peralihan rezim pada pertengahan 1960-an, ketika kapitalisme media massa berlangsung, majalah dan koran NU tidak mampu berkembang menjadi bisnis media cetak sebagaimana media massa yang dikembangkan kelompok lain. Saat itu, bisnis media hanya mungkin berkembang jika menjadi corong pemerintah dan corong dari kultur imperial yang dijalankan Amerika dan sekutunya.ย 


Memasuki dekade 1970-an, walaupun ada berapa koran dan majalah NU masih terbit, nasibnya di antara hidup dan mati (la yahya wala yamut) karena bukan hanya masalah tidak mampu mengikuti persaingan bisnis media massa yang berkembang cepat dan liberalistik, tapi watak rezim yang berkuasa juga semakin membatasi semua kelompok yang memiliki potensi mengimbangi hegemoni dan dominasi negara.ย 


Pada kuartal awal dekade 1980-an, media massa cetak utama di Indonesia berwajah mendua, antara ingin menjadi patokan atau standar intelektual dan keinginan menjaga kelancaran bisnis media. Meminjam istilah salah satu pahlawan jurnalisme radikal modern, David Barsamian, sejak 1960-an media massa mainstream memasuki kultur intelektual liberal-terbatas. Mereka hanya menjalankan jurnalisme yang terlihat kritis sepanjang tidak merugikan pendapatan bisnis mereka. Media massa memberikan liputan khusus bagi para elite kapital dan seleranya, dan mendukung arah politik rezim berkuasa.ย 


Tidak heran kemudian bisnis media massa pada masa itu menggulung majalah dan koran yang masih dijalankan secara konvensional yang tidak memiliki orientasi bisnis. Media cetak tidak lagi menjadi medan pergulatan intelektual seiring dengan kultur intelektual Indonesia yang juga semakin merosot menjadi kerja kehumasan bagi modal dan kekuasaan.


NU Onilne sebagai Tolok Ukurย 
Dua puluh lima tahun terakhir, pandangan orang dalam dan luar terhadap NU lebih menitikberatkan pada dinamika politik seperti hubungannya dengan negara, internasionalisme, konflik struktural, dan dampak buruk kultur partai politik (terutama parpol yang berbasis NU).ย 


Mereka tidak memperhatikan keberadaan dan dinamika portal berita resmi NU bernama NU Online, sebuah media yang didirikan generasi muda NU pada 2003 atauย 22 tahun lalu. Orang melupakan bahwa dinamika, masalah kemampuan bertahan dan pertumbuhan NU Online, menjadi salah satu tolok ukur dalam perkembangan dan dinamika NU secara umum, terutama pada masa reformasi politik di Indonesia yang semakin tak jelas bentuk dan arahnya.


Misalnya, bagi kalangan yang terlalu nostalgis, valuasi dinamika NU sejak kran Reformasi dibuka, mereka melihat kemerosotan NU di sana-sini, di banyak aspek struktural maupun kultural. Padahal dalam garis perbandingan (komparatif) seringkali mereka tidak fair dan tidak efektif karena sebenarnya kemerosotan juga terjadi pada kelompok sosial lain di Indonesia.

 

Sementara bagi kalangan internal NU sendiri perkembangan medianya,ย NU Online, dalam kurun reformasi seringkali dianggap sebagai entitas tempelan dari lembaga-lembaga struktural di tubuh struktural NU.


Seharusnya kemampuan bertahan sekaligus berkembangnya NU Online selama 22 tahun jadi salah satu bukti terjadinya dinamika politik organisasi yang sehat, terutama ukuran tentang masih berlangsungnya keterbukaan pemikiran, sebagai salah satu pilar demokrasi dalam kultur NU. Pasalnya, sebuah media hanya bisa bertahan, tumbuh dan berkembang di tengah kultur politik ormas yang sehat. Ini berarti ada kesetimbangan otoritas dan kekuasaan bagi kesehatan pemikiran dengan dibuka dan dirawatnya kultur perbedaan dan keberagaman.ย 


Penekanan ini menuju satu arah: apa pun bentuk perseteruan kekuasaan dan hegemonik yang berlangsung di internal NU ataupun persinggungannya dengan negara dan isu global, NU Online masih diberikan ruang untuk bertahan dan berkembang. Maka hal itu menunjukkan NU sedang baik-baik saja dan masih menjadi salah satu mesin pendorong transformasi internalย maupun kehidupan berbangsa secara ritmis.


Transformasi NU
Sejak dekade 1970-an akhir, mendiang Ketua Umumย PBNU (1984-2000) dan Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sudah mengingatkan dalam banyak tulisannya, terutama kepada orang luar yang mengkritik, nyinyir, sinis, dan tidak percayaย kemampuan transformatif warga NU. Menurut Gus Dur, orang luar itu tak melihat bahwa perubahan di tengah masyarakat Muslim pedesaan terjadi secara ritmis, tidak revolusioner maupun reformatif.ย 


Pada kesempatan lain, Gus Dur menyebut transformasi ritmis di tengah orang NU berlangsung dengan ijtihad tanpa jargon. Misalnya orang pesantren biasanya menghabituasi etika pesantren tentang bagaimana caranya menjadi orang biasa-biasa saja di tengah masyarakat, tidak merasa lebih baik, tidak merasa lebih alim dan tidak merasa menjadi orang penting dari siapa pun.

 

Etika semacam itu saja sudah dianggap sebagai suatu modal memulai transformasi di tengah lingkungan warga NU. Kultur orang NU lebih menerima penampilan atau performa orang luman (dermawan) daripada orang yang tampil revolusioner.ย 


Dari situ, Gus Dur ingin mengatakan bahwa sebagai kelompok sosial yang memiliki jejak sejarah, ingatan dan mekanisme produksi pengetahuan, orang NU, kelompok pesantren, memiliki cara pandang dan langkah melakukan perubahan yang seringkali berbeda bentuknya dengan pandangan dan praktik transformasi sosial kelompok lain. Gus Durย menyebutnya transformasi ritmis.


Transformasi ituย semacam nodal point dalam kacamata ilmu sosial, suatu titik penting yang seringkali tidak terlihat, tapi bisa menjadi sumber utama dari perubahan sosial. Nodal point seringkali tidak terlihat karena terhalangi bentuk-bentuk ekspresinya sehingga seringkali diabaikan ataupun dianggap tidak ada.ย 


Dalam banyak tulisan lain, Gus Dur memberikan contoh transformasi ritmis di tengah masyarakat NU, di antaranya ketika pesantren pedesaan menerima sekolah formal. Waktu itu, tanpa jargon apa pun, para kiaiย membuka sekolahan bagi para santri agar bisa menerima proses belajar modern. Seiring waktu kemudian sistem sekolah mulai dikenal di tengah masyarakat pesantren. Inilah perubahan yang terjadi berkat dinamika otoritas di pesantren yang tidak memvulgarkan diri.


Contoh lainnya, kiai-kiai pesantren pada era 1960-an menyekolahkan putera dan puterinya di jurusan ilmu pasti di banyak perguruan tinggi negeri Indonesia tanpa mengatakan bahwa ini langkah itu untuk mengurangi ketertinggalan orang pesantren di bidang sains dan ilmu modern lainnya.


Jurnalisme NU

Saya penggemar berat para pahlawan jurnalisme radikal seperti I.F Stone (atau biasa dikenal dengan Izzy Stone), Claud Cockburn (juga dua puteranya: Alex dan Patrick Cockburn), Graham Greene, GK Chesterton, maupun David Barsmian. Mereka senada bahwa perjuangan menerbitkan koran dan majalah online dalam konteks hari ini, dimana disrupsi intelektual, politik, dan ekonomi mengguncang semua ini kehidupan, membutuhkan empat pilar paling tidak: kapasitas intelektual (menulis), keberanian moral (kritis), kejelian manajerial, dan ketangguhan mentalitas.


Koran dan majalah non-mainstream di Amerika dan Eropa diterbitkan karena pembatasan intelektual dan kebebasan pemikiran sebagai dampak tekanan penguasa dan pemodal (kultur imperial). Misalnya, jurnalisme gerilianya Cockburn merupakan olokan (mockering) terhadap jargon para intelektual โ€œmengatakan kebenaran kepada penguasaโ€ (tell truth to the power) menggantinya dengan โ€œmengatakan kebenaran kepada yang tak berdayaโ€ karena para penguasa dan pemodal tidak membutuhkan kebenaran dan tidak pernah tahu kebenaran. Seorang jurnalis tidak perlu mempercayai apa pun, terutama dari mulut bisnis dan pemodal, sampai sesuatu itu disangkal secara resmi.

 

Dari situ, saya ingin mengatakan, kerja jurnalisme yang berakar pada intelektualisme dalam kultur NU adalah bagian dari faktor penggerak perubahan yang seringkali terabaikan.


NU Online berangkat meditasi dan kegelisahan intelektual anak muda NU yang kurang lebih sama tentang jurnalisme dan kebebasan berpikir, seperti masalah keberlangsungan tradisi intelektual NU, pembatasan pemberitaan tentang NU oleh media massa mainstream, dan aktivisme anak muda NU yang masih melihat potensi transformasi sosial melalui jalur jurnalisme yang memiliki akar intelektual.


Begitu banyak perkembangan dari NU Online selama ini. Paling mencolok adalah perkembangan kerja keredaksian semakin menguat sehingga tampilan rubrikasi, kapasitas jurnalisme, dan NU Online bukan lagi media untuk para penulis pemula pesantren dan penulis tanpa honor.ย 


Terakhir, podcast โ€œMenjadi Indonesiaโ€ yang mengingatkan model wawancara panjang David Barsmian di Alternative Radio-nya di daerah Boulder, Colorado, Amerika Serikat dengan berapa tokoh dunia yang menurutnya layak didengar masyarakat luas.ย 


Selamat ulang tahun ke-22 NU Online!

 

Hasan Basri Marwah,ย  penulis, serta pegiat dan pemerhati budaya kelahiran Nusa Tenggara Barat, pengurus Lesbumi PBNU
ย 
ย