Opini

Santri-Petani dan Ketahanan Pangan

Sab, 23 September 2017 | 05:30 WIB

Santri-Petani dan Ketahanan Pangan

Ilustrasi (kenkoskela.com)

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Saya perkirakan lebih dari 30 persen santri adalah petani yang mengandalkan sawah dan ladang sebagai mata pencariannya. Mereka tinggal di desa-desa, tidak jarang merangkap sebagai guru ngaji atau profesi lainnya. Kehidupan mereka berada di bawah garis cukup. Hanya saja, pendidikan agama yang mereka peroleh menguatkan rasa kepasrahan mereka melebihi manusia pada umumnya.

Pertanian di Indonesia dalam skala besar sedang menghadapi krisis kualitas dan kuantitas. Generasi muda kita tidak berminat untuk terjun di bidang pertanian. Lebih suka berpindah ke kota dan mencari pekerjaan di sana. Belum lagi label “tiang tanos” (orang tani) yang dalam kultur kita sering dipandang sebagai orang bawah atau kelas terbelakang. Ditambah gaya hidup hedonistik yang dimunculkan sinetron-sinetron kita di televisi. Membuat minat generasi muda kita semakin terkikis

Sekarang ini, hampir tidak ada anak gadis yang bekerja di sawah. Alasannya macam-macam, dari mulai kurang gaul, takut hitam, jijik lumpur, sampai takut make up-nya luntur. Memang, di era globalisasi ini kecantikan telah direduksi maknanya sedemikian rupa oleh pabrik kosmetik dan iklan-iklannya. Pabrik-pabrik itu memonopoli pengertian tentang cantik. Akibatnya, cantik adalah apa yang digambarkan oleh iklan dan pabrik-pabrik kosmetik itu. Tidak ada lagi pemahaman tentang inner beauty, jika pun ada, ya, sekadar basa-basi.

Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap menurunnya minat generasi muda kita dalam bidang pertanian. Para pemuda takut dianggap kurang cool (keren), begitupun sebaliknya. Padahal, nenek moyang kita, laki-laki dan perempuan, pemuda dan gadis, menggarap sawah dengan penuh kerendah-hatian dan ketelatenan. Sekarang, jika generasi tua sudah tidak ada, siapa yang akan menggarap sawah-sawah itu?

Kecenderungan merantau generasi muda ke kota menjadi problem lain yang perlu diatasi. Berkembang atau tidaknya sebuah desa bergantung pada tenaga produktifnya. Jika tenaga produktifnya tidak ada (bekerja di kota), hasil panen akan menurun. Lambat laun, kebutuhan pangan di pedesaan akan disuplai dari luar.Desa yang tadinya produsen berubah menjadi konsumen pangan.

Selain itu, kecilnya keuntungan pertanian pangan dan harga sawah yang tinggi menjadi penghalang generasi muda kita untuk membayangkan kehidupan yang lebih baik dari bertani. Di samping tidak jarang para pemilik sawah merubah fungsi lahannya menjadi tempat produksi batu bata karena dinilai lebih prospektif.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah berubahnya lahan pertanian pangan menjadi perumahan dan perkebunan seperti kelapa sawit, kakao dan lain sebagainya. Tergantung permintaan pasar dan pertimbangan ekonominya. Hal ini menyebabkan angka produksi pangan nasional menurun.Impor beras dari luar negeri seakan-akan tidak dapat dihindarkan lagi. Parahnya, konversi itu tidak dibarengi dengan pembukaan lahan persawahan baru, sehingga ketahanan pangan kita terancam.

Akibatnya, dari kurun 2010-2013 impor beras nasional kita meningkat secara signifikan (Yunita T. Winarto [ed], Krisis Pangan dan “Sesat Pikir”: Kenapa Masih Berlanjut?, Pustaka Obor, 2016, hlm 174). Apabila kecenderungan impor yang disebabkan oleh stagnasi produksi pertanian terus berlanjut dan tidak ada perbaikan, kita akan memasuki situasi yang sangat aneh untuk sebuah negara agraris, ketergantungan pangan pada negara lain. 

Bagaimana Peran Santri dan Pesantren?

Di pesantren tradisional, tidak sedikit santri yang menggarap ladang milik pesantren atau kiai. Baik santri putra maupun santri putri berperan aktif dalam proses cocok tanam hingga panen. Karena kehidupan mereka terbangun dari kultur pesantren, mereka belum terpengaruh gaya hidup hedonistik yang berkembang di luar. Mereka menghabiskan waktunya dengan belajar, menghafal, kerja bakti dan mengaji.

Banyak dari mereka ketika pulang ke daerahnya masing-masing menyandarkan hidupnya dari pertanian, menggarap sawah milik orangtua atau mertuanya.Perasaan gengsi tidak terlalu berpengaruh dalam diri mereka, meski tetap saja ada yang terpengaruh oleh hal itu. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka dengan teguh menggenggam nilai-nilai kesantriannya.

Persoalannya malah terletak pada kecakapan mereka dalam bertani. Mereka tidak mendapatkan pendidikan atau pengajaran tentang cara bercocok tanam yang baik. Cara bertani mereka masih sangat tradisional dan seadanya, sebagaimana yang mereka lakukan ketika masih di pesantren. Karena itu, dalam hal melestarikan pertanian, mereka cukup memberikan pengaruh. Namun, dalam hal peningkatan produksi pangan, peran mereka masih teramat kecil.

Memandang hal tersebut, saya berpendapat, sudah saatnya pesantren mengembangkan pertanian dengan serius. Metode cocok tanam yang baik, pengenalan lahan pertanian, pencegahan hama yang efektif, dan bagiamana cara meningkatkan hasil panen harus diajarkan secara sistematik dan tepat.Pesantren harus membuka kelas-kelas pertanian modern yang rapih tanpa mengganggu proses ajar-mengajar santri.

Dilihat dari fenomena sosial yang berkembang, khususnya hilangnya minat anak muda untuk bergelut di bidang pertanian, dengan karakter kulturnya yang khas, santri bisa berperan aktif meningkatkan produksi pangan nasional. Tidak sekadar bertani ala kadarnya. Pesantren harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mempersiapkan santri-petani yang mumpuni dan cakap.

Memang, sudah ada beberapa pesantren yang mengambil langkah ini, bahkan menjadikan pertanian sebagai ciri khasnya, seperti Pesantren Pertanian Darul Fallah di Bogor. Namun, pesantren dalam arti luas masih sangat jauh menuju ke arah itu. Pertanian harus dilebur dengan pesantren, terlepas apapun tipologi pesantrennya. Pemanfaatan lahan persawahan milik pesantren atau kiai harus diarahkan sebagai sarana belajar yang terskema dengan rapih, tidak sekadar penjalanan tugas santri kepada kiai dan pesantrennya.

Meskipun pertanian di pesantren umum (bukan pesantren takhasshus) sekadar kegiatan ekstra, tetapi kegiatan ekstra itulah yang kemudian banyak dijadikan mata pencarian oleh santrinya. Karena itu, diperlukan penyikapan yang lebih serius, dengan pendidikan pertanian yang matang sebagai bekal santri. Tidak hanya untuk mengarungi kehidupan pribadinya, tapi juga berperan serta dalam penguatan ketahanan pangan nasional. Bukankah hal ini juga termasuk jihâd fî sabîlillah? Wallahu a’lam.


Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.