Ramadhan

Fiqih Puasa: Ini Ulama yang Bolehkan Tidak Puasa karena Bepergian Setelah Subuh

Rab, 29 Maret 2023 | 07:00 WIB

Fiqih Puasa: Ini Ulama yang Bolehkan Tidak Puasa karena Bepergian Setelah Subuh

Ilustrasi: Perjalanan musafir (freepik).

Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dalam fiqih puasa dikenal dengan istilah musafir. Ia merupakan salah satu golongan yang mendapatkan dispensasi (rukhsah) untuk tidak menjalankan puasa Ramadhan sekalipun mampu untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
 

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

 

Artinya, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah: 185).
 

Di antara syarat-syarat boleh tidak puasa bagi musafir adalah perjalanan jauh dengan radius diperbolehkan shalat qashar (masafatul qashri), dengan tujuan yang dilegalkan oleh syariat (mubah), dan juga harus berangkat sebelum terbitnya fajar (Subuh). Jika tidak memenuhi tiga syarat tersebut, maka ia harus tetap berpuasa dan tidak boleh membatalkannya.

 

Namun demikian, saat ini banyak ditemukan orang-orang yang melakukan perjalanan jauh dan dengan tujuan yang dilegalkan oleh syariat. Hanya saja berangkat setelah Subuh, bahkan terkadang ada yang berangkat jam 6 atau 7 pagi, kemudian dengan sengaja membatalkan puasa dengan dalih status musafir. Lantas, bolehkah tidak puasa sebagaimana dalam kejadian itu?


 

Tidak Puasa karena Perjalanan

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, orang yang sedang bepergian merupakan salah satu yang mendapatkan legalitas untuk tidak berpuasa. Hanya saja, jika berangkatnya dilakukan setelah Subuh, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu boleh dan tidak boleh.
 

Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam Kitab Mirqatu Shu’udit Tashdiq menampilkan dua pendapat tersebut, yaitu:

  1. Tidak boleh membatalkan puasa, karena antara ibadah yang di rumah (puasa) dan di perjalanan (tidak puasa), akan dimenangkan ibadah yang di rumah, sehingga tetap wajib puasa.
  2. Boleh membatalkan puasa, karena sebab dispensasinya berupa perjalanan (safar) sudah ada.


Dalam kitab itu disebutkan:
 

فَلَوْ أَصْبَحَ مُقِيْمًا ثُمَّ سَافَرَ فلَا يُفْطِرُ وَقَالَ الْمُزَنِي يَجُوْزُ لَهُ الْفِطْرُ قِيَاسًا عَلَى مَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَمَرَضَ نَعَمْ لَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ صَائِمًا فَلَهُ الْفِطْرُ لِأَنَّ السَّبَبَ الْمُرَخِّصَ مَوْجُوْدٌ

 

Artinya, “Jika seseorang berada di pagi hari dalam keadaan muqim (menetap di rumah), kemudian bepergian, maka ia tidak boleh membatalkan puasa. Imam Al-Muzani berkata, boleh baginya untuk tidak puasa, karena disamakan dengan orang yang ada di waktu pagi dalam keadaan puasa, kemudian ia sakit. Iya, jika seseorang yang berpuasa bepergian di waktu pagi, maka boleh baginya tidak puasa, karena sebab yang membolehkan (berupa safar) sudah ada. (Nawawi Al-Jawi, Mirqatu Shu’udit Tashdiq fi Syarhi Sullamit Taufiq, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], halaman 111).
 

Dalam penjelasan di atas, Imam Al-Muzani lebih memandang perjalanannya (sababul murakkhis), bukan pada waktu berangkatnya. Artinya, yang penting sudah sampai pada perjalanan diperbolehkan shalat qashar dan dengan tujuan yang dilegalkan secara syariat, maka boleh untuk membatalkan puasa, sekalipun berangkat setelah waktu Subuh.

 

Simpulan Hukum

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, pada dasarnya orang yang melakukan perjalanan jauh setelah waktu Subuh di waktu puasa wajib, tidak boleh baginya untuk membatalkan puasa. Hanya saja, Imam Al-Muzani membolehkan untuk tidak puasa, sekalipun berangkat setelah waktu Subuh. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.