Ramadhan

Kultum Ramadhan: Menghargai Perbedaan Rakaat Tarawih

Sab, 2 April 2022 | 18:45 WIB

Kultum Ramadhan: Menghargai Perbedaan Rakaat Tarawih

Kultum Ramadhan: Menghargai Perbedaan Rakaat Tarawih

Alhamdulillah akhirnya kita berkesempatan menjumpai Ramadhan 1443 H dengan penuh kesehatan bersamaan redanya pandemi global dua tahunan ini. Ramadhan yang kita nanti-nanti telah tiba sesuai doa yang kita panjatkan:

 

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

 

Artinnya, “Ya Allah, berkahilah kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”

 

Bulan mulia yang dinanti telah tiba, puasa, tarawih dan witir telah kita mulai. Semoga ibadah kita di sepanjang bulan Ramadhan benar-benar diterima disisi Allah. Amin allahumma amin.

 

Selain memperbanyak amal ibadah di sepanjang bulan Ramadhan, yang sangat penting kita jaga adalah perilaku kita. Jangan sampai kita melakukan perilaku-perilaku bodoh yang bertentangan dengan spirit puasa, yaitu imsak atau menahan diri dari berbagai keharaman, meskipun kadang motifnya berangkat dari hal-hal yang kelihatannya agamis.

 

Misalnya, orang saking semangat tarawih hingga mempermasalahkan orang lain yang sama-sama tarawih dan hanya beda jumlah rakaatnya. Yang satu shalat tarawih 20 rakaat, sementara yang lain shalat tarawih 8 rakaat. Lalu bilang dengan nada mengejek: “Tarawih kok hanya 8 rakaat, sukanya diskonan …”.

 

Lalu dijawab: “Shalat tarawih kok 20 rakaat. Udah bacaan suratnya pendek-pendek, shalatnya kilat lagi.” Akhirnya masing-masing pihak latur dalam sahut-sahutan tanpa manfaat, bahkan mencederai kesucian bulan Ramadhan. Na’ûdzubillâhi min dzâlik.

 

Kita ingat, bahwa tarawih 20 rakaat itu benar dan tarawih 8 rakaat juga benar. Yang tidak benar adalah yang tidak tarawih kan?

 

Kita lihat hasil penelitian ulama atas dalil-dalil tarawih. Setelah melakukan penelitian mendalam, Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal berkesimpulan, jumlah tarawih adalah 20 rakaat. Demikian pula pendapat Imam Malik dalam salah satu riwayat.

 

Bila bacaan diperluas, akan kita temukan pula ulama yang membolehkan tarawih 8 rakaat atau kurang, semisal Syekh Husain bin Ibrahim Al-Maghribi dari mazhab Maliki dalam kitabnya Qurratul ‘Ai bi Fatâwâ Ulamâ-il Haramain halaman 314. Bahkan, Syekh Abdullah Bafaqih dari mazhab Syafi’i jelas-jelas menyatakan: “Andaikan orang hanya tarawih sebagian rakaat saja (semisal hanya 2 rakaat), maka tetap sah dan tetap diberi pahala shalat tarawih”, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya Busyral Karîm, halaman 254.

 

Karenanya benar, dalam urusan tarawih yang jelas-jelas diperselisihkan ulama, kita tidak boleh memaksakan orang lain harus sama dengan kita. Semua ada dalilnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Satu sama lain harus saling menghargai perbedaan jumlah rakaat tarawih. Yang tarawih 8 rakaat tidak apa. Yang tarawih 20 rakaat alhamdulillah. Yang tidak atau belum berangkat tarawih kita doakan besok segera tarawih bersama-sama kita. Amin.

  

Teladan Imam Malik

Suatu kali Imam Malik didatangi Khalifah Harun Ar-Rasyid yang hendak menjadikan kitab Al-Muwatha’ karya beliau sebagai rujukan hukum di seluruh negeri.

 

“Aku ingin memaksa orang-orang mengikuti kitab Al-Muwatha’ sebagaimana Utsman memerintahkan orang-orang merujuk mushaf Al-Qur’an hasil kodifikasinya,” tegas Khalifah Harun Ar-Rasyid.

 

Namun apa respons Imam Malik? Di luar dugaan sang khalifah, dengan tegas Imam Malik menjawab:

 

“Adapun pemaksaan orang-orang untuk mengikutiku, maka aku tidak mau. Sebab para sahabat Nabi Muhammad saw telah tersebar di berbagai kota, lalu mereka pun telah meriwayatkan hadits kepada para penduduknya. Masing-masing kota sudah ada rujukan ilmunya. Bukankah Nabi saw sendiri telah bersabda: ‘Ikhtilâfu ummatî rahmah (perbedaan umatku, maksudnya ulama, adalah rahmat)?’ Sebagaimana dikisahkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulûmiddîn juz I halaman 27.

 

Dari kisah ini kita menyadari, sudah semestinya kita tidak memperbesar perbedaan dalam hal-hal yang tidak prinsip dan memang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama. Cukuplah Imam Malik menjadi teladan. Apalagi dalam bulan Ramadhan, kita harus lebih ekstra hati-hati jangan sampai menyakiti dan menyinggung orang lain, seiring sabda Nabi Muhammad saw:

 

إِنَّ الصِّيَامَ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ. فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ (رواه أحمد)

 

Artinya, “Sungguh puasa adalah benteng dari api neraka, karenanya ketika salah seorang dari kalian berpuasa, maka jangan berkata buruk dan berbuat bodoh. Bila ada orang mencaci-makinya atau mengganggunya, maka katakanlah: “Aku sedang berpuasa”. (HR Ahmad).

 

Demikian kultum ini, semoga bermanfaat. Semoga Allah menjaga perilaku kita di sepanjang Ramadhan, amin.

 

Ahmad Muntaha AM, founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online