Syariah

Aturan dan Cara Niat Melakukan Shalat

Sab, 28 Oktober 2017 | 08:00 WIB

Aturan dan Cara Niat Melakukan Shalat

Ilustrasi (3shaqi.com)

Di dalam ajaran agama Islam niat menempati posisi penting dalam melakukan berbagai ibadah. Di samping sebagai salah satu rukun yang menentukan keabsahan suatu ibadah niat juga menjadi penentu apakah sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf dianggap sebagai ibadah atau tidak. Niat pula yang menentukan kualitas ibadah seseorang.

Di dalam shalat ada tata cara tertentu yang mesti dilakukan dalam berniat. Dalam madzhab Syafi’i, satu hal yang paling mendasar yang mesti diperhatikan adalah bahwa niat shalat dilakukan di dalam hati bersamaan dengan pengucapan takbiratul ihram. Mengucapkan niat shalat dengan mulut sebelum takbratul ihram adalah bukan kewajiban namun suatu kesunnahan untuk dapat membantu hati mengucapkannya pada saat mulut mengucapkan takbiratul ihram (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kâsyifatus Sajâ [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008], hal. 90).

Sebagai gambaran bisa dicontohkan, bila seorang yang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia mengucapkan niat dengan mulutnya, namun saat takbiratul ihram hatinya tidak mengucapkan niat tersebut maka tidak sah niatnya dan karenanya tidak sah pula shalatya.

Berikutnya, orang yang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia diam saja, tidak mengucapkan niat dengan mulutnya, namun pada saat mengucapkan takbiratul ihram dibarengi hatinya mengucapkan niat maka sah niatnya.

Yang sunnah adalah bila seorang hendak melakukan shalat sebelum mengucapkan takbiratul ihram ia mengucapkan niat dengan mulutnya, lalu ketika mengucapkan takbiratul ihram hatinya membarengi dengan mengucapkan niat.

Dari gambaran-gambaran tersebut maka seandainya terjadi kesalahan pengucapan niat di mulut namun benar pengucapannya di dalam hati maka niat tersebut dianggap sah karena yang dipakai adalah niat yang ada di dalam hati. Sebagai contoh, orang yang hendak melakukan shalat maghrib sebelum takbiratul ihram mulutnya mengucapkan niat dengan menyebut shalat isya, sementara ketika takbiratul ihram hatinya berniat dengan menyebutkan shalat maghrib maka sah niat dan shalatnya. Namun bila yang terjadi sebaliknya maka tidak sah niat dan shalatnya.

Selanjutnya para ulama mengatur tata cara berniat shalat dengan melihat status hukum shalatnya. Sebagaimana yang dituturkan Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najâ:

النية ثلاث درجات: ان كانت الصلاة فرضا وجب قصد الفعل والتعيين والفرضية وان كانت نافلة مؤقتة كراتبة او ذات سبب وجب قصد الفعل والتعيين وان كانت نافلة مطلقة وجب قصد الفعل فقط

Artinya: Niat shalat itu ada 3 (tiga) tingkatan; bila shalatnya fardlu maka wajib memuat tiga unsur menyengaja melakukan pekerjaan (qashdul fi’li), menentukan shalatnya (ta’yin), dan menyebutkan kefardluan (fardliyah). Bila shalatnya sunah yang tertentu waktunya seperti shalat rawatib atau shalat yang memiliki sebab maka niatnya wajib memenuhi unsur menyengaja melakukan pekerjaan dan menentukan shalatnya. Dan bila shalatnya sunah mutlak maka niatnya wajib memenuhi unsur menyengaja melakukan pekerjaan saja” (lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami [Jedah: Darul Minhaj, 2009], Hal. 33).


Lebih lanjut apa yang disampaikan Syekh Salim di atas dijelaskan oleh Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Niat shalat fardlu harus mencakup tiga unsur yakni qashdul fi’li, ta’yin dan fardliyah.

Yang dimaksud dengan qashdul fi’li adalah berniat melakukan shalat dimana dalam kalimat niat berupa kata “usholli” yang berarti saya berniat shalat. Adapun yang dimaksud ta’yin adalah menentukan nama shalatnya seperti maghrib, isya atau lainnya. Sedangkan yang dimaksud fardliyah adalah menyebutkan kata fardla pada saat berniat.

Dengan demikian maka kalimat niat untuk shalat fardlu—semisal shalat madhrib—adalah:

اُصَلي فرض المغرب

Ushallî fardlal maghribi

“Saya berniat shalat fardlu maghrib”

2. Niat shalat sunah yang telah ditentukan waktunya atau shalat sunah yang memiliki sebab dalam niatnya wajib memuat dua unsur yakni qashdul fi’li dan ta’yin.

Shalat yang telah ditentukan waktunya seperti shalat dluha, shalat tahajud, shalat tarawih dan lainnya. Sedangkan shalat yang memiliki sebab seperti shalat istisqa, shalat hajat, shalat gerhana dan lainnya.

Kalimat niat untuk shalat ini—semisal untuk shalat tahajud—adalah:

اُصَلي التهجد

Ushallît tahajjuda

“Saya berniat shalat tahajud”

3. Niat shalat sunah mutlak cukup hanya dengan memenuhi unsur qashdul fi’li saja.

Yang disebut shalat sunah mutlak adalah shalat sunah yang tidak terikat oleh waktu dan sebab tertentu. Sebagai gambaran, bila sewaktu-waktu tanpa sebab tertentuseseorang ingin melakukan shalat sunah maka shalat yang dilakukannya itu adalah shalat sunah mutlak.

Kalimat niat untuk shalat ini cukup dengan kata:

اُصَلي

Ushalî

“Saya berniat shalat”

Kalimat-kalimat niat tersebut di atas sudah mencukupi tanpa harus ada tambahan kata mustaqbilal qiblati, adâ’an, lillâhi ta’âlâ atau penyebutan jumlah bilangan rakaat seperti rak’ataini, arba’a raka’âtin atau tsalâtsa raka’âtin. Karena kata-kata tambahan tersebut berstatus hukum sunah. Bila yang bersangkutan menyebutkan bilangan rakaat namun salah tidak sesuai dengan bilangan yang semestinya maka menjadikan shalatnya tidak sah. Seperti mau melakukan shalat dhuhur tapi dalam niatnya menyebutkan tiga rakaat.

Hanya saja bila orang yang mau melakukan shalat secara berjamaah dan ia sebagai makmum maka pada niatnya harus ditambahi kata ma’mûman. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua