Taubat adalah hal yang wajib dilakukan bagi setiap orang Mukmin yang telah melakukan maksiat kepada Allah SWT. Taubat dilakukan tak lain sebagai syarat utama agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
ياأيها الذين آمَنُواْ توبوا إِلَى الله تَوْبَةً نَّصُوحاً عسى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu," (Surat At-Tahrim ayat 8).
Taubat wajib dilakukan dengan sesegera mungkin setelah seseorang melakukan maksiat, apapun jenis maksiat yang dilakukannya, dosa kecil dan dosa besar. Sebab jika tidak segera taubat, maka seseorang menganggap remeh dosa dari maksiat yang telah dilakukannya.
Salah satu bentuk maksiat yang wajib untuk segera ditaubati adalah meninggalkan salah satu shalat wajib lima waktu. Dengan meninggalkan shalat wajib dari waktu yang telah ditentukan dengan tanpa adanya uzur berarti ia dianggap melakukan dosa besar sebab meninggalkan shalat termasuk dalam kategori dosa besar seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami:
تنبيهات منها : عد ما ذكر من أن كلا من ترك الصلاة وتقديمها على وقتها وتأخيرها عنه بلا عذر كبيرة
Artinya, “Hal-hal yang perlu di ingat, di antaranya bahwa segala hal yang telah dijelaskan menyimpulkan sungguh setiap orang yang meninggalkan shalat atau mendahulukan shalat dari waktunya atau mengakhirkan shalat dari waktunya tanpa adanya uzur termasuk dosa besar,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir an Iqtirafil Kaba’ir, halaman 355).
Berdasarkan referensi tersebut dapat dipahami bahwa meninggalkan shalat bukan persoalan sepele, sebab termasuk kategori dosa besar yang menyebabkan seseorang mendapatkan predikat fasiq. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja hendaknya sesegera mungkin untuk bertaubat atas dosa yang telah ia lakukan.
Cara bertaubat bagi orang yang meninggalkan shalat adalah dengan cara memenuhi beberapa syarat taubat secara umum, yaitu segera mengqadha shalat yang pernah ia tinggalkan. Hal ini merupakan implementasi dari syarat taubat yang berupa “Menyudahi melakukan maksiat saat itu juga”, sebab orang yang meninggalkan shalat berarti ia terus menerus melakukan maksiat karena tidak melaksanakan perintah berupa mengqadha’ shalat yang ia tinggalkan sesegera mungkin.
Syarat selanjutnya adalah dengan wujud penyesalan atas dosa yang pernah ia lakukan, dalam hal ini adalah meninggalkan shalat secara sengaja. Penyesalan ini diwujudkan dengan memperbanyak membaca istighfar dengan mengharap semoga dosanya diampuni oleh Allah SWT.
Syarat terakhir yaitu ia bertekad tidak akan mengulang kembali dosa yang pernah ia lakukan, dalam hal ini adalah meninggalkan shalat secara sengaja. Dengan demikian ia tidak terjerumus kembali dalam keteledorannya berupa tidak melaksanakan perintah Allah SWT.
Dengan melaksanakan ketiga syarat ini dan menjalankannya secara teguh, berarti ia telah melaksanakan taubat atas shalat yang pernah ia tinggalkan. Syarat-syarat di atas tercantum dalam Kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah:
اعلم أن كلّ من ارتكب معصيةً لزمه المبادرةُ إلى التوبة منها، والتوبةُ من حقوق اللّه تعالى يُشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يُقلع عن المعصية في الحال، وأن يندمَ على فعلها، وأن يَعزِمَ ألاّ يعود إليها والتوبةُ من حقوق الآدميين يُشترط فيها هذه الثلاثة، ورابع : وهو ردّ الظلامة إلى صاحبها، أو طلب عفوه عنها والإِبراء منها
Artinya, “Ketahuilah bahwa sungguh setiap orang yang melakukan maksiat wajib baginya untuk bergegas untuk bertaubat. Bertaubat pada hal yang berkaitan dengan Hak Allah disyaratkan tiga hal. Pertama, Menyudahi melakukan maksiat saat itu juga. Kedua, Merasa menyesal pernah melakukan maksiat. Ketiga, Bertekad untuk tidak mengulang kembali maksiat yang pernah dilakukannya.
Sedangkan bertaubat atas dosa yang berkaitan dengan hak orang lain disyaratkan tiga hal di atas dan satu hal lain yang menjadi syarat keempat yaitu mengembalikan kezaliman yang pernah dilakukannya (pada orang lain) kepada pemiliknya atau meminta maaf atas kezaliman yang pernah dilakukannya dan meminta kebebasan tanggungan dari mengembalikan kezaliman yang pernah dilakukan olehnya,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyah, halaman 438).
Syarat-syarat yang dijelaskan dalam referensi tersebut tidak hanya terkhusus pada bentuk maksiat berupa meninggalkan shalat, tapi juga berlaku pada semua jenis maksiat secara umum. Dengan penambahan satu syarat lain, ketika maksiat yang dilakukan berkaitan dengan haqqul adami, seperti mencuri, merampas, membunuh, dan bentuk maksiat lain yang berkaitan dengan orang lain.
Semoga segala upaya taubat yang kita lakukan dapat diterima oleh Allah dan dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya. Amin. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin