Syariah

Hukum Shalat Istisqa di Malam Hari

Rab, 25 September 2019 | 09:45 WIB

Hukum Shalat Istisqa di Malam Hari

(Ilustrasi: NU Online)

Istisqa secara bahasa adalah meminta siraman berupa air minum, air hujan, air masak, dan lainnya. Sedangkan secara istilah syariat adalah permintaan hujan oleh seorang hamba kepada Allah subhanahu wata’ala saat membutuhkannya. Istisqa disyariatkan ketika putusnya air hujan atau minimnya sumber air, semisal karena kemarau panjang. 
 
Istisqa bisa dilakukan dengan tiga caraPertama, dengan berdoa agar segera diberi hujan, baik sendirian maupun berjamaah. Istisqa jenis pertama ini tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
 
Baca juga:
 
Kedua, berdoa meminta hujan setelah shalat, baik shalat sunnah maupun shalat fardhu, semisal setelah khutbah Jumat, khutbah shalat hari raya, dan sebagainya. Istisqa jenis kedua ini tidak berbeda dengan yang pertama, namun doa yang dipanjatkan lebih khusus dilakukan setelah shalat dengan segala jenisnya. 
 
Ketiga, dengan bertaubat, puasa dan shalat Istisqa. Cara yang ketiga ini adalah cara yang paling utama, karena telah diamalkan oleh Nabi, sahabat, Tabi’in dan generasi ulama setelahnya (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain [Surabaya: al-Haramain], hal. 111, dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, al-Taqrirat al-Sadidah [Pasuruan: Dar al-‘Ulum al-Islamiyyah], hal. 350).
 
Adapun hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan bisa berubah statusnya menjadi wajib bila diperintahkan oleh pemerintah. 
 
Shalat Istisqa sunnah dilakukan secara berjamaah dan hendaknya diselenggarakan di lapangan. Segenap lapisan masyarakat mulai dari ulama, pejabat, pebisnis, pedagang, petani, pembantu dan lainnya hendaknya berkumpul dalam satu tempat untuk bersama-sama memanjatkan doa dan melaksanakan shalat Istisqa. Ulama menganjurkan agar mereka keluar dengan mengenakan pakaian sederhana yang jauh dari kesan mewah.
 
Tata cara shalat istisqa sama dengan shalat Idul Fitri dan Idul Adlha, yaitu dilakukan sebanyak dua rakaat, dengan niat shalat sunnah istisqa. Setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, sunnah membaca takbir sebanyak tujuh kali. Kemudian sebelum membaca surat al-Fatihah di rakaat kedua, sunnah membaca takbir sebanyak lima kali.
 
Setelah shalat istisqa, dianjurkan melaksanakan dua khutbah seperti khutbah hari raya kecuali pada permulaan khutbah pertama bacaan takbir diganti dengan membaca istighfar sebanyak sembilan kali dan sebanyak tujuh kali pada khutbah kedua. Kemudian saat telah melebihi sepertiga dari khutbah kedua khatib menghadap kiblat dan memutar selendangnya, dengan menjadikan bagian atas di balik ke bawah dan bagian bawah di balik ke atas serta bagian kanan dipindah ke sebelah kiri dan bagian kiri ke sebelah kanan yang kemudian diikuti oleh para jamaaah (Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, juz.1, Dar al-Fikr, hal. 305).
 
Shalat Istisqa umumnya dilakukan di siang hari, biasanya saat terik matahari sedang panas-panasnya. Namun baru-baru ini ada gagasan untuk melakukannya di malam hari. Sebetulnya bagaimana hukum melaksanakan shalat Istisqa di malam hari?.
 
Ulama berbeda pandangan mengenai ketentuan waktu shalat Istisqa. Pendapat pertama, seperti shalat hari raya, yaitu mulai dari terbitnya matahari hingga masuknya waktu zhuhur. Pendapat kedua, dimulai sejak terbitnya matahari hingga masuk waktu Ashar. Pendapat ini mirip dengan pendapat pertama dalam hal permulaan waktunya, namun berbeda dalam penetapan akhir waktunya. Pendapat ketiga, tidak dibatasi oleh waktu. Menurut pendapat ini, shalat Istisqa boleh dilakukan kapan saja, baik saat pagi, siang, sore atau malam hari. Pendapat ini adalah yang terkuat di kalangan mazhab Syafi’i, didukung oleh mayoritas ulama dan dibenarkan oleh ulama yang pakar dalam meneliti kajian fiqh (al-muhaqqiqin).
 
Ikhtilaf ketentuan waktu shalat Istisqa di atas sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Nawawi berikut ini:
 
(فرع) في وقت صلاة الاستسقاء ثلاثة أوجه (أحدها) وقتها وقت صلاة العيد وبهذا قال الشيخ ابو حامد الاسفراينى وصاحبه المحاملي في كتبه الثلاثة المجموع والتجريد والمقنع وأبو علي السنجي والبغوي وقد يستدل له بحديث ابن عباس السابق ولكنه ضعيف 
 
“Pasal tentang waktu shalat istisqa. Sebuah cabang permasalahan. Dalam waktu shalat Istisqa terdapat tiga pendapat. Pertama, waktunya seperti shalat hari raya, ini adalah yang dikatakan Syekh Abu Hamid al-Isfirayini dan sahabatnya, Imam al-Mahamili dalam tiga kitabnya yaitu al-Majmual-Tajrid, dan al-Muqni’, demikian pula Abu Ali al-Sinji dan al-Baghawi. Pendapat ini memakai dalil haditsnya Ibnu Abbas yang telah lalu, namun status haditsnya lemah.”
 
(والوجه الثاني) اول وقتها أول وقت صلاة العيد ويمتد إلى أن يصلي العصر وهو الذي ذكره البندنيجي والروياني وآخرون
 
“Pendapat kedua, awal waktunya adalah seperti awal waktu shalat hari raya, dan terus berlangsung sampai shalat Ashar. Ini adalah pendapat yang dituturkan Syekh al-Bandaniji, al-Rauyani, dan ulama-ulama lain.” 
 
والثالث وهو الصحيح بل الصواب أنها لا تختص بوقت بل تجوز وتصح في كل وقت من ليل ونهار إلا أوقات الكراهة على أحد الوجهين وهذا هو المنصوص للشافعي وبه قطع الجمهور وصححه المحققون 
 
“Pendapat ketiga, yaitu pendapat yang shahih bahkan pendapat yang benar, bahwa shalat Istisqa tidak terkhusus pada satu waktu, bahkan boleh dan sah di setiap waktu, malam dan siang kecuali waktu-waktu yang dimakruhkan menurut salah satu dua wajah. Ini adalah pendapat yang ditegaskan Imam al-Syafi’i, dipastikan oleh mayoritas ulama dan disahihkan oleh para ulama muhaqqiqin.” (Syekh Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz.6, hal.107 dan 108, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah-Bairut).
 
Simpulannya, melaksanakan shalat Istisqa di malam hari adalah diperbolehkan menurut pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i. Meski ada pendapat lain yang melarangnya, namun hendaknya tidak perlu diingkari, karena tergolong masalah yang diperselisihkan di kalangan ulama, terlebih pendapat yang membolehkan adalah pendapat yang kuat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Mari bersama-sama berdoa agar negeri kita segera diberi hujan dan hindari perdebatan receh yang semakin menjauhkan kita rahmat-Nya.
 
 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat