Syariah

Posisi Shaf Anak Kecil dalam Shalat Berjamaah

Jum, 11 Januari 2019 | 08:00 WIB

Posisi Shaf Anak Kecil dalam Shalat Berjamaah

Ilustrasi (deshebideshe.com)

Dalam menggapai kesempurnaan, pelaksanaan shalat berjamaah harus sesuai dengan berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebab, jika terdapat salah satu hal yang dimakruhkan dalam shalat berjamaah, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah.

Salah satu ketentuan yang harus diperhatikan dalam shalat berjamaah adalah tentang pengaturan shaf anak kecil dalam shalat berjamaah. Sebab jika anjuran ini tidak diperhatikan maka akan berakibat pada hilangnya fadhilah shaf pada shalat jamaah, bahkan menurut sebagian pendapat fadhilah shalat berjamaah menjadi hilang.

Sebelum menjelaskan tentang posisi shaf anak kecil dalam shalat berjamaah, patut diketahui bahwa anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum secara umum dalam shalat berjamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa (sudah baligh) pada barisan paling depan (shaf awal) lalu ketika shaf awal tidak cukup maka dilanjutkan pada shaf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita. Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat berjamaah menjadi sempurna. 

Berdasarkan ketentuan di atas, sebaiknya anak kecil tidak menempati shaf-shaf awal selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya. Karena tempat shaf bagi mereka adalah di belakang laki-laki dewasa. Barulah ketika shaf awal tidak penuh, anak kecil boleh untuk menempati shaf-shaf awal yang sejajar dengan laki-laki yang dewasa dalam rangka menyempurnakan shaf. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan, dan tidak perlu disingkirkan pada shaf di belakangnya, sebab mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh. ketentuan di atas tercantum dalam kitab Mauhibah dzi al-Fadhal:

ـ (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى 

“Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.” 

ـ (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

“Lalu yang menempati shaf dibelakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, mekipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadis shahih “hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah). Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai keterangan yang berkaitan dengan hal ini.” (Syekh Mahfudz at-Turmusi, Mauhibah dzi al-Fadhal Hasyiyah at-Turmusi, Juz 3, Hal. 59-62)

Maksud dari “anak kecil” dalam pembahasan shaf tersebut bermakna umum, sehingga mencakup seluruh anak yang masih belum baligh, baik itu sudah tamyiz (bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya) ataupun belum tamyiz (belum bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya). 

Namun ketentuan penempatan shaf di atas berubah ketika keadaan anak kecil sangat agresif dan hanya dapat shalat dengan tenang ketika bersanding dengan orang tuanya atau orang lain yang ditakutinya. Yakni, sekiranya anak kecil itu shalat berada jauh dari pengawasan mereka maka ia akan berpotensi ramai sendiri atau mengganggu (tasywis) terhadap jamaah lain. Dalam keadaan demikian sebaiknya ia ditempatkan di samping orang tuanya atau orang yang ditakutinya. 

Pengecualian lain juga berlaku ketika keadaan anak kecil masih belum tamyiz dan butuh pendampingan, seperti anak yang masih berumur sekitar dua atau tiga tahun yang masih belum berani jauh dari jangkauan orang tuanya. Hal yang paling maslahat dalam hal ini adalah menyandingkan anak kecil tersebut dengan orang tua atau orang lain yang biasa menjadi tumpuannya, agar anak kecil tidak merasa khawatir ketika jauh dari orang tuanya. Lebih maslahat lagi ketika orang tua dari dua anak kecil dari kategori di atas agar mengalah untuk menempati posisi shaf di belakang laki-aki dewasa, dengan begitu ia dapat mengontrol anaknya sekaligus menjalankan anjuran penempatan shaf bagi anak kecil secara benar. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi shaf yang benar bagi anak kecil adalah berada di belakang laki-laki dewasa, sekiranya laki-laki dewasa diprioritaskan agar menempati shaf yang berada di depan dan shaf-shaf yang mengiringinya. Baru setelah itu anak kecil ditempatkan pada shaf di belakangnya atau sejajar dengan shaf laki-laki dewasa ketika memang isi shaf tidak penuh. Ketentuan demikian dapat berubah ketika keadaan anak kecil akan ramai atau masih butuh pendampingan orang lain maka baiknya adalah bersanding dengan orang yang menjadi tumpuannya. 

Bagi para takmir masjid hendaknya memperhatikan dan mengamalkan ketentuan ini, agar shalat berjamaah para makmum yang shalat berjamaah di masjid benar-benar mendapat fadhilah shaf sekaligus fadhilah shalat berjamaah secara sempurna. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua