Syariah

Tata Cara Shalat Rawatib: Niat, Dalil, Waktu, dan Fungsinya

Jum, 6 Agustus 2021 | 14:30 WIB

Tata Cara Shalat Rawatib: Niat, Dalil, Waktu, dan Fungsinya

Shalat Rawatib bisa menjadi penyempurna ibadah shalat fardhu seseorang yang barangkali masiih banyak kekurangannya.

Sebelum mulai membahas lebih dalam terkait shalat Rawatib, baik barangkali membahas shalat sunnah secara umum terlebih dahulu, agar kita memahami bagaimana klasifikasi shalat sunnah secara utuh. Seperti yang disampaikan para ulama, shalat sunnah terbagi menjadi empat bagian; sunnah muthlaq (shalat sunnah yang tak dibatasi oleh apa pun), sunnah mu‘aqqat (shalat sunnah yang dibatasi waktu tertentu), dan dua lainnya adalah shalat sunnah yang dilakukan karena ada sebab dan motif tertentu, baik sebab yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Sedangkan sunnah mu’aqqat sendiri terbagi dua; (1) yang sunnah dilakukan secara berjamaah dan (2) yang tidak sunnah dilakukan secara berjamaah. Dan, di bagian inilah posisi shalat Rawatib, ia termasuk sunnah mu’aqqat yang tidak disunnahkan berjamaah.

 

Secara singkat, sunnah Rawatib adalah ibadah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu, baik qabliyah (dilakukan sebelum shalat fardhu) maupun ba’diyah (dilakukan setelah shalat fardhu). Di antara beberapa waktu pelaksanaan shalat sunnah Rawatib adalah empat rakaat sebelum Ashar, empat rakaat sebelum dan setelah Zuhur, dua rakaat sebelum dan setelah Maghrib, dua rakaat sebelum dan setelah Isya’, dan dua rakaat sebelum subuh. Terkait tata cara pelaksanaannya, sedikit pun tak berbeda dengan shalat pada biasanya, kecuali dalam urusan niat.

 

Niat dan Dalil Shalat Sunnah Rawatib

 

Shalat Rawatib Ashar

Shalat Ashar memiliki empat rakaat sunnah Rawatib yang di lakukan sebelum shalat fardhu, dengan dalil hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam yang berbunyi:

 

رحم الله امرءا صلّى قبل العصر أربعًا

 

Artinya, “Allah akan merahmati hamba-Nya yang shalat empat rakaat sebelum Ashar.”

 

Teruntuk shalat Rawatib yang empat rakaat, boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam (melakukannya masing-masing dua rakaat). Adapun lafal niatnya, Ushallî sunnatal ashri arba’a raka‘âtin/rak‘ataini qabliyyatan lillâhi ta‘âlâ, “Saya shalat sunnah qabliyah Ashar empat rakaat/dua rakaat karena Allah ta’ala.

 

Shalat Rawatib Zuhur

Shalat Zuhur dilengkapi dengan empat rakaat sebelum dan sesudah shalat fardhu. Dalilnya, hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam yang berbunyi:

 

من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار

 

Artinya, “Siapa orang yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah haramkan ia masuk neraka.”

 

Lafal niatnya, Ushallî sunnatad dhuhri arbaa raka‘âtin/rak‘ataini qabliyyatan/ba'diyatan lillâhi ta‘âlâ, “Saya shalat sunnah qabliyah/ba’diyah Zuhur empat rakaat/dua rakaat karena Allah ta’ala.

 

Shalat Rawatib Maghrib

Dalam shalat Magrib, syariat menganjurkan kita shalat sunnah Rawatib dua kali, qabliyah dan ba’diyah yang masing-masing dilaksanakan dua rakaat. Dalilnya, hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam berikut:

 

بين كل أذانين صلاة، بين كل أذانين صلاة، بين كل أذانين صلاة لمن شاء

 

Artinya, “Di antara dua adzan (adzan dan ikamah), di antara dua adzan, di antara dua adzan, ada kesunnahan melakukan shalat bagi yang berminat.”

 

Para ulama menjadikan hadits di atas sebagai dalil kesunnahan shalat qabliyah Maghrib. Sedangkan sunnah ba’diyah berdasar pada sebuah hadits lain yang berbunyi:

 

من صلى بعد المغرب ركعتين قبل أن يتكلم كتبتا في عليين

 

Artinya, “Siapa orang yang shalat dua rakaat setelah Maghrib sebelum ia sempat berbicara apa pun, maka pahalanya akan dicatat di surga Illiyyin.”

 

Lafal niatnya, Ushallî sunnatal Maghrib rak'ataini qabliyyatan/ba'diyatan lillâhi ta‘âlâ, “Saya shalat sunnah qabliyah/ba’diyah Maghrib dua rakaat karena Allah ta’ala.

 

Shalat Rawatib Isya

Sebagaimana shalat Maghrib, Isya’ juga memiliki dua waktu sunnah Rawatib, qabliyah dan ba’diyah, dan masing-masing dikerjakan dua rakaat. Dalilnya adalah pengakuan seorang sahabat, Muhammad bin al-Munkadir yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim. Ia mengatakan:

 

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين بعد العشاء

 

Artinya, “Saya pernah shalat dua rakaat setelah Isya’ bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam.”

 

Adapun dalil sunnah qabliyah Isya’, para ulama menggunakan dalil yang sama dengan shalat qabliyah Maghrib.

 

Lafal niatnya, Ushallî sunnatal Isya’ rak‘ataini qabliyyatan/ba’diyatan lillâhi ta‘âlâ, “Saya shalat sunnah qabliyah/ba’diyah Isya’ dua rakaat karena Allah ta’ala.

 

Shalat Rawatib Subuh

Adapun shalat Subuh, walau hanya difasilitasi dengan dua rakaat yang dilakukan sebelum shalat fardhu (sunnah qabliyah), namun keutamaannya tak kalah istimewa dari yang lain. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits imam Muslim, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

 

ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها

 

Artinya, “Dua rakaat shalat fajar lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”

 

Terkait istilah, ulama terkadang menyebutnya sunnah qabliyah subuh, sunnah fajar, sunnah barad (dingin), dan sunnah wustha (tengah) berdasar pada pendapat lemah bahwa shalat Subuh termasuk shalat wustha (shalat yang ada di tengah di antara lima shalat yang ada). Karena itu, maka lafal niatnya juga boleh beragam tergantung ingin menyebutnya sebagai shalat apa.

 

Lafal niatnya, Ushallî sunnatas subhi rak‘ataini qabliyyatan lillâhi ta‘âlâ, “Saya shalat sunnah qabliyah subuh dua rakaat karena Allah ta’ala.

  

Fungsi Shalat Sunnah Rawatib

Teruntuk fungsi, shalat sunnah Rawatib berpengaruh besar terhadap nasib ukhrawi seseorang, antara sejahtera (sa’id) atau sengsara (syaqiy). Kita pahami bersama bahwa tolok ukur awal Allah subhanahu wa ta’ala menilai hamba-Nya kelak di akhirat adalah melalui shalatnya. Bila shalatnya baik, maka akan dilanjutkan menuju penilaian amal ibadah lainnya. Namun, bila tidak, Allah tak perlu melihat amal lain untuk memutuskan nasib ukhrawi hambanya.

 

Kira-kira demikianlah keterangan para ulama dalam menunjukkan seberapa penting ibadah shalat itu. Lalu apa peran shalat sunnah Rawatib terhadap nasib ukhrawi seseorang? Jawabannya karena ia dapat menjadi penyempurna shalat fardhu. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

 

إن فريضة الصلاة والزكاة وغيرهما إذا لم تتم تكمل بالتطوع

 

Artinya, “Shalat fardhu, zakat, dan kewajiban-kewajiban lain bila masih tidak sempurna, maka dapat disempurnakan dengan yang sunnah.”

 

Hal ini, juga sejalan dengan sebuh hadits qudsi berikut:

 

فإن انتقص من فريضته شيئا قال الرب سبحانه : أنظروا هل لعبدي من تطوع فيكمل به ما انقص من الفريضة؟

 

Artinya, “Bila seorang hamba mengalami cacat atau kurang dalam amal ibadah, maka Allah berfirman, ‘Wahai para malaikat, lihatlah dahulu apakah hambaku punya amal sunnah, sehingga itu bisa menyempurnakan amalnya yang kurang?”

  

Membaca hadits Nabi dan hadits qudsi di atas, tempak jelas begitu besar dan luasnya kasih-sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada sekalian hamba-Nya. Bahkan, saat detik-detik terakhir penentuan nasib sang hamba, masih dicari-cari lagi peluang agar ia selamat dari nasib ukhrawi yang tak menyenangkan itu.

 

Tulisan ini, secara utuh merujuk kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurratil ‘Ain, Hasyiah I’ânah at-Thalibîn, dan Nihayatuzzain fi Irsyadil Mubtadi‘in. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawâb.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur