Sirah Nabawiyah PARENTING ISLAMI

Kelembutan Dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab

Jum, 8 Oktober 2021 | 03:15 WIB

Kelembutan Dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab

Kelembutan dakwah Nabi saw terhadap Ahli Kitab.

Salah satu metode dakwah Nabi saw terhadap Ahlul Kitab atau umat Yahudi dan Nasrani adalah mengajaknya dengan lemah lembut. Meskipun sering mendapat perlakuan kasar dari mereka, Nabi saw tidak membalasnya. Justru kelembutan dakwah yang selalu Nabi saw tampakkan. Kelembutan dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab inilah yang membuat mereka luluh dan akhirnya menyatakan masuk Islam.


Bersikap lemah lembut merupakan ajaran Islam, termasuk saat melakukan aktivitas dakwah. Dalam Al-Qur’an Allah Swt. Berfirman:


وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدٰوَةٌ  كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٌ  


Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fusshilat: 34)


Berkaitan ayat di atas, Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan:

 
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ يَعْنِي ادْفَعْ سَفَاهَتَهُمْ وَجَهَالَتَهُمْ بِالطَّرِيقِ الَّذِي هُوَ أَحْسَنُ الطُّرُقِ، فَإِنَّكَ إِذَا صَبَرْتَ عَلَى سُوءِ أَخْلَاقِهِمْ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، وَلَمْ تُقَابِلْ سَفَاهَتَهُمْ بِالْغَضَبِ وَلَا إِضْرَارَهُمْ بِالْإِيذَاءِ وَالْإِيحَاشِ، اِسْتَحْيَوْا مِنْ تِلْكَ الْأَخْلَاقِ الْمَذْمُومَةِ وَتَرَكُوا تِلْكَ الْأَفْعَالَ الْقَبِيحَةَ


Artinya: “Maksud dari ‘Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik’ adalah, tolaklah orang-orang tidak tahu dari mereka (orang kafir) dengan cara yang bijak. Karena jika kita tetap bersabar menghadapi moral buruk mereka; tidak marah dengan perilaku bodoh mereka, tidak pula membalas menyakitinya, maka dengan sendirinya mereka akan malu terhadap perbuatan buruknya.”

 


Masih menurut ar-Razi, bahkan jika kita membalas perilaku buruk lawan dengan kebaikan, dengan sendirinya mereka akan menyudahi perbuatan buruknya. Lebih dari itu, yang tadinya benci, bisa menjadi cinta. Rasa benci pun berubah menjadi sayang. (Ar-Razi, Mafâtihul Ghaib, [Beirut, Dârul Fikr: 1981], juz XXVII, halaman128).


Dari penafsiran Imam ar-Razi di atas, kita bisa menyimpulkan, sikap bijak dalam berdakwah sangat diperlukan. Seperti membalas keburukan dengan kebaikan, hingga mampu meluluhkan lawan. Kelembutan dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab seperti ini sudah diteladankan oleh Rasulullah saw saat mengajak Ahli Kitab untuk masuk Islam. Berikut adalah beberapa contoh di antaranya.

 


Nabi Tidak Membalas Ucapan Kasar Orang Yahudi

Kelembutan dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab juga disaksikan langsung oleh Sayyidah Aisyah. Dalam hadits yang diriwayatkannya dikisahkan, pernah suatu ketika Nabi saw didatangi sekelompok orang Yahudi. Lalu mereka berkata:


“Kebinasaan atasmu.”

 
“Juga atas kalian”, jawab Nabi saw.


Aisyah ra yang tidak senang mendengar ucapan Yahudi kepada Nabi saw itu, lantas berkata: 


“Semoga kebinasaan atas kalian, dan laknat Allah serta murka-Nya menimpa kalian!”


Mendengar balasan ‘Aisyah seperti itu, Nabi saw kurang berkenan dan segera menegurnya: 


“Pelan-pelan, Aisyah. Bertuturlah dengan lemah lembut, jangan berkata keji.”


“Apakah engkau tidak mendengar apa yang diucapkan mereka?” timpal ‘Aisyah.


“Apakah kamu tidak mendengar ucapanku? Sebenarnya, sudah aku jawab ucapan mereka. Kemudian, doaku atas mereka dikabulkan. Sementara doa mereka yang merugikanku tidak dikabulkan,” jawab Nabi saw.

 


Mencermati hadits di atas, kita dapat menangkap kesimpulan, Nabi saw tetap bersikap lemah lembut kepada orang Yahudi, kendati mereka telah berkata kasar kepadanya. Ini Kelembutan dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab. Dakwah yang mengedepankan kelembutan, akan membuahkan keberhasilan. 


Karena itu, dari hadits ini al-Hâfidh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 1449 M) dalam Fathul Bâri menggarisbawahi, jika seorang dai bersikap zalim atau kasar kepada orang yang didakwahinya, dakwahnya tidak akan diterima. (Ibnu Hajar, Fathul Bâri, juz XI, halaman 203).


Nabi Menjenguk Orang Yahudi yang Sedang Sakit

Nabi saw adalah sosok yang sangat adil. Tidak pernah membeda-bedakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Seperti kisah saat beliau menjenguk seorang Yahudi yang menjadi pembantunya. Dalam salah satu riwayat dijelaskan:


كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ


Artinya, “Ada seorang anak kecil Yahudi yang bekerja membantu Nabi mengalami sakit. Lalu Nabi saw pun menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepalanya, lalu bersabda: "Masuklah Islam!" Anak kecil itu memandang bapaknya yang berada di dekatnya, lalu bapaknya berkata,: "Ta'atilah Abul Qasim saw". Lalu anak kecil itu masuk Islam. Kemudian Nabi saw keluar sambil bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka." (HR al-Bukhari).

 


Melalui hadits di atas, al-Hafidh Ibnu Hajar menyimpulkan, boleh mengangkat orang musyrik untuk menjadi pembantu, dan boleh pula menjenguknya ketika sakit. (Ibnu Hajar, Fathul Bâri, [Beirut: Darul Ma’rifah], juz III, halaman 231).


Kelembutan Dakwah Nabi saat Diracun oleh Perempuan Yahudi

Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriyah Nabi saw berangkat menuju Khaibar untuk melawan secara militer orang-orang Yahudi di sana. Selama lebih dari 10 hari, Nabi saw mengepung mereka, hingga bulan Shafar, Yahudi Khaibar berhasil ditaklukan. Banyak dari Yahudi terbunuh dalam peperangan itu. Meski demikian, Nabi saw tetap memberi mereka tanah di Khaibar, untuk mencari penghidupan dengan bertani. (Musa Syahin, Fathul Mun’im, [Kairo, Dârus Syurûq: 2002], juz VIII, halaman 562).


Kekalahan ini membuat Yahudi Khaibar menyimpan dendam, hingga pada akhirnya menjelang Nabi saw bersama pasukan Muslim berpulang ke Madinah, seorang perempuan Yahudi diutus untuk menghidangkan daging kambing yang dicampuri racun.

 


Saat itu, posisi Nabi saw sedang bersama para sahabat. Salah satu sahabat bernama Bisyr bin al-Barra’ ra terlanjur mencicipi dan menelannya. Nabi saw memang sempat menggigit daging itu. Namun, sebelum menelannya, atas kekuasaan Allah daging itu berbicara, bahwa ia telah telah dicampuri racun.


Segera Nabi saw memuntahkannya dan mengingatkan para sahabat untuk tidak memakannya. Sementara Bisyr ra yang sudah terlanjur menelan, mendadak mukanya pucat pasi, racun mematikan bereaksi dalam tubuhnya sehingga akhirnya meninggal, innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Para sahabat yang kesal dengan Si Perempuan Yahudi, berniat menghukum mati perempuan Yahudi itu,tapi Rasulullah saw mencegahnya. 


Dalam satu riwayat dijelaskan, perempuan tersebut akhirnya masuk Islam karena menyaksikan mukjizat daging kambing yang berbicara tadi sebagai bukti kenabian. Lalu, karena kematian Bisyr ra akibat diracun olehnya, ia dijatuhi hukuman mati (qishash). (Musa Syahin, Fathul Mun’im, juz VIII, halaman 564).


Bayangkan, seandainya Nabi saw membolehkan para sahabat menghukum mati seketika itu juga, mungkin Si Perempuan Yahudi itu akan mati dalam keadaan tidak beriman. Tapi, berkat kelembutan dakwah Nabi terhadap Ahli Kitab, perempuan tadi tetap hidup dan berkesempatan masuk Islam. Wallâhu a’lam.
 

Ustadz Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek, Mahasantri Mahad Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta. 


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI