Sirah Nabawiyah

Kitab-Kitab Sejarah Sumber Sirah Nabawiyah

Sen, 3 Januari 2022 | 09:45 WIB

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah membahas tiga rujukan utama dalam kajian sirah nabawiyah, yaitu Al-Qur’an, hadits shahih, dan syair-syair Arab. Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan rujukan utama dari kitab-kitab sejarah yang secara spesifik membahas kisah hidup Nabi saw. Penulis merujuk pada penjelasan Syekh Musthafa as-Siba’i dalam As-Sirah An-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar.

  

Pada mulanya, para sahabat meriwayatkan data-data historis yang berkaitan dengan kehidupan Nabi kepada generasi setelahnya. Bersamaan dengan itu, beberapa dari mereka memiliki fokus untuk mendalaminya secara detail. Seiring berjalannya waktu, muncul dari kalangan tabi’in senior yang menukil riwayat tersebut dan menuliskannya dalam lembaran-lembaran. Sebagian dari mereka memiliki perhatian lebih, seperti Aban bin Utsman bin Affan ra (w. 105 H) dan Urwah bin Zubair bin Awwam (w. 93 H). 


Dari golongan tabi’in junior juga muncul Abdullah bin Abu Bakar Al-Anshari (w. 135 H), Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H) yang mendapat mandat dari Khalifah Umar bin Khattab untuk menghimpun hadits-hadits Nabi, dan ‘Ashim bin ‘Amr bin Qatadah Al-Anshari (w. 129 H).


Pada generasi selanjutnya, hadir beberapa ulama yang menulis kitab dengan pembahasan sirah nabawiyah secara khusus. Di antara yang cukup populer dalam generasi penulis pertama adalah Muhammad bin Ishaq bin Yassar (w. 152 H). Mayoritas ulama dan pakar hadits sepakat bahwa seluruh riwayat Muhammad bin Ishaq terpercaya, kecuali yang diperolehnya dari Malik dan Hisyam bin Urwah bin Zubair karena keduanya dinilai cedera (jarh) sebagai seorang rawi.


Mayoritas ulama muhaqqiqin berpendapat bahwa pencederaan (pandha’ifan) kedua tokoh ini (Malik dan Hisyam) terhadap Ibnu Ishaq karena permusuhan pribadi yang terjadi di antara Ibnu Ishaq dan keduanya.


Ibnu Ishaq menulis kitab Al-Maghazi dari hadits-hadits yang ia peroleh sendiri di Madinah dan Mesir. Namun sayang, kitab tersebut tidak lagi ditemukan hari ini. Beruntung, isi kitabnya masih terselamatkan dalam hafalan yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitabnya dari jalur gurunya, Syekh Ziyad al-Bakka’i yang termasuk murid termasyhur Ibnu Ishaq. 


As-Siba’i sendiri mencatat setidaknya ada tiga kitab yang menjadi rujukan utama dalam kajian sirah nabawiyah dan masih bisa diakses sampai sekarang, yaitu As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Thabaqat Ibni Sa’ad karya Ibnu Sa’ad, dan Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari. Berikut ulasan singkat ketiga kitab tersebut.


Sirah Ibnu Hisyam

Nama lengkap Ibnu Ishaq adalah Abu Muhammad Abdul Malik bin Ayub al-Himyari. Ia tumbuh hidup di Bashrah dan wafat pada tahun 213 H atau 218 H. Ibnu Ishaq menulis kitabnya, As-Sirah an-Nabawiyah dari riwayat gurunya, Syekh Ziyad al-Bakka’i yang meriwayatkan dari Ibnu Ishaq. Kendati kitab Ibnu Hisyam merupakan rujukan penting dalam kajian sirah nabawiyah, keberadaannya tidak luput dari pendahulunya, yakni Ibnu Ishaq. Karena memang kitab ini ringkasan kitab Ibnu Ishaq.


Pembahasan terkait kehidupan Nabi Muhammad dalam kitab ini dimulai sejak Nabi lahir sampai kewafatannya. Kitab tersebut juga menyajikan pembahasan dengan detail dan jelas. Selain itu juga menghindari syair-syair Arab dan beberapa riwayat dari kitab Ibnu Ishaq yang dinilai tidak memiliki sanad kuat. Artinya, meski kitab ini ringkasan dari Ibnu Ishaq, tetapi bukan sebatas meringkas, melainkan sudah melalui penelitian ilmiah yang cukup matang.


Thabaqat Ibnu Sa’ad

Nama lengkap Ibnu Sa’ad adalah Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ az-Zuhri. Ia lahir di Bashrah pada tahun 168 H dan wafat di Bahdad pada tahun 230 H. Ia merupakan sekretaris Muhammad bin Umar al-Waqidi (w. 207 H), sejarawan kondang yang cukup kompeten dalam kajian Al-Maghazi wa as-Siyar (sejarah Nabi yang berkonsentrasi pada kajian peperangan).


Ibnu Sa’ad menulis kitabnya, Ath-Thabaqat, dengan menjelaskan para sahabat dan tabi’in (setelah menjelaskan Rasulullah saw), berikut menyebutkan suku dan tempat tinggal mereka. Kitab ini termasuk sumber sejarah utama yang paling kredibel, terlebih dalam kaitannya tentang sahabat dan tabi’in. Total tokoh yang tercatat dalam kitab ini sebanyak 4725 nama. 


Kitab ini mendapat posisi penting dalam kajian sejarah Islam, terutama mengenai biografi, bahkan tergolong kitab sejarah dengan fokus biografi paling awal. Hanya satu kitab dengan tema yang sama dan levelnya di atas Thabaqat Ibnu Sa’ad, yaitu Kitab Ath-Thabaqat karya Al-Waqidi (guru Ibnu Sa’ad), itu pun sudah tidak ditemukan lagi keberadaannya. Ada yang mengatakan, Ibnu Sa’ad banyak merujuk pada kitab gurunya itu.


Tarikh Ath-Thabari

Nama lengkap Ath-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H). Ia merupakan seorang imam (pemimpin), pakar fiqih, ahli hadits, dan penggagas salah satu mazhab fiqih yang kurang tersebar. Ia menulis kitabnya, At-Tarikh, tidak hanya membahas sejarah hidup Nabi Muhammad saw, tetapi juga tentang sejarah umat-umat sebelumnya.


Ath-Thabari membuat pembahasan tentang Nabi Muhammad menjadi tema tersendiri, lalu diikuti dengan penjelasan tentang negeri-negeri Islam sampai menjelang akhir hayat sejarawan besar Muslim ini.


Berdasarkan pengakuan Syekh Musthafa as-Siba’i, kitab yang ditulis Ath-Thabari ini memiliki kualitas periwayatan yang cukup terpercaya. Hanya saja, terdapat beberapa riwayat yang dha’if atau bathil. Sanad riwayatnya banyak melalui jalur rawi (periwayat) yang dinilai kurang representatif, seperti terdapat rawi bernama Abu Mikhnaf, sejarawan pengikut Syiah fanatik. Sangat disayangkan, Ath-Thabari ternyata banyak mengambil riwayat darinya.


Setelah tiga kitab di atas, As-Siba’i menilai berikutnya muncul kitab-kitab yang membahas sejarah hidup Nabi saw dengan lebih detail. Hal ini terbukti dengan hadirnya kitab-kitab yang mengalami penyempitan fokus pembahasan. Seperti kategori dalail an-nubuwah yang fokus ke pembahasan mukjizat Nabi, syamail al-muhammadiyah yang fokus ke ciri-ciri fisik dan akhlak Nabi, al-maghazi yang fokus ke pembahasan peperangan zaman nabi, dan sebagainya.


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta