Sirah Nabawiyah

Sumber Sirah Nabawiyah: Al-Qur’an, Hadits, dan Syair Arab

Rab, 29 Desember 2021 | 22:30 WIB

Sumber Sirah Nabawiyah: Al-Qur’an, Hadits, dan Syair Arab

Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad saw) merupakan kajian sejarah Islam yang sangat penting. Sebab, dengan mempelajarinya, seorang Muslim dapat mengetahui sosok Nabi Muhammad sebagai teladan utama sekaligus ideal dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, sumber-sumber untuk mengaksesnya juga tidak boleh sembarangan, agar memperoleh data historis yang sahih.


Berikut penulis sebutkan sumber-sumber pokok dalam mempelajari sirah nabawiyah beserta penjabaran urgensi masing-masing sumber tersebut berdasarkan penjelasan Syekh Musthafa as-Siba’i dalam As-Sirah an-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar.


Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber paling primer dalam semua cabang keilmuan dalam Islam, termasuk di antaranya adalah sirah nabawiyah. Sebab, semua penjelasan yang terkandung di dalamnya bersumber dari wahyu yang jelas memiliki nilai orisinilitas sangat kredibel dan kualitas periwayatan yang cukup kuat (mutawatir), sehingga tidak mungkin diragukan kesahihannya.


Sebagai kitab yang juga memuat sejarah hidup Rasulullah saw, Al-Qur’an banyak menyinggung kehidupan Nabi, seperti masa kecil Nabi sebagaimana disebutkan berikut:


أَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيمٗا فَ‍َٔاوَىٰ وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ  


Artinya: ‘Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.’ (QS. Ad-Duha [93]: 6-7)


Kemuduian, Al-Qur’an juga menyinggung soal akhlak Nabi Muhammad:


وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ  


Artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.’ (QS. Al-Qalam [68]: 4)


Al-Qur’an juga menyinggung hal-hal yang Nabi alami dalam menjalankan misi dakwahnya, seperti mengalami berbagai penindasan dari orang-orang kafir Quraisy. Beberapa di antaranya seperti upaya orang kafir untuk menciptakan citra buruk kepada Nabi dengan menuduhnya sebagai tukang sihir dan pengidap gangguan jiwa. 


Dijelaskan pula tentang peristiwa hijrah umat Muslim dan beberapa peperangan penting yang terjadi setelahnya, seperti perang Badar, Uhud, Ahzab (Khandaq), Hunain, Peranjian Hudaibiyah, dan penaklukan kota Makkah. Beberapa mukjizat Nabi juga disinggung, seperti peristiwa isra dan mi’raj.


Syekh Muhammad Ridha dalam kitabnya, Muhammad Rasulullah, mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Nabi Muhammad. Seperti surat An-Nisa ayat 80 yang menjelaskan kewajiban taat kepada Nabi, surat Al-Qalam ayat 4 yang menjelaskan keluhuran moralnya, surat Saba’ ayat 56 yang menjelaskan diutusnya Nabi untuk semesta alam, surat Al-Hujurat ayat 2 yang menjelaskan kewajiban beretika saat berada di sisi Nabi, dan sejumlah ayat lainnya.


Hanya saja, kendati Al-Qur’an banyak menyinggung sejarah hidup Nabi Muhammad saw, penjelasan di dalamnya masih bersifat global, tidak dijelaskan detail-detail peristiwanya, tapi lebih pada nilai-nilai moral yang bisa dijadikan teladan (‘ibrah). Seperti ketika menyinggung soal peperangan, tidak dijelaskan faktor yang melatarbelakanginya, berapa jumlah pasukan tentara Muslim dan Kafir, berapa jumlah yang terbunuh, dan berapa yang menjadi tawanan perang. 


Dengan begitu, Al-Qur’an belum cukup digunakan sebagai sumber tertulis untuk menguraikan detail kehidupan Nabi Muhammad saw.


Hadits sahih

Sumber sejarah Nabi Muhammad berikutnya adalah hadits-hadits sahih yang terdapat dalam enam kitab hadits (kutubus sittah), yaitu kitab himpunan hadits karya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah. Menyusul setelahnya adalah kitab Muwattha karya Imam Malik dan Musnad karya Imam Ahmad. 


Kitab-kitab tersebut, terkhusus karya Imam Bukhari dan Imam Muslim, merupakan daftar rujukan paling otoritatif karena kesahihan, kekuatan riwayat, dan orinisilitasnya. Sementara kitab-kitab selainnya, tidak sepenuhnya bermuatan hadits-hadits sahih, melainkan ada juga hadits hasan, bahkan sebagian terdapat hadits dha’if.


Berbeda dengan Al-Qur’an yang secara teks memuat sekilas, kitab-kitab di atas dinilai memuat sebagian besar data sejarah hidup Rasulullah saw. Dengan merujuknya, kita bisa memperoleh data yang cukup komprehensif, meski dalam beberapa kasus juga masih ada yang belum lengkap.


Faktor penting yang menjadikan hadits sahih sebagai sumber otoritatif sejarah Nabi Muhammad adalah karena hadits tersebut diriwayatkan dengan sanad yang bersambung (muttashil) kepada para sahabat Nabi. Kita tahu, para sahabat Nabi merupakan Muslim generasi terbaik karena hidup sezaman dengan Nabi, mendapat didikan langsung darinya, dan turut memperjuangkan agama Allah saat itu.


Dalam diskursus ilmu hadits, setiap riwayat yang bersumber dari Rasulullah dengan sanad yang bersambung (muttashil), wajib kita terima sebagai data yang valid dan tidak boleh diragukan kebenarannya.


Syair-Syair Arab

Setelah Al-Qur’an dan hadits, rujukan penting berikutnya adalah syair-syair bangsa Arab yang semasa dengan hidup Nabi Muhammad saw. Sebagai bangsa yang memiliki tradisi sastra cukup kental, bangsa Arab juga terkenal dengan syair-syairnya.

 

Dengan syair-syair itu, orang kafir juga menggunakannya untuk menghalangi dakwah Nabi. Di sisi lain, pihak Muslim juga memiliki penyair-penyair andal untuk membela agama Islam, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah penyair lain.


Syair tersebut banyak ditemui dalam kitab-kitab sastra Arab (adab) dan beberapa kitab sirah nabawiyah yang memuatnya. Melalui syair tersebut, kita bisa mengetahui kondisi sosial masyarakat pada saat Nabi hidup dan bagaimana dinamika dakwah Islam saat itu. Berikut penulis contohkan syair yang pernah digubah oleh Hasan bin Tsabit yang ditunjukkan kepada orang kafir dalam rangka membela Nabi.


هَجَوْتَ مُحَمَّدًا فَأَجَبْتُ عَنْهُ...وَعِنْدَ اللَّهِ فِي ذَاكَ الْجَزَاءُ
هَجَوْتَ مُحَمَّدًا بَرًّا حَنِيفًا...رَسُولَ اللَّهِ شِيمَتُهُ الْوَفَاءُ
فَإِنَّ أَبِي وَوَالِدَهُ وَعِرْضِي...لِعِرْضِ مُحَمَّدٍ مِنْكُمْ وِقَاءُ
ثَكِلْتُ بُنَيَّتِي إِنْ لَمْ تَرَوْهَا...تُثِيرُ النَّقْعَ مِنْ كَنَفَيْ كَدَاءِ
يُبَارِينَ الْأَعِنَّةَ مُصْعِدَاتٍ...عَلَى أَكْتَافِهَا الْأَسَلُ الظِّمَاءُ
تَظَلُّ جِيَادُنَا مُتَمَطِّرَاتٍ...تُلَطِّمُهُنَّ بِالْخُمُرِ النِّسَاءُ
فَإِنْ أَعْرَضْتُمُو عَنَّا اعْتَمَرْنَا...وَكَانَ الْفَتْحُ وَانْكَشَفَ الْغِطَاءُ
وَإِلَّا فَاصْبِرُوا لِضِرَابِ يَوْمٍ...يُعِزُّ اللَّهُ فِيهِ مَنْ يَشَاءُ


Artinya:

Kau hina Muhammad, maka kubalas hinaanmu.

Di sisi Allah balasan pahala dalam pembelaanku.

Kau hina Muhammad yang benar lagi lurus.

Utusan Allah yang tidak pernah ingkar janji.

Sesungguhnya ayahku, nenekku, dan kehormatanku,

Kupersembahkan demi menjaga kehormatan Muhammad darimu.

Ku pacu anakku hingga tak dapat kau melihatnya (pasukan kuda).

Kuda-kuda perang kami melesat menerjang musuh.

Terus  melesat ke atas bukit.

Diatas punggungnya anak panah yang haus darah.

Pasukan kuda kami terus berlari.

Dengan panji-panji yang ditata oleh kaum wanita.

Tantanganmu pasti kami hadapi.

Sampai kemenangan berada di tangan kami.

Jika tidak, maka tunggulah saat pertempuran.

Pasti akan Allah bela siapa yang Dia kehendaki. 

(HR Muslim)


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta