Sirah Nabawiyah

Nabi Muhammad Tak Pernah Mendoakan Buruk Orang yang Memusuhinya

Sen, 27 September 2021 | 13:15 WIB

Nabi Muhammad Tak Pernah Mendoakan Buruk Orang yang Memusuhinya

Nabi Muhammad Tak Pernah Mendoakan Keburukan Orang yang Memusuhinya

Rasulullah merupakan panutan ideal dalam segala bidang. Semua yang ada pada diri beliau adalah teladan bagi umat Islam. Akhlaknya yang terpuji, ucapannya yang santun dan penuh hikmah, perangainya yang sangat jujur, dan keputusannya yang sangat hati-hati, menjadi pelajaran penting yang patut diikuti.
 

Sayyid Wajihuddin Abdurrahman ad-Diba’ (wafat 944 H), dalam kitab maulidnya menggambarkan akhlak terpuji Rasulullah dengan ungkapan syair yang sangat indah. Ia mengatakan,
 

قَلْبُهُ لَا يَغْفَلُ وَلَا يَنَامُ،  وَلَكِنْ لِلْخِذْمَةِ عَلَى الدَّوَامِ مُرَاقِبُ، إِنْ أُوْذِيَ يَعْفُ وَلَا يُعَاقِبُ، وَإِنْ خُوْصِمَ يَصْمُتُ وَلَا يُجَاوِبُ
 

Artinya, “Hatinya tidak pernah lengah dan tidak (pula) tidur, bahkan selalu berkhidmah dan mengingat Allah. Jika disakiti, beliau selalu memaafkan dan tidak membalas menyakiti. Jika diajak bertengkar, beliau selalu diam dan tidak menjawab.”
 

Demikian kepribadian Rasulullah. Semua itu tidak lepas dari prinsipnya sebagai rasul yang oleh Allah diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Umat manusia, hewan, tumbuhan, dan semua yang ada di jagat raya turut merasakan rahmat atas diutusnya Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an ditegaskan,
 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya’: 107).
 

Jika Rasulullah diutus sebagai rahmat untuk alam semesta maka seluruh yang dibawa olehnya adalah “kasih-sayang”, tanpa kekerasan dan rasa dendam. Bahkan, ia selalu mengajak pada kebenaran meski terkadang serangan, hinaan, cacian dan lain sebagainnya merintangi jalan dakwahnya.
 

Rasulullah Tidak Pernah Mendoakan Keburukan

Nabi Muhammad saw diutus sebagai nabi dan rasul sekaligus menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya. Salah satu sikapnya yang patut diteladani adalah tetap mendoakan kebaikan meskipun dizalimi. Tidak pernah dijumpai, Rasulullah berdoa agar suatu kaum hancur dengan siksa Allah swt. Berikut beberapa kejadian ketika Rasulullah dihina dan dizalimi oleh orang-orang kafir tapi beliau balas dengan doa kebaikan.
 

1. Perang Hunain

Pada perang Hunain, umat Islam meraih kemenangan telak atas koalisi kafir Quraisy. Meski sebelumnya pasukan musuh sempat menyerang habis-habisan pasukan Islam, bahkan menyebabkan seluruh pasukan umat Islam terpaksa mundur, lari tunggang-langgang, dan terpecah, tanpa memedulikan satu sama lain. Umat Islam berhasil mengambil alih kemenangan setelah beberapa hari melakukan pengepungan di kota Thaif.
 

Setelah peperangan selesai, Rasulullah mengelilingi lembah Hunain dengan kemenangan yang berhasil diraih oleh pasukan Muslimin, untuk menyaksikan para sahabat yang syahid dan beberapa harta hasil rampasan perang. Setelah semuanya selesai, ia meninggalkan lokasi perang dan kota Thaif bersama para sahabat saat itu.
 

Dalam perjalanan, para sahabat memohon kepada Rasulullah untuk mendoakan keburukan bangsa Thaif, agar mereka dihancurkan oleh azab Allah swt. Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, dalam kitabnya disebutkan,
 

وَقَالَ لَهُ بَعْضُ الصَّحَابَةِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُدْعُ اللهَ عَلىَ ثَقِيْفٍ. فَقَالَ: اللهم اهْدِ ثَقِيْفًا


Artinya, “Berkata sebagian sahabat kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah untuk (kehancuran) kabilah Tsaqif!’ Namun, Rasulullah saw justru berdoa, “Ya Allah berilah kabilah Tsaqif petunjuk.” (Syekh Said Ramadhan al-Bhuti, Sirah Nabawiyah, [Bairut: Dar al-Fikr, 2006], h. 286).
 

Doa Rasulullah ternyata menjadi salah satu penyebab berkembangnya ajaran Islam karena tidak lama kemudian Allah benar-benar memberi hidayah kepada kabilah Tsaqif. Utusan kabilah Tsaqif datang ke Madinah menemui Rasulullah saw untuk menyatakan keislaman dan keimanan kabilah tersebut.
 

2. Dakwah di Thaif

Nabi Muhammad sebagai rasul yang oleh Allah swt diperintah untuk menyampaikan semua risalah yang diterimanya, memiliki kesabaran yang sangat tinggi, dan kelembutan yang sangat mulia. Sikap rahmat yang ditampakkannya begitu mempesona. Sebagai pengemban risalah, tak sesekali ia menerima hinaan, cacian, bahkan serangan fisik. Namun, semua ujian itu tidak lantas menjadikannya menyerah untuk menyebarkan ajaran Islam.
 

Salah satu sejarah yang menunjukkan tingginya kesabaran Rasulullah adalah ketika menyampaikan dakwah Islam kepada penduduk Thaif. Rasulullah menyeru mereka untuk memeluk ajaran Islam dengan sangat ramah, tanpa memaksa, dan sama sekali tidak memberikan beban apa pun kepada mereka ketika masuk Islam. Rasulullah mengajak mereka semua untuk sama-sama mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat pertama untuk masuk Islam.
 

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili mengatakan, setelah beberapa lama Nabi menyeru mereka untuk masuk Islam, tidak ada satu orang pun dari mereka yang menerima ajakan itu. Justru, semua penduduk Thaif, mulai dari yang laki-laki dan wanita, kecil hingga yang dewasa melemparkan tanah dan batu-batu kerikil kepada Rasulullah. Di sela-sela pendustaan mereka kepada ajaran Islam itu, mereka juga berkata, “Muhammad pendusta”. (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, [Damaskus, Bairut, Darul Fikr, 1997], juz VI, h. 259).
 

Di saat yang bersamaan, malaikat Jibril memohon kepada Nabi Muhammad agar berdoa dan meminta kepada Allah guna memberi izin kepada malaikat Jibril untuk menghancurkan penduduk Thaif dengan gunung-gunung yang siap untuk diangkatnya. Malaikat Jibril tidak terima, dakwah Rasulullah yang santun harus dibalas dengan lemparan batu kerikil dan tanah yang menjadi penyebab tubuh mulianya terluka dan berdarah.
 

Rasulullah justru menolak tawaran Jibril dan memilih untuk mendoakan penduduk Thaif dengan kebaikan, agar mereka bisa mendapatkan hidayah sehingga bisa menerima ajaran Islam. Saat darah masih mengalir di wajahnya, Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya yang mulia, kemudian berkata dan berdoa:
 

إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِي طَعَّانًا وَلَا لَعَّانًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ دَاعِيًا وَرَحْمَةً، اللهم اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ


Artinya, “Sungguh Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang merusak dan bukan (pula) orang yang melaknat. Akan tetapi Allah mengutusku untuk menjadi penyeru dan pembawa rahmat. Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!” (HR Al-Baihaqi).
 

Doa Nabi Muhammad tersebut merupakan representasi dari adanya ayat yang menjelaskan bahwa diutusnya Rasulullah merupakan rahmat bagi seluruh alam. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal:
 

اَلْمُرَادُ بِالرَّحْمَةِ الرَحِيْمُ. وَهُوَ كَانَ رَحِيْمًا بِالْكَافِرِيْنَ. أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَمَّا شَجُّوْهُ وَكَسَرُوْا رَبَاعِيَتَهُ حَتَّى خَرَّ مُغْشِيًّا عَلَيْهِ. قَالَ بَعْدَ اِفَاقَتِهِ اللهم اهْدِ قَوْمِى فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

 

Artinya, “Yang dimaksud dengan rahmat adalah ar-rahim (bersifat penyayang). Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang, tak terkecuali kepada orang kafir. Tidakkah Anda lihat, bahwa ketika orang kafir melukai nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!’” (Sulaiman al-Jamal, al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, [Lebanon, Bairut, Darul Kutub Ilmiah] juz V, h. 176).
 

Demikian potret dakwah Rasulullah, ketika orang-orang yang diajak untuk memeluk agama Islam justru menolak bahkan menyerangnya. Ia tidak lantas marah dan membenci mereka, akan tetapi mendoakan kebaikan dan hidayah agar mereka bisa memeluk agama Islam. Jika bukan orang tuanya, bisa jadi anak keturunannya.
 

Cara dakwah Rasulullah di atas seharusnya dijadikan contoh dan teladan oleh umatnya, bahwa cara paling baik dan efektif untuk mengajak orang lain agar memeluk ajaran Islam adalah dengan cara mengajak mereka disertai dengan permohonan kepada Allah agar memberikan hidayah, meskipun mereka membenci atau bahkan memusuhi.


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.



Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI