Sirah Nabawiyah

Masjid Nabawi Berdiri di Atas Bekas Tanah Milik Anak Yatim

Sab, 28 Agustus 2021 | 07:00 WIB

Masjid Nabawi Berdiri di Atas Bekas Tanah Milik Anak Yatim

Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. (Foto: Saudi Press Agency)

Bangunan Masjid Nabawi yang kini amat megah merupakan bekas tanah milik anak yatim ketika Nabi Muhammad dan para sahabatnya hijrah ke Yastrib (Madinah). Tanah lapang tempat menjemur kurma itu adalah milik dua orang anak yatim, kakak beradik bernama Sahal dan Suhail. Tanah lapang itu kemudian dibeli oleh Nabi untuk membangun masjid raya.


Sahal dan Suhail pada mulanya menolak pembelian itu, keduanya ingin mewakafkan saja tanah itu kepada Nabi, tetapi Nabi tidak akan menyia-nyiakan hak seseorang, apalagi anak yatim, maka Nabi pun membayar dengan harga yang sewajarnya. Di tempat itulah dibangun masjid raya yang kini kita kenal dengan Masjid Nabawi yang berkubah hijau di kota Madinah.


M. Muhyiddin dalam Sayyiduna Muhammad Nabi Al-Rahmah (hal. 62-63) yang dinukil KH Zakky Mubarak menjelaskan, waktu Rasulullah saw dan para sahabatnya memasuki kota Madinah, beliau mendapat sambutan yang luar biasa, sehingga setiap orang dari mereka menawarkan agar beliau tinggal di rumahnya. Nabi saw tidak mau mengecewakan ajakan mereka dan beliau pun tidak melebihkan salah seorang dari mereka, baik kaya atau miskin.


Agar tidak mengecewakan penduduk Madinah, Nabi tidak singgah di rumah salah seorang dari mereka. Nabi mengatakan: “Biarkan unta itu berjalan, di mana ia berhenti, di situlah kami tinggal, karena unta itu telah ada yang memerintah”.


Perhatian ribuan orang kini tertumpu pada unta Nabi yang bernama Qushwa, yang berjalan sendiri. Diikuti oleh semua orang. Orang-orang Madinah dalam hati kecilnya berharap, semoga unta itu berhenti di rumahnya. Ternyata unta itu terus berjalan berbelok ke kanan ke kiri, lurus, belok lagi dan ketika sampai di tanah lapang yang luas tempat menjemur buah kurma, unta itu tiba-tiba berhenti kemudian berlutut beristirahat di lapangan itu. Semua orang berteriak histeris. Dengan rasa haru dan bahagia mereka mengatakan: “Di sini kami akan bangun masjid Rasulullah saw.


Nabi ikut serta secara langsung dalam pembangunan masjid, membuat dinding lumpur di atas fondasi batu. Pelepah kurma digunakan untuk menutup sebagian atap. Awalnya masjid itu memiliki tiga pintu dan menghadap Masjid Al-Aqsa -- kiblat pertama -- sebelum diubah menghadap Kabah di Mekkah.


Di bagian belakang masjid ada tempat yang teduh untuk menampung orang miskin dan orang asing, namanya "Al-Saffa". Ketika para sahabat meminta Nabi untuk memperkuat atap dengan lumpur, beliau menolak. Lantai masjid tidak ditutupi dengan apa pun hingga tiga tahun kemudian.


Luas awal masjid adalah 1.050 meter persegi sebelum diperluas menjadi 1.452 meter persegi atas perintah Nabi ketika beliau baru kembali dari Khaybar, tujuh tahun sesudah Hijrah. Lokasi rumah Nabi awalnya berada di samping masjid dan di sanalah Nabi wafat dan dimakamkan - di ruang Aisyah.


Ketika Nabi Muhammad wafat para sahabat berunding di mana Nabi akan dimakamkan. Abu Bakar memberi tahu, Nabi pernah bersabda bahwa para nabi dimakamkan di tempat di mana Allah mencabut nyawa mereka. Maka, Nabi pun dimakamkan di kamar yang menjadi ruang bagi istrinya, Aisyah.


Ketika Abu Bakar sakit, ia meminta izin Aisyah agar bisa dimakamkan di dekat makam Nabi Muhammad, dan Aisyah setuju. Umar bin Khattab -- khalifah kedua -- juga mengajukan permintaan yang sama dan Aisyah, yang merupakan anak Abu Bakar, juga mengizinkan.


Perluasan masjid selama berabad-abad membuat kamar, makam, dan bangunan di samping masjid kini menjadi bagian dari masjid. Kubah Hijau yang terkenal kini terletak di dalam kamar ini.


Perluasan pertama dilakukan di era khalifah Umar, dengan membeli lahan di kawasan barat, selatan dan utara masjid. Penerus Umar, Usman, juga melakukan perluasan masjid setelah melakukan konsultasi dengan para sahabat pada 29 H atau pada tahun 650.


Perluasan terus dilakukan di era kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang membuat luas masjid bertambah menjadi 8.890 meter persegi dengan 60 jendela dan 24 pintu. Di era Usmani, juga dilakukan renovasi dan perluasan.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan