Sirah Nabawiyah

Puasa 10 Muharram atau Hari Asyura Awalnya Puasa Wajib

Jum, 28 Agustus 2020 | 09:01 WIB

Puasa 10 Muharram atau Hari Asyura Awalnya Puasa Wajib

Puasa Asyura atau 10 Muharram. (Ilustrasi: NU Online)

Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriah dengan cara dan model yang dilakukan umat Islam hingga kini. Sejarah kewajiban puasa, terutama puasa di bulan Ramadhan tidak terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya ke negeri Yatsrib (Madinah). Sebab peristiwa tersebut merupakan titik awal penyempurnaan syariat Islam di kemudian hari dari syariat-syariat puasa sebelumnya.


Affandi Mochtar dan Ibi Syatibi dalam buku Risalah Ramadhan (2008) mengungkapkan, sebelum ayat yang mewajibkan puasa turun, awalnya umat Islam biasa berpuasa wajib pada 10 Muharram atau Hari Asyura. Ketika Nabi Muhammad hijrah dan tiba di Yatsrib, beliau juga mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada 10 Muharram tersebut.


Orang-orang Yahudi menyatakan, tepat pada 10 Muharram itu, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari serangan Raja Fira’un. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada 10 Muharram sebagai tanda syukur kepada Allah yang kemudian diikuti oleh kaumnya. Kemudian, Nabi Muhammad memerintahkan umat Islam agar berpuasa pada tanggal 10 Muharram.


Dalam puasa 10 Muharram tersebut, awalnya umat Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu maghrib. Setelah berbuka mereka masih diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan seks suami-istri hingga kemudian melakukan shalat Isya dan tidur. Setelah melakukan shalat Isya dan tidur, mereka tidak diperbolehkan lagi untuk makan, minum, atau berhubungan seks hingga tiba saatnya waktu berbuka.


Namun, praktik itu benar-benar menyulitkan umat Islam sehingga tidak sedikit yang melanggar larangan tersebut. Lalu, Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan, umat Islam diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan intim dengan para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar. Tentu saja ayat tersebut disambut gembira oleh umat Islam kala itu sembari memanjatkan syukur atas kasih sayang Allah SWT.


Diriwayatkan Imam Baihaqi, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dan 10 Muharram atau puasa Tasu'a dan puasa Asyura dengan niat tidak menyamakan dengan ibadah sunnah puasanya umat Yahudi.


Riwayat lain mengatakan bahwa Nabi Adam berpuasa tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan syukur lantaran Allah mengizinkannya bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah.


Setelah turun ayat perintah puasa yang termaktub dalam QS Al-Baqarah ayat 183, puasa 10 Muharram atau Hari Asyura bersifat sunnah, tidak lagi wajib. Sehari sebelum Hari Asyura juga disunnahkan berpuasa, yaitu puasa Tasu’a (9 Muharram).

 

Di Antara Keutamaan Puasa Asyura

 

Diriwayatkan dari Imam Muslim dari Abi Qatadah bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh sahabat tentang puasa Asyura. Nabi Muhammad menjawabnya: "Puasa Asyura dapat melebur dosa satu tahun sebelumnya".


Semestinya puasa sunnah di bulan Muharram tidak hanya semata-mata hanya ada di tanggal 9 dan 10 Muharram saja. Karena bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT dan di dalamnya terdapat banyak amalan-amalan sunnah, termasuk puasa.


Di antara sunnah berpuasa di bulan Muharram dapat dikategorikan menjadi lima: puasa awal Muharram, puasa 1 hari Muharram, puasa 3 hari Muharram (Kamis, Jumat dan Sabtu), puasa 9 Muharram dan puasa 10 Muharram.


Imam Ibnu Hajar menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hafshah, Nabi Muhammad bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa di akhir bulan Dzulhijjah dan awal bulan Muharram, maka Allah akan menjadikannya penebus dosanya selama 50 tahun. Dan puasa satu hari di bulan Muharram sama dengan puasa tiga puluh hari".


Sedangkan Imam Ghazali menjelaskan dalam Kitab Ihya' Ulumiddin: "Barangsiapa berpuasa tiga hari di bulan mulia (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram) di hari Kamis, Jumat dan Sabtu, maka Allah akan mencatat baginya ibadah 700 tahun".


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon