Sirah Nabawiyah

Renovasi Ka’bah pada Masa Nabi Muhammad

Sel, 17 Maret 2020 | 03:03 WIB

Renovasi Ka’bah pada Masa Nabi Muhammad

Ilustrasi Ka'bah di Makkah. (Foto: via nytimes.com)

“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal kami). Sungguh Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, Ka’bah diterjang banjir bandang hingga menyebabkan dindingnya retak—riwayat lain roboh. Air bah itu berasal dari gunung-gunung yang ada di sekitar Ka’bah.
 
Maklum, pada saat itu Ka’bah—yang tingginya semnilan hasta atau tujuh meter- tidak beratap dan pintunya sejajar dengan tanah. Kondisi Ka’bah yang seperti itu juga memudahkan para pencuri untuk mengambil harta-harta persembahan yang ditaruh di dasar Ka’bah. 

Riwayat lain—dari Ibnu Hisyam-menyebutkan bahwa ada faktor lain yang membuat Kaum Quraisy akhirnya memugar Ka’bah, yaitu hilangnya ular di bawah Ka’bah. Jadi ketika itu, ada seeokor ular yang ‘tinggal’ di bawah Ka’bah. Ular tersebut terus membuka mulutnya ketika ada orang yang hendak mendekat untuk meletakkan persembahan di dekat Ka’bah.

Hingga suatu hari, ular tersebut diterkam dan dibawa pergi seekor burung. Kaum Quraisy yakin bahwa burung tersebut adalah utusan Allah. Mereka berharap, Allah akan meridhai apa yang dikerjakannya, yaitu merenovasi Ka’bah.  

Peristiwa-peristiwa itu membuat Kaum Quraisy bersepakat untuk memugar Ka’bah. Sebelumnya, mereka tidak berani melakukan itu karena kesakralan Ka’bah. Namun karena kondisi Ka’bah yang semakin buruk, mereka akhirnya berani merenovasinya.
 
Terlebih, pada saat itu ada kapal milik saudara Romawi yang membawa bahan bangunan tengah terdampar di Jeddah. Juga ada seorang Nasrani yang mahir dalam bidang pertukangan. 

Kaum Quraisy mulai memugar Ka’bah setelah semua persiapannya selesai. Adalah Aiz bin Marwan bin Makhzum, orang pertama yang memugar Ka’bah. Aiz mengalami kejadian aneh ketika memulai mencungkil batu Ka’bah. Yaitu, batu-batu yang sudah diambil jatuh dari tangannya dan kemudian kembali ke tempat awalnya.

Sesaat setelah kejadian itu, Aiz berkata: “Kita lanjutkan pemugaran, tetapi jangan menerima sesuatu apapun yang tidak baik dalam rangka pemugaran ini. Jangan ada sesuatu yang sumbernya dari perzinaan, atau riba, atau hasil penganiayaan terhadap seseorang.” 

Riwayat lain menyebutkan bahwa yang mengatakan hal demikian adalah Abu Wahab. Kaum Quraisy kemudian mengikuti Aiz, mengambil dan mencungkil batu-batu di dinding Ka’bah. Pekerjaan renovasi Ka’bah dikerjakan empat Suku Quraisy. Masing-masing suku bertanggung jawab terhadap satu sisi Ka’bah, mulai dari memugarnya hingga membangunnya kembali. 

Di tengah jalan, mereka tidak berani meruntuhkan bagian-bagian yang perlu dihancurkan karena takut akan mendapatkan bencana. Mereka berhenti. Namun kemudian, dalam Sejarah Ka’bah (Ali Husni al-Kharbuthli, 2014), al-Walid bin Mughirah berusaha meyakinkan mereka. Ia mengambil kapaknya dan mulai meruntuhkan Ka’bah dari arah dua tiang Ka’bah. 

“Ya Allah, kami tidak menginginkan apapun kecuali kebaikan,” kata al-Walid bin Mughirah.

Orang-orang Quraisy tidak langsung mengikuti al-Walid bin Mughirah. Mereka menunggu hingga keesokan harinya. Jika terjadi sesuatu pada al-Walid, maka mereka tidak akan meruntuhkan bangunan Ka’bah dan mengembalikan seperti semula. Namun jika al-Walid baik-baik saja, mereka yakin Allah telah meridhai langkahnya.

Keesokan harinya al-Walid bin Mughirah masih sehat seperti biasanya. Ia meneruskan pekerjaannya menghancurkan dinding-dinding Ka’bah. Setelah itu, orang-orang Quraisy mulai mengikuti al-Walid, meruntuhkan bangunan Ka’bah.
 
Mereka menggali hingga mencapai pondasi batu hijau yang dulu diletakkan Nabi Ibrahim AS. Semula mereka hendak menghancurkan fondasi itu, namun karena selalu gagal, mereka akhirnya membiarkannya dan menjadikannya sebagai fondasi bangunan Ka’bah yang akan dibangun. 

Ketika proses renovasi itu, orang-orang Quraisy menemukan suatu tulisan berbahasa Suryani di dua tiang Ka’bah. Mereka tidak mengerti apa isi dari tulisan itu. Hingga kemudian datang seorang Yahudi dan mengartikannya.
 
Berikut arti dari tulisan itu: “Aku Allah pemilik Bakkah (Makkah) ini. Aku menciptakan Bakkah pada saat Aku ciptakan langit dan bumi, dan pada saat Aku bentuk matahari dan bulan. Aku melindunginya dengan tujuh raja. Penduduknya diberkahi dengan air dan susu.”

Orang-orang Quraisy itu mengambil batu-batu granit berwarna biru dari pegunungan di sekitar Makkah, sebagai bahan ‘bangunan Ka’bah yang baru.’ Nabi Muhammad yang saat itu berusia 35 tahun—riwayat lain 25 tahun- ikut serta dalam proses pemugaran Ka’bah.

Beliau juga ikut mengangkut batu-batu itu dengan cara memikulnya. Beliau sempat terjatuh ketika membawa batu-batu itu hingga pakaiannya tertarik. Saat itu juga, beliau langsung membetulkan pakaiannya seperti semula.
 
Pada saat pembangunan sampai pada posisi Hajar Aswad, ketinggian 1,10 meter, timbul pertengkaran—hingga hampir terjadi pertumpahan darah- di antara Suku Quraisy terkait siapa yang berhak meletakkan batu hitam tersebut.
 
Masing-masing dari mereka merasa paling berhak. Diriwayatkan, perselisihan itu berlangsung selama empat atau lima hari sebelum akhirnya mereka berdamai. 

Salah satu sesepuh Quraisy, Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi, memberi saran agar menetapkan orang ketika sebagai pemutus persoalan tersebut. Jadi keputusan tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad akan diputus oleh orang yang pertama kali lewat pintu masjid besok paginya.

Suku-suku Quraisy sepakat dengan usulan itu. Dan Nabi Muhammad lah orang yang pertama kali melewati pintu masjid. Orang-orang Quraisy menerima Muhammad sebagai penentu karena sikapnya yang jujur dan bisa dipercaya. Jadilah Nabi Muhammad pemutus perselisihan itu. 

Nabi Muhammad lantas meminta selembar kain selendang. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain tersebut. Beliau kemudian meminta keempat pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung kain tersebut. Mereka mengangkat Hajar Aswad secara bersamaan.

Kata Nabi, oyang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya adalah orang yang ‘didekati’ batu tersebut. Ternyata, batu tersebut meluncur ke arah Nabi. Beliau kemudian meletakkan batu tersebut ke tempat asalnya.

M. Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018), menyebut bahwa pemugaran Ka’bah sebetulnya tidak selesai karena biaya untuk renovasi tidak cukup. Terlebih, Aiz atau Abu Wahab sebelumnya sudah mewanti-wanti agar dana yang dipakai untuk merenovasi Ka’bah harus bersih, tidak berasal dari hasil zina, riba, atau penganiayaan. 

Karena dananya tidak cukup, akhirnya mereka mengurangi panjang tembok sisi barat dan sisi timur di bagian utara. Kurang lebih tiga meter yang dikurangi. Mereka kemudian memberikan tanda pada bagian yang harus diselesaikan.
 
Tanda itulah yang kini dikenal dengan tembok yang relatif rendah atau dikenal dengan Hijr Ismail. Dengan demikian, tawaf menjadi tidak sah jika memasuki ruang itu karena Hijr Ismail masih bagian dari arah luar Ka’bah.

Setelah dipugar, mereka membangun kembali bangunan Ka’bah dengan ukuran dan ‘bentuk’ yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Pintu Ka’bah ditinggikan, sekitar dua meter dari lantai. Ketinggiannya ditambah menjadi 18 hasta, dari sebelumnya sembilan hasta atau tujuh meter.
 
Pintunya dibuat hanya satu, sebelumnya dua pintu: satu di bagian timur dan satu di bagian barat. Di dalam Ka’bah dibuat enam tiang dalam dua deretan. Di dalamnya juga dipasang tangga untuk naik ke atap. 

Berbagai macam gambar, barang-barang berharga, dan berhala—Hubal- kemudian ditaruh kembali di dalam Ka’bah, setelah renovasi selesai. Diriwayatkan al-Mas’udi, ada sekitar 60 gambar di dalam Ka’bah, di antaranya gambar Nabi Ibrahim AS sedang memegang panah untuk mengundi (azlam), gambar Nabi Ismail AS tengah menunggang kuda dan membagikan hadiah pada manusia, dan juga gambar-gambar anak-anak mereka hingga Qushay bin Kilab.
 
Di setiap gambar, ada tuhan milik pemilik patung, termasuk tata cara menyembahnya dan perbuatan yang terkenal dari tuhan tersebut.

Ketika Islam datang, Nabi Muhammad hendak menyelesaikan pembangunan Ka’bah. Sebetulnya Nabi Muhammad ‘tidak sepakat’ dengan pembangunan Ka’bah yang dilakukan Kaum Quraisy tersebut, karena mengubah posisi Ka’bah sebagaimana ketika dibangun Nabi Ibrahim AS.
 
Namun Nabi memilih untuk menahan ‘egonya’ atas kebenaran sejarah, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga niat tersebut diurungkan.

“Wahai Aisyah, jika bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliyah, tentu mereka sudah kuperintahkan untuk menghancurkan Ka’bah agar kumasukkan ke dalamnya apa yang dikeluarkan darinya, kutempelkan (pintunya) ke tanah, kubuatkan baginya satu pintu di timur dan satu pintu di barat, dan aku akan menghubungkannya dengan dasar-dasar yang dibangun Ibrahim,” kata Nabi Muhammad.

Sementara gambar-gambar dan berhala yang ada di dalam dan luar Ka’bah dihapus dan dihancurkan Nabi Muhammad ketika peristiwa Pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah).
 
Merujuk buku Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husain Haekal, 2015), Nabi Muhammad memandang dan mengamati gambar Nabi Ibrahim AS. di dalam dinding Ka’bah itu cukup lama. Beliau tidak terima kalau salah satu kekasih Allah itu dilukiskan sedemikian rupa, dengan memegang azlam.  

“Mudah-mudahan Allah membinasakan mereka (yang membuat lukisan Nabi Ibrahim as.)!” kata Nabi Muhammad.

Setelah mengamati semua gambar yang menempel di dinding dalam Ka’bah itu, Nabi Muhammad memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghapus semuanya. Semuanya, sehingga tidak ada satu pun lukisan dan berhala yang tersisa di Ka’bah.
  
Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Fathoni Ahmad