Sirah Nabawiyah

Sikap Nabi Muhammad pada Orang Jahil

Kam, 30 Januari 2020 | 13:00 WIB

Sikap Nabi Muhammad pada Orang Jahil

Ilustrasi Nabi Muhammad. (NU Online)

Nabi Muhammad adalah orang yang penuh kasih sayang. Beliau tidak pernah marah bahkan kepada seorang jahil (bodoh) sekali pun. Malah, Nabi Muhammad ‘meluruskan’ orang jahil tersebut manakala mereka berbuat sesuatu yang tidak benar atau tidak sesuai dengan ajaran agama—bahkan bertentangan dengannya. Beliau mengingatkan, mengajari, dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang. Tanpa amarah dan caci maki.

Diriwayatkan Muawiyah bin Hakam as-Sulami, suatu ketika ada seorang laki-laki dari satu kaum bersin saat melaksanakan shalat berjamaah dengan Nabi Muhammad. Muawiyah bin Hakam yang berada dalam jamaah kemudian melafalkan doa ketika mendengar orang bersin ‘Yarhamukallah.’
 
Kejadian itu menarik perhatian para jamaah lainnya. Mereka melototi Muawiyah dan menepuk paha mereka. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa seharusnya Muawiyah diam saja dan tidak perlu mengucapkan doa seperti itu. 

Dalam Nabi Sang Penyayang (Raghib as-Sirjani, 2014), Nabi Muhammad kemudian menghampiri Muawiyah setelah selesai shalat. Beliau memberikan ‘pengajaran’ kepadanya, tanpa memaki dan menghardiknya—apalagi memukul. Kata Nabi, ‘tidak ada percakapan manusia di dalam shalat, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.’
 
Atas hal itu, Muawiyah menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pendidik dan pengajar terbaik yang pernah dia temui. Di saat yang lain ‘geram’ dengan tingkah Muawiyah yang berdoa bersin etika shalat, Nabi Muhammad justru memberikan pengajaran kepadanya dengan penuh kasih sayang, tanpa ada cacian dan makian.

Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad menjumpai ada dahak di masjid. Beliau kemudian bertanya kepada sahabat yang ada di situ tentang siapa yang meludah di dalam masjid. Mereka menjawab tidak tahu. Nabi kemudian membersihkan sisa-sisa dahak tersebut dengan dahan pohon kurma yang diolesi minyak wangi. 

Atas kejadian itu, Nabi Muhammad kemudian bersabda bahwa ‘jika seseorang melakukan shalat maka Allah berada di hadapannya. Oleh karenanya, mereka jangan meludah ke arah depan atau ke kanan. Tetapi meludahkan ke arah kiri, di bawah kaki kiri. Bila seseorang tersebut tidak bisa menguasai diri hingga didahului oleh ludah dan ingus, hendaklah melakukan dengan bajunya seperti ini.’ 

Di samping dua kejadian di atas, ada ‘satu kejadian sangat parah’ yang dilakukan oleh seorang jahil. Dikisahkan, ada seorang badui yang tiba-tiba datang ke masjid dan kencing di dalam. Para sahabat ‘naik pitam’ melihat tingkah badui tersebut.
 
Ketika mereka hendak menghentikan badui tersebut dan tidak segan menghunuskan pedang kepadanya, namun Nabi Muhammad mencegahnya. Nabi membiarkan badui tersebut menyelesaikan kencingnya. Setelah itu, Nabi mengambil bejana berisikan air dan menyiramkannya ke tempat kencing badui tersebut. 

Pada saat itu juga Nabi memberikan pengajaran kepada badui yang tidak tahu tersebut dengan penuh kasih sayang. Tanpa disertai dengan caci maki dan hardikan, apalagi pukulan dan hunusan pedang seperti yang ingin dilakukan para sahabat ketika itu.
 
Kepada badui tersebut, Nabi Muhammad  berkata bahwa tidak pantas seseorang kencing dan buang air besar di masjid. Karena masjid merupakan tempat untuk dzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an.

Begitu lah cara Nabi Muhammad bersikap kepada mereka yang tidak tahu. Beliau tidak marah dan menyebut badui tersebut melakukan penistaan agama—misalnya- karena telah kencing di dalam masjid. Malah, beliau menuntun, mengajari, dan mendidiknya sehingga dia menjadi tahu; mana-mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. 

Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Fathoni Ahmad