Sirah Nabawiyah

Saat Rasulullah Maafkan Sahabat yang Berkhianat dalam Fathu Makkah

Jum, 17 Juli 2020 | 09:00 WIB

Saat Rasulullah Maafkan Sahabat yang Berkhianat dalam Fathu Makkah

Salah satu pengkhianatan yang dimaafkan Nabi Muhammad adalah apa yang dilakukan oleh seorang sahabat bernama Hathib bin Abi Balta’ah, sesaat sebelum peristiwa pembebasan Makkah. (Foto: NU Online/Suwitno)

Rasulullah SAW adalah orang yang penuh kasih sayang. Beliau tidak membenci orang yang memusuhinya. Tidak menyakiti orang yang berbuat buruk kepadanya. Juga tetap berbuat baik kepada orang yang mencelanya.

 

Bahkan, ia memaafkan orang yang mengkhianatinya. Salah satu pengkhianatan yang dimaafkan Nabi Muhammad adalah apa yang dilakukan oleh seorang sahabat bernama Hathib bin Abi Balta’ah, sesaat sebelum peristiwa pembebasan Makkah (Fathu Makkah). Yaitu membocorkan rahasia umat Islam kepada musuh.

 

Hathib bin Abi Balta’ah adalah salah satu sahabat yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah. Sama seperti kebanyakan sahabat Nabi lainnya, Hathib meninggalkan anak dan hartanya di Makkah.

 

Ia tercatat ikut dalam beberapa pertempuran bersama dengan pasukan umat Islam, termasuk dalam Perang Badar. Karena itulah, dia sedikit dari sahabat yang mendapat julukan Ahlu Badr. 

 

Cerita bermula ketika umat Islam tengah menyiapkan alat-alat perang dan hendak membebaskan Kota Makkah dari tangan kaum kafir Quraisy karena mereka melanggar Perjanjian Hudaibiyah.

 

Pada saat itu, Hathib bin Abi Balta’ah mengirimkan surat kepada kaum kafir Makkah tentang rencana Nabi Muhammad yang sedang mempersiapkan pasukan umat Islam untuk menyerbu Makkah.

 

Hathib menitipkan surat tersebut kepada seorang perempuan musyrik yang datang dari Makkah ke Madinah bernama Sarah. Sarah adalah budak Abu Amr bin Shaifi bin Hasyim bin Abdu Manaf. Dia datang ke Madinah untuk meminta sumbangan karena semua keluarganya dikalahkan umat Islam pada saat Perang Badar. 

 

Singkat cerita, Nabi Muhammad mengetahui surat tersebut setelah diberitahu malaikat Jibril. Tentu saja Nabi dan sahabat yang mengetahui hal itu menjadi geram. Namun beliau mampu menahan emosi dan amarah.

 

Beliau kemudian menunjukkan surat tersebut kepada Hathib dan meminta penjelasan darinya. Apa maksud dari surat tersebut. Seketika itu, Hathib meminta agar Nabi tidak terburu-buru menghakiminya. Ia kemudian menjelaskan maksud dan tujuan dari dikirimkannya surat tersebut.

 

“Sesungguhnya aku adalah seorang yang terikat perjanjian dengan Quraisy sedang aku bukan bagian keluarga dari mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda dari kalangan Muhajirin, memiliki kerabat dari Makkah tempat keluarga mereka akan melindungi diri dan harta mereka,” jelas Hathib, dalam Nabi Sang Penyanyang (Raghib as-Sirjani, 2014).

 

“Aku ingin ketika aku sudah tidak memiliki nasab keturunan di tengah-tengah mereka ada yang yang aku jadikan dari mereka orang yang akan melindungi kerabatku. Tidaklah aku melakukan ini karena kufur, tidak juga karena meninggalkan Islam dan juga bukan karena ridha dengan kekafiran setelah aku menerima Islam,” lanjutnya.

 

Nabi Muhammad menerima penjelasan Hathib tersebut. Beliau mengampuni dan memaafkannya. Menurutnya, apa yang dikatakan Hathib tersebut adalah benar adanya. Namun, sejumlah sahabat yang mengetahui kasus tersebut tetap saja tidak terima dengan alasan yang diberikan Hathib.

 

Bahkan, Sayyidina Umar bin Khattab meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk memenggal kepala Hathib. Nabi segera mencegah Umar dan mengingatkan bahwa Hathib adalah Ahlu Badr. 

 

“Tahukan kamu, bahwa Allah sudah membebaskan para pejuang Perang Badar, yaitu Dia berfirman; Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian,” kata Nabi Muhammad. 

 

Begitulah perangai agung Nabi Muhammad. Beliau bahkan memaafkan Hathib yang membocorkan rencana penyerbuan pasukan umat Islam ke Makkah, setelah mendengarkan penjelasan dan klarifikasi darinya.

 

Suatu informasi yang sangat penting karena bisa mempengaruhi keamanan dan keselamatan pasukan umat Islam di medan tempur. Beruntungnya, surat tersebut diketahui oleh Nabi Muhammad. Dan pada akhirnya, Makkah berhasil dibebaskan dengan tanpa ada pertumpahan darah. 

 

Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Fathoni Ahmad