Sirah Nabawiyah

Perangai Rasulullah yang Layak Diteladani Para Ayah

Sel, 12 November 2019 | 02:00 WIB

Perangai Rasulullah yang Layak Diteladani Para Ayah

Kesibukan Rasulullah yang luar biasa dalam mengayomi umat, sama sekali tak mengganggu perhatian beliau kepada keluarga.

Tanggal 12 November biasa diperingati masyarakat Tanah Air sebagai Hari Ayah. Peringatan ini dilakukan sebagai wujud penghargaan terhadap para ayah, sekaligus mengingatkan kembali akan kewajiban dan perhatian mereka terhadap keluarga.

 

Sebab faktanya, para ayah tak hanya dituntut sebagai pencari nafkah yang penuh tanggung jawab, tetapi juga menjadi pemimpin, pelindung, dan pemberi teladan yang baik bagi keluarga. Termasuk menjadi pendidik dan penjamin masa depan anak-anaknya.

 

Karena itu, Hari Ayah yang beriringan dengan Hari Kelahiran Nabi pada tahun ini merupakan momentum yang tepat untuk memotret kembali akhlak dan perangai Rasulullah sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya sekaligus suami bagi para istrinya. Apa saja pesan beliau untuk para ayah dan para suami?

 

Sebagaimana diketahui, Rasulullah adalah seorang yang sibuk mengurus pemerintahan, memimpin pasukan, menegakkan hukum, bernegosiasi dengan delegasi, mengajar para sahabat, menerima wahyu, dan mendakwahkan Islam, bahkan mengirim surat kepada para raja dan pemimpin dunia.

 

Namun, di sela-sela kesibukannya, beliau ternyata seorang yang bertanggung jawab dan penuh perhatian kepada keluarga, kepada anak-istri, cucu, bahkan anak-anak di sekitarnya. Beliau sosok pelindung dan seorang yang lemah-lembut terhadap keluarga. Hal itu seperti yang diakuinya dalam salah satu hadits:

 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

 

Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluarga” (HR al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

 

Rasulullah juga sosok penyayang dan ramah kepada anak-anak. Hal ini diakui langsung oleh Anas ibn Malik yang kesehariannya lebih banyak bersama beliau, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih sayang kepada keluarga selain Rasulullah .

 

Keakraban beliau kepada mereka terlihat jelas dalam berbagai kesempatan. Pernah pada suatu ketika, beliau mencium salah seorang cucunya, al-Hasan ibn ‘Ali. Kejadian itu disaksikan langsung oleh al-Aqra‘ ibn Habis. Al-Aqra‘ pun berkomentar, “Aku memiliki sepuluh orang anak, tapi tak ada satu pun yang biasa kucium.” Rasulullah menoleh ke arahnya dan menjawab, ”Siapa yang tak sayang, maka tak disayang,” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Mungkin al-Aqra‘ menduga bahwa laki-laki yang berkarakter kuat adalah mereka yang tak dekat dengan anak-anak. Namun, Rasulullah dengan tegas menepis dugaan itu, sehingga spontan melontarkan jawaban, ”Siapa yang tak sayang, maka tak disayang.” Jawaban itu jelas menunjukkan sikap beliau yang sangat luhur, penyayang, ramah anak, dan tentunya sangat layak diteladani para ayah.

 

Keluhuran, ketawadukan, dan kerendahan hati Rasulullah benar-benar tak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Karena keluhurannya beliau tak sungkan membaur dan bergaul dengan anak kecil. Pernah suatu saat beliau menghibur anak Ummu Sulaim bernama Abu ‘Umair yang menangis karena kematian burung kesayangannya.

 

Bentuk lain kasih sayang dan kelembutan Rasulullah kepada anak-anak adalah tidak membebani mereka di luar kemampuannya. Disebutkan, pada saat perang Uhud, beliau kedatangan sejumlah anak yang ingin ikut berperang. Namun, beliau menolak karena mereka masih kecil. Mereka adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khathab, Usamah ibn Zayd, Usaid ibn Zhuhair, Zayd ibn Tsabit, Zayd ibn Arqam, ‘Arabah ibn Aus, ‘Amr ibn Hazm, Abu Sa‘id al-Khudri, dan Sa‘d ibn Habah.

 

Dalam kesempatan lain, Rasulullah bahkan tak ragu untuk meminta air dan membasuh air pipis dari anak kecil yang dibawanya. Perhatian dan perlindungan Rasulullah terhadap anak-anak ini bukan sekadar perlakuan sepintas dan sewaktu-waktu, melainkan berlangsung berulang-ulang, sampai-sampai anak-anak kecil kerap menemui Rasul sepulang bepergian dan mengajaknya bermain atau bergurau dengan mereka. Beliau seakan tak punya keperluan atau kesibukan selain bermain dengan anak-anak (lihat: Raghib al-Sirjani, Nabi Kaum Mustad‘afin, 2011, [Jakarta: Zaman], hal. 38).

 

Kasih sayang dan kelembutan Rasulullah bahkan jauh melebihih kasih sayang dan kelembutan seorang ayah kepada anaknya. Pernah pada suatu saat Abu Bakar meminta izin untuk datang ke rumah Nabi . Namun setiba di rumah Nabi, ia mendengar suara keras putrinya, ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, kepada suaminya. Begitu masuk, ia langsung meraih tangan putrinya dan bermaksud menamparnya, sambil berkata, “Tadi aku mendengarmu membentak Rasulullah .” Namun, niatnya itu segera dihalangi oleh Rasulullah .

 

Abu Bakar pun akhirnya pulang membawa kekesalan. Sementara setelah ayah mertuanya pulang, Rasulullah bertanya kepada istrinya, ‘Aisyah, “Bagaimana menurutmu tentangku yang telah menyelamatkanmu dari pria itu?” Selama beberapa hari, Abu Bakar pun tak bicara, sampai kembali meminta izin mendatangi Rasulullah dan mendapati keduanya sudah kembali rukun. Beliau berkata kepada keduanya, “Bawalah aku dalam kedamaian kalian berdua sebagaimana kalian membawaku dalam pertengkaran kalian.” Rasulullah menjawab, “Sudah, sudah kami lakukan.”

 

Di sini terlihat jelas, kasih sayang Rasulullah melebihi kasih sayang seorang ayah. Abu Bakar yang hendak menampar sang putri segera dihalanginya. Itu tak mungkin lahir kecuali dari kasih sayang dan kelembutannya terhadap wanita. Terlihat jelas, Rasulullah adalah seorang yang memahami karakter perempuan. Begitu pula karakter, kebutuhan, dan kondisi psikologis anak-anak.

 

Selain menjadi ayah pilihan, Rasulullah juga dikenal sebagai suami yang lemah lembut dan tak sungkan membantu pekerjaan istrinya. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, suatu ketika, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu anha pernah ditanya perihal aktivitas beliau saat di rumah. ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah biasa menjahit pakaiannya, memperbaiki sandalnya, dan mengerjakan apa yang dikerjakan kaum pria di rumah.”

 

Kelembutannya itu kemudian ditularkannya kepada para sahabat. Beliau mengajarkan agar mereka selalu berpesan kebaikan terhadap istri mereka. “Berpesanlah kalian kepada para wanita dengan kebaikan. Karena mereka laksana tawanan di sisi kalian.” Demikian yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Bahkan, kedekatan hubungan antara laki-laki dan perempuan juga digambarkannya dalam hadits lain sebagaimana yang diriwayatkan al-Tirmidzi, “Perempuan itu adalah saudara kandung laki-laki.” Ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk suami dengan istri, harus selalu baik layaknya dua orang yang bersaudara.

 

Rasulullah juga berpesan kepada para suami agar tetap bersabar menghadapi sikap para wanita yang kurang disukai. Hal ini seperti dalam sabdanya:

 

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

 

Janganlah marah seorang pria mukmin kepada seorang wanita mukmin. Jika tidak menyukai satu perangai darinya, maka sukailah perangai lainnya, (Muslim dan Ahmad).

 

Demikian gambaran keluhuran akhlak Rasulullah yang layak diteladani para suami dan para ayah. Semoga kita termasuk orang yang mampu meneladani perangainya.

 

 

Penulis: Tatam Wijaya

Editor: Mahbib