Sirah Nabawiyah

Teladan Rasulullah terhadap Orang-orang Kafir

Rab, 31 Maret 2021 | 15:20 WIB

Teladan Rasulullah terhadap Orang-orang Kafir

Nabi Muhammad Rasulullah saw. (Foto: NU Online)

Dalam banyak riwayat hadits, Nabi Muhammad SAW adalah teladan akhlak mulia. Hal itu terlihat ketika Rasulullah tetap mendoakan orang yang memusuhinya, menghormati jenazah orang Yahudi, bahkan hendak menshalatkan jenazah orang munafik sebelum Al-Qur’an turun menjelaskan larangannya.


Kasih sayang Rasulullah juga terlihat ketika beliau berhijrah dengan berjalan kaki menuju Thaif. Di kota itu, Rasul tinggal bersama Zaid bin Haritsah selama 10 hari. Di sanalah muncul optimisme bahwa masyarakat setempat akan menerima dakwah Islam.


Nabi bertatap muka dengan pembesar Bani Tsaqif: Abdi Talel, Khubaib dan Mas'ud. Kepada mereka kekasih Allah ini mengenalkan tauhid. Begitu tragis, utusan Allah ini justru menjadi target pelecehan, penghinaan, umpatan, yang diluapkan dengan kata-kata kotor.

 

Lebih dari itu, Rasul dilempari batu hingga terluka. Dalam kondisi terserang, Zaid melindungi Rasul hingga mengakibatkan kepalanya terluka. Keduanya melarikan diri ke kebun milik Utbah bin Ra bi'ah. Di sana mereka beristirahat dan mengobati luka. Ketika itu Rasulullah bermunajat kepada Allah SWT agar dirinya dikuatkan menghadapi cobaan yang begitu berat.

 


Allah SWT menjawab doa sang nabi. Malaikat Jibril dan penjaga gunung mendatanginya. Jibril bertutur kepada sang Nabi,” Apakah engkau mau aku timpakan dua gunung kepada mereka (masyarakat Thaif)? Kalau itu kau inginkan maka akan aku lakukan.”


Namun, Rasulullah tidak menghendakinya. Bahkan dia mengharapkan Allah akan menciptakan generasi bertakwa yang lahir dari tulang rusuk masyarakat di sana. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam haditsnya.


Teladan rahmah juga diperlihatkan Nabi SAW saat mendapati sikap gegabah putra Zaid bin Haritsah, yaitu Usama. Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama bin Zaid bin Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya.


Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.

 


Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.


Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.


Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang). (KH Nasaruddin Umar, Khutbah-khutbah Imam Besar, 2018)

 

​​​​​​​Baca juga: Jihad itu Menghidupkan: Teladan Rasulullah


Jawaban ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain apalagi dengan mengafirkannya. Saling mengafirkan inilah yang menjadi fenomena umat Islam di zaman kini. Bahkan fenomena yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu tidak hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga ditujukan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan, dan lain-lain.


Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Hal ini bukan berarti ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya. Umat Islam tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya.


Soal ada pelanggaran lain, biarkan hukum formal yang akan menyelesaikannya. Atas langkah yang diambilnya itu, Usamah pun langsung memohon maaf kepada Rasulullah dan berjanji akan berhati-hati jika menemui peristiwa serupa di kemudian hari. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka yang turut menjadi korban adalah keluarga dekat orang tersebut.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon