Syariah

Boleh Membantu Kemaksiatan, Ini Syarat dan Contohnya 

Jum, 8 September 2023 | 22:00 WIB

Boleh Membantu Kemaksiatan, Ini Syarat dan Contohnya 

Boleh Membantu Kemaksiatan, Ini Syarat dan Contohnya . (Foto: NU ONline/Freepik)

Sebagaimana jamak diketahui bersama, bahwa Islam tidak pernah membolehkan pemeluknya untuk menolong perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi pendukung atas terselenggaranya maksiat dengan bentuk dan motif seperti apapun, bahkan Islam dengan tegas melarang semua perbuatan yang berbau maksiat.


Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini hanya menganjurkan pemeluknya untuk saling bahu-membahu dan tolong-menolong perihal kebaikan saja, sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ


Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS Al-Ma’idah [5]: 2).


Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah dari Allah swt kepada semua umat Islam untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan hal-hal yang berkaitan dengannya serta melarang untuk menolong perbuatan dosa dan permusuhan serta setiap sesuatu yang berhubungan dengannya.


Perintah ini Allah umumkan pada semua orang karena perbuatan baik tidak akan berjalan dengan sempurna jika dilakukan oleh satu orang, karena itu, lafal “wa ta’awanu” merupakan bentuk jamak yang artinya tertuju pada semua orang. (Syekh Sya’rawi, Tafsir wa Khawathirul Qur’an al-Karim lisy Sya’rawi, [1997], juz I, halaman 2008).


Kendati demikian, ada beberapa keadaan dan contoh menolong pada kemaksiatan atau yang juga diistilahkan i’anah alal ma’shiyah dalam kitab-kitab fiqih hukumnya diperbolehkan. Kebolehan ini bukan karena mendukung maksiatnya, namun karena bisa menjadi penyebab untuk menarik kemaslahatan yang nyata. Berikut penulis jelaskan beserta contoh-contohnya.


Boleh Menolong Kemaksiatan dengan Syarat

Syekh Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H) atau yang dikenal dengan julukan raja para ulama (sulthanul ulama), dalam salah satu karyanya menjelaskan bahwa ada beberapa keadaan di mana menolong pada kemaksiatan hukumnya diperbolehkan,


قد يجوز الإعانة على المعصية لا لكونها معصية بل لكونها وسيلة إلى تحصيل المصلحة الراجحة وكذلك إذا حصل بالإعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت المفسدة


Artinya, “Terkadang diperbolehkan menolong kemaksiatan bukan karena kemaksiatannya, namun karena ia bisa menjadi perantara untuk meraih kemaslahatan yang nyata, begitu juga jika dengan menolong kemaksiatan bisa menjadikan maslahah lebih unggul dari mafsadah.” (Syekh Izzuddin, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, [Beirut, Darul Ma’arif: Lebanon: tt], juz I, halaman 75).


Dalam kutipan yang lain juga disebutkan dengan maksud dan tujuan yang sama, yaitu:


وَقَدْ تَجُوْزُ الْمُعَاوَنَةُ عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَالْفُسُوْقِ وَالْعِصْيَانِ لاَ مِنْ جِهَّةِ كَوْنِهِ مَعْصِيَةً، بَلْ مِنْ جِهَّةِ كَوْنِهِ وَسِيْلَةً إِلىَ مَصْلَحَةٍ


Artinya, “Terkadang diperbolehkan menolong perbuatan dosa, permusuhan, perbuatan fasik dan kemaksiatan bukan dari faktor status perbuatan tersebut adalah maksiat, namun disebabkan (dengan menolongnya) akan menjadi perantara untuk meraih kemaslahatan.” (Syekh Izzuddin, I/109).


Salah satu contoh dari penjelasan di atas adalah memberikan uang kepada orang kafir untuk menebus tawanan umat Islam yang berhasil ditawan oleh mereka. Secara garis besar, memberikan uang kepada mereka tentu tidak diperbolehkan, karena akan digunakan pada kemaksiatan, namun karena ada kemaslahatan yang lebih besar dari hal itu, berupa terbebasnya umat Islam dari tawanan mereka, maka memberikan uang hukumnya diperbolehkan.


Contoh kedua adalah ketika di perjalanan bertemu dengan perampok yang hendak merampas hartanya, dan sang korban yakin andai hartanya tidak ia berikan, maka perampok akan membunuhnya, maka wajib baginya untuk menyerahkan harta tersebut demi menjaga kemaslahatan dirinya, sekalipun memberikan uang kepada mereka hukum asalnya tidak diperbolehkan.


Dan contoh yang ketiga adalah ketika terdapat wanita yang dipaksa untuk berzina dengan seorang laki-laki, dan laki-laki tersebut pasti akan melakukan perbuatan itu kecuali jika si wanita memberinya uang, maka dalam keadaan seperti ini ia wajib memberikan uang kepada laki-laki tersebut demi menjaga kemaslahatan dirinya agar terhindar dari zina.


Dari beberapa contoh ini, pada hakikatnya memberikan uang kepada orang-orang tersebut tidak diperbolehkan karena dinilai menolong pada kemaksiatan, namun dalam keadaan seperti hukumnya diperbolehkan bahkan wajib demi menghindari terjadinya mafsadah. Pendapat ini kemudian ditegaskan oleh Syekh Izzuddin, ia mengatakan:


وَلَيْسَ هَذَا عَلىَ التَّحْقِيْقِ مَعَاوَنَة عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَالْفُسُوْقِ وَالْعِصْيَانِ وَإِنَّمَا هُوَ إِعَانَةٌ عَلىَ دَرْءِ الْمَفَاسِدِ فَكَانَتِ الْمُعَاوَنَةُ عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَالْفُسُوْقِ وَالْعِصْيَانِ فِيْهَا تَبْعًا لاَ مَقْصُوْدًا


Artinya, “Hal ini secara kenyataannya bukanlah wujud membantu terjadinya perbuatan dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan tapi merupakan upaya agar terhindar dari suatu mafsadah (kerusakan). Maka bentuk membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan hanyalah sebatas platform (tab’an) bukan suatu tujuan pokok.” (Syekh Izzuddin, 1/110).


Demikian beberapa contoh diperbolehkannya menolong kemaksiatan bukan karena faktor maksiatnya, namun karena bisa menjadi perantara untuk mendapatkan kemaslahatan dan terhindar dari mafsadah. Wallahua a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur