Syariah

Hukum Melakukan Umrah di Bulan Syawal

Kam, 27 April 2023 | 10:30 WIB

Hukum Melakukan Umrah di Bulan Syawal

Aktivitas ibadah haji dan umrah. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Salah satu ibadah yang sangat diinginkan oleh semua umat Islam di berbagai lapisan dunia adalah bisa melaksanakan ibadah umrah ke Makkah Al-Mukarramah, sebagai salah satu manifestasi ketaatan seorang hamba untuk bisa meningkatkan nilai-nilai spiritual di tempat yang sangat dimuliakan oleh Allah, dan juga bentuk kerinduan pada tempat dilahirkannya manusia termulia dan paling agung, yaitu Nabi Muhammad saw.


Secara harfiah, umrah memiliki makna berkunjung, namun ia bukanlah berkunjung biasa sebagaimana berkunjung pada tempat-tempat umum maupun wisata. Seseorang yang berumrah sedang berkunjung ke tanah suci yang sangat mulia. Semua ibadah dan amal baik yang dilakukan di tempat tersebut akan dilipatgandakan oleh Allah swt melebihi ibadah yang dilakukan di tempat-tempat lainnya.


Dengan berumrah, seseorang berkesempatan untuk datang ke tempat dilahirkannya Rasulullah. Shalat di tempat yang biasa digunakan Rasulullah untuk shalat. Minum dan berjalan di tempat Rasulullah biasa minum dan jalan di tempat tersebut. Semua pengalaman ini tentu akan memberi bekal positif bagi setiap orang yang umrah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla.


Secara umum, umrah bisa dilakukan kapan pun oleh setiap umat Islam, selama memiliki bekal yang cukup, baik dari segi spiritual, material, maupun emosional, ia bisa melakukan umrah sesuai dengan keinginannya. Hanya saja, terkadang muncul sebuah unek-unek perihal hukum menunaikan umrah bertepatan dengan bulan-bulan haji, seperti bulan Syawal yang merupakan awal bulan haji, atau pun Dzulqa’dah? Mari kita bahas!


Umrah di Bulan Syawal

Tidak ada perbedaan di antara para ulama, bahwa menunaikan ibadah umrah di bulan Syawal hukumnya diperbolehkan, sebagaimana umrah di bulan-bulan lainnya. Hal ini berdasarkan salah satu riwayat yang dikutip Imam Malik bin Anas dalam salah satu karyanya, Kitab al-Muwattha’, yaitu:


أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَمِرْ إِلَّا ثَلاَثَ عُمَرٍ إِحْدَاهُنَّ فِي شَوَّالٍ وَاثْنَيْنِ فِي ذِيْ الْقَعْدَةِ


Artinya, “Sungguh Nabi Muhammad saw tidak umrah kecuali tiga kali umrah, satu kali di bulan Syawal, dan dua kali di bulan Dzulqa’dah.” (HR Malik).


Dalam riwayat Sayyidah Aisyah ra juga disebutkan bahwa Nabi pernah melangsungkan umrah di bulan Syawal,


عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِىَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ عُمْرَتَيْنِ فِى ذِى الْقِعْدَةِ وَعُمْرَةً فِى شَوَّالٍ


Artinya, “Dari Aisyah ra: sungguh Nabi Muhammad saw pernah melakukan umrah dua kali, yaitu umrah pada bulan Dzulqa’dah dan umrah pada bulan Syawal.” (HR Abu Dawud).


Berdasarkan hadits tersebut, Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa semua bulan dalam satu tahun bisa digunakan untuk melakukan umrah, dan tidak makruh melakukannya di bulan apa pun, baik bulan haji ataupun tidak. Tidak makruh juga melakukan umrah dua kali, tiga kali, atau lebih banyak dalam satu tahun. (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VII, halaman 147).


Namun demikian, melangsungkan umrah di bulan-bulan haji, seperti bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah, bisa saja mewajibkan dam (denda), jika setelah umrah ia tetap tinggal (muqim) di Makkah hingga musim haji, kemudian ia melakukan haji pada bulan tersebut tanpa pulang terlebih dahulu.


Contoh: seseorang melakukan umrah di bulan Syawal ini, kemudian ia terus muqim (menetap) di Makkah hingga datangnya musim haji. Ketika bulan haji datang (Dzulhijjah) ia ihram untuk menunaikan ibadah haji, maka orang ini harus membayar dam (denda), berupa hadyu, yaitu menyembelih hewan ternak yang bisa dijadikan kurban, seperti unta, sapi, atau kambing.


Kewajiban hadyu sebagaimana dalam praktik ini disebabkan status hajinya merupakan haji tamattu’, yaitu haji yang dilakukan setelah melakukan umrah, atau mendahulukan umrah sebelum haji di tahun yang sama dan dilakukan dalam satu perjalanan, maka hajinya disebut haji tamattu’. Berkaitan dengan kewajiban hadyu ini, Syekh Muhammad Az-Zarqani dalam kitabnya mengatakan:


مَنْ اِعْتَمَرَ فِي شَوَّالٍ أَوْ ذِيْ الْقَعْدَةِ أَوْ ذِيْ الْحِجَّةِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ ثُمَّ حَجَّ مِنْ عَامِهِ ذَلِكَ فَلَيْسَ عَلَيْهِ هَدْيٌ، إِنَّمَا الْهَدْيُ عَلَى مَنْ اِعْتَمَرَ فِيْ أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ أَقَامَ حَتَّى الْحَجَّ ثُمَّ حَجَّ


Artinya, “Barangsiapa yang melakukan umrah di bulan Syawal, atau Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah, kemudian pulang menuju keluarganya, selanjutnya menunaikan haji di tahun tersebut, maka tidak wajib baginya untuk membayar hadyu. Hadyu hukumnya wajib bagi orang yang melakukan umrah di bulan-bulan haji, selanjutnya ia menetap (muqim) hingga memasuki bulan haji, kemudian melakukan haji.” (Az-Zaraqani, Syarhu az-Zarqani ‘alal Muwattha’, [Kairo, Maktabah at-Tsaqafah: 2003], juz II, halaman 358).


Kewajiban membayar hadyu sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Az-Zarqani dalam praktik di atas apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) umrah dan haji dilakukan dengan satu perjalanan; (2) umrah dilakukan di bulan-bulan haji dan di tahun yang sama; dan (3) orang yang menunaikan ibadah umrah bukan penduduk Makkah. Jika tiga syarat tersebut terpenuhi, maka wajib untuk membayar dam, berupa menyembelih hewan, sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika tidak terpenuhi, maka tidak harus membayar dam.


Contoh: orang umrah di selain bulan haji (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijah), seperti Ramadhan atau bulan lainnya, kemudian menetap di Makkah hingga memasuki waktu haji, dan di bulan tersebut ia melakukan haji, maka ia tidak harus membayar dam, karena tidak memenuhi tiga syarat di atas. (Lihat, Az-Zarqani, 358).


Alhasil, melakukan umrah di bulan Syawal, atau bulan haji yang lainnya diperbolehkan. Bahkan Rasulullah juga melakukan umrah di bulan-bulan tersebut. Hanya saja, jika seandainya ingin melakukan haji di tahun itu juga, maka sebisa mungkin pulang terlebih dahulu ke tanah kelahirannya. Jika tidak, maka wajib untuk membayar hadyu, yaitu menyembelih hewan ternak yang bisa dijadikan kurban, seperti unta, sapi, atau kambing. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.