Tasawuf/Akhlak

Amal Saleh yang Lebih Utama dari 2 Kali Haji dan 20 Kali Umrah

Ahad, 20 November 2022 | 22:01 WIB

Amal Saleh yang Lebih Utama dari 2 Kali Haji dan 20 Kali Umrah

Amal Saleh yang Lebih Utama dari 2 Kali Haji dan 20 Kali Umrah

Pahala haji memiliki nilai luar biasa besarnya. Orang yang berhaji layak menerima imbalan surga. Pada riwayat Bukhari, Muslim, At-Turmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Rasulullah menyebutkan bahwa orang yang berhaji dengan benar akan diampuni dosanya sebagaimana ketika dilahirkan ibunya.


Sebagian ulama menyatakan bahwa ada juga amal saleh yang lebih utama daripada ganjaran ibadah haji yang luar biasa itu. Fudhail bin Iyadh mengatakan, kesalehan sosial berupa kejujuran pada takaran atau timbangan dalam transaksi memiliki ganjaran dua kali lipat pahala ibadah haji dan 20 kali pahala ibadah umrah.


Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumidin-nya  menceritakan bagaimana Fudhail bin Iyadh ra mengapresiasi anaknya yang jujur dalam takaran atau timbangan.


ونظر فضيل إلى ابنه وهو يغسل دينارا يريد أن يصرفه ويزيل تكحيله وينقيه حتى لا يزيد وزنه بسبب ذلك فقال يا بني فعلك هذا أفضل من حجتين وعشرين عمرة


Artinya: “Fudhail bin Iyadh menyaksikan anaknya yang sedang mencuci sekeping dinar yang ingin digunakan. Ia menyaksikan anaknya yang sedang berusaha menghilangkan karat dan membersihkannya sehingga bobot takarannya tidak bertambah karenanya. Fudhail lalu berkata, ‘Nak, apa yang kaulakukan lebih utama daripada pahala dua kali ibadah haji dan 20 kali ibadah umrah,’” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz II, halaman 89).


Soal kejujuran dalam timbangan mendapat perhatian besar dalam Islam. Kejujuran dalam timbangan atau takaran membangun kepercayaan pihak yang terlibat dalam transaksi. Kejujuran dalam timbangan ini juga membawa keuntungan dan maslahatan bagi semua pihak.


Sebaliknya, Al-Qur’an memperingatkan agar kita menjauhi sikap tidak jujur atau curang dalam timbangan atau takaran. Al-Qur’an bahkan menamakan secara khusus surat di dalamnya dengan “Surat Orang-orang yang Curang.”


وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكْتَالُوا۟ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ


Artinya: “Celaka besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar?” (Surat Al-Muthafifin ayat 1-5).


Surat Al-Muthafifin mengecam keras tindakan curang atau tidak jujur dalam soal takaran atau timbangan. Surat Al-Muthafifin ini menunjukkan keluhuran dan keagungan ajaran Islam termasuk urusan kesalehan muamalah maliyah. Sebaliknya, Islam sangat mengapresiasi kejujuran dalam soal takaran atau timbangan.


*


Sebelumnya Rasulullah saw pernah menyebutkan amal saleh yang nilainya setara dengan nilai ibadah haji dan umrah. Rasulullah menyebutkan amal saleh tersebut pada hadits riwayat Abu Dawud dari sabahat Abu Umamah ra.


من خرج من بيته متطهرا إلى صلاة مكتوبة فأجره كأجر الحاج المحرم، ومن خرج إلى تسبيح الضحى لا ينصبه إلا إياه فأجره كأجر المعتمر


Artinya: “Siapa saja yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu akan diberikan pahala ibadah haji. Sementara orang yang keluar rumah untuk mengerjakan shalat dhuha dan tidak ada tujuan lain selain itu, maka akan diberikan pahala umrah,” (HR Abu Dawud).


Pada riwayat lain, Rasulullah saw menyebut aktivitas atau kegiatan belajar dan mengajar kebaikan sebagai amal saleh yang nilainya setara dengan ibadah haji sebagaimana riwayat At-Thabarani berikut ini:


من غدا إلى المسجد لايريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه، كان له كأجر حاج تاما حجته


Artinya: “Siapa yang berangkat ke masjid hanya untuk mempelajari atau mengajarkan kebaikan akan diberikan pahala seperti pahala ibadah haji yang sempurna hajinya,” (HR At-Thabarani).


Semua keterangan tersebut tentu saja bukan dimaksudkan untuk mengecilkan nilai atau menggugurkan kewajiban ibadah haji dan umrah. Semua keterangan tersebut dimaksudkan untuk mengapresiasi amal kesalehan sosial berupa kejujuran dalam timbangan atau takaran yang harus dijaga dalam kehidupan duniawi yang tidak lepas dari muamalah. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)