Syariah

Hukum Mengonsumsi Lele yang Diberi Makan Kotoran atau Bangkai

Kam, 31 Maret 2022 | 23:30 WIB

Hukum Mengonsumsi Lele yang Diberi Makan Kotoran atau Bangkai

Hukum Mengonsumsi Lele yang Diberi Makan Kotoran atau Bangkai

Ikan lele bisa dibilang salah satu menu favorit bagi sebagian orang, khususnya mereka para penikmat makanan lalapan. Namun jarang dari mereka yang memperhatikan pakan dari ikan lele yang biasa mereka konsumsi. 

 

Sebagian dari penikmat ikan lele mungkin ada yang tidak menyangka jika sebagian peternak ada yang memberi makanan pada ikan lele dengan benda-benda yang najis, seperti bangkai hewan dan kotoran tinja. Meski peternak yang lain lebih memilih memberi makanan lele dengan pakanan selain bangkai dan kotoran, seperti dedaunan, cacing, belatung lalat, dan fermentasi ampas tahu.

 

Berangkat dari realitas di atas, timbul pertanyaan, bagaimana syariat menyikapi ikan lele yang diberi pakan berupa bangkai dan kotoran tinja? Apakah hukumnya tetap halal mengingat lele merupakan bagian dari ikan, atau hukumnya haram karena faktor memakan benda yang najis?

 

Dalam berbagai literatur kitab turats disebutkan bahwa hewan yang memakan kotoran, bangkai, atau benda yang najis disebut dengan jalalah. Nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya melarang umatnya mengonsumsi hewan jenis jalalah. Berikut hadits yang menjelaskan larangan ini:

 

إِنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنْ أَكْلِ الجَلَالَةِ وَشُرْبِ لَبَنِهَا حَتَّى تَعْلِفَ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً (رواه الترمذي)

 

“Sesungguhnya Rasulullah saw melarang memakan daging binatang yang memakan kotoran dan (melarang) meminum susunya sampai hewan itu diberi makan (dengan yang tidak najis) selam 40 malam (hari)” (HR at-Tirmidzi).

 

Para ulama mazhab Syafi’i memaknai larangan dalam hadits tersebut sebagai hukum makruh, bukan haram. Bahkan hukum makruh ini hanya berlaku saat daging hewan pemakan kotoran dan bangkai (jalalah) terasa berubah karena faktor memakan kotoran. Jika dagingnya tidak tampak berubah, maka hukum makruh pun menjadi hilang. Penjelasan demikian sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab:

 

وَيُكْرَهُ أَكْلُ الْجَلَالَةِ، وَهِيَ اَلَّتِيْ أَكْثَرُ أَكْلِهَا العَذْرَةُ مِنْ نَاقَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ دَيْكٍ أَوْ دُجَاجَةٍ - وَلَا يَحْرُمُ أَكْلُهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ أكْثَرُ مِنْ تَغَيُّرِ لَحْمِهَا وَهَذَا لَا يُوْجِبُ التَّحْرِيْمَ، فَإِنْ أُطْعِمَ الجَلَالَةُ طَعَامًا طَاهِرًا وَطَابَ لَحْمُهَا لَمْ يُكْرَهْ

 

Artinya, “Makruh mengonsumsi jalalah, yakni hewan yang sebagian besar makanannya adalah kotoran, seperti hewan unta, sapi, kambing, atau ayam. Mengonsumsi hewan jalalah ini tidak sampai berimbas pada hukum haram, sebab (efek memakan kotoran) perubahan dagingnya tidak terlalu dominan dan hal ini tidak menetapkan hukum haram. Jika hewan jalalah diberi makanan yang suci, dan dagingnya menjadi normal kembali, maka mengonsumsinya menjadi tidak makruh” (Asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah], 1995, juz 1: 454).

 

Dalam syarahnya bahkan disebutkan bahwa kesimpulan hukum makruh dalam mengonsumsi  jalalah yang rasa dagingnya berubah, merupakan pendapat yang paten dan tidak ada perbedaan di antara para ulama mazhab syafi’i. Berikut redaksinya:

 

وَالصَّحِيْحُ الَّذِيْ عَلَيْهِ الجُمْهُوْرُ أَنَّهُ لَا اِعْتِبَارَ بِالْكَثْرَةِ ، وَإِنَّمَا الإِعْتِبَارُ بِالرَّائِحَةِ وَالنِّتْنِ فَإِنْ وُجِدَ فِيْ عَرَقِهَا وَغَيْرِهِ رِيْحُ النَّجَاسَةِ فَجَلَالَةٌ ، وَإِلَّا فَلَا ، وَإِذَا تَغَيَّرَ لَحْمُ الْجَلَالَةِ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ بِلَا خِلَافٍ

 

“Menurut qaul shahih yang menjadi pijakan mayoritas ulama bahwa yang dijadikan pertimbangan bukan makanan yang paling dominan, tapi hal yang menjadi pertimbangan adalah baunya. Jika ditemukan pada keringat atau bagian lainnya bau benda najis, maka disebut hewan jalalah. Jika tidak ditemukan bau najis, maka bukan jalalah. Jika daging hewan jalalah ini berubah, maka hukum mengonsumsinya adalah makruh dengan tanpa adanya perbedaan di antara para ulama” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad], juz 9: 30)

 

Ikan lele yang diberi pakan berupa kotoran dan bangkai tentu masuk dalam cakupan jenis hewan jalalah di atas. Sehingga tidak sampai memiliki konsekuensi hukum haram dalam mengonsumsinya. Ketidakharaman ikan lele pemakan kotoran dan bangkai juga dibenarkan oleh Syekh Ahmad Mamduh selaku penanggung jawab Lajnah Darul Ifta’ Mesir. Beliau menegaskan bahwa Ikan lele pemakan kotoran dan bangkai adalah hewan yang halal dikonsumsi. Berikut fatwa beliau:

 

مَا حُكْمُ أَكْلِ سَمَكِ الْقَرَامِيْطِ؟

وَأَجَابَ الدُّكْتُوْرُ أَحْمَدُ مَمْدُوْحٌ، أَمِيْنُ الْفَتْوَى بِدَارِ الْإِفْتَاءِ، عَلَى السُّؤَالِ، بِالْقَوْلِ:”سَمَكُ الْقَرَامِيْطِ، يُوْجَدُ فِيْ الْمِيَاهِ العَذْبَةِ فِي التَّرْعِ وَغَيْرِهَا وَيَتَغَذَّى عَلَى النَّفَايَاتِ وَالْقَاذُوْرَاتِ -لَا يَحْرُمُ أَكْلُ سَمَكِ الْقَرَامِيْطِ لِمَنْ يَرْغَبُ فِيْ أَكْلِهِ، وَلَكْنْ لَيْسَ كُلُّ حَلَالٍ يَسْتَطِيْعُ كُلُّ أَحَدٍ أَنْ يُقْدِمَ عَلَيْهِ - فَهُنَاكَ بَعْضُ النَّاسِ يَتَجَنَّبُ أَكْلَهُ"

 

“Bagaimana hukum mengonsumsi ikan lele? Doktor Ahmad Mamduh selaku penanggung jawab bidang fatwa di Lembaga Darul Ifta’ Mesir menjawab: “Ikan lele dapat ditemukan di air yang tawar di sungai dan di tempat lainnya. Hewan ini memakan limbah dan beberapa kotoran. Mengonsumsi ikan lele adalah hal yang tidak diharamkan bagi orang yang menyukainya. Tapi tidak setiap makanan yang halal semua orang berkenan memakannya. Sebagian orang ada yang menghindari untuk memakannya” (Video Syekh Doktor Ahmad Mamduh, Sumber Video Facebook halaman Darul Ifta’ Mesir, menit 3:49, dipublikasikan tanggal 2 Juni 2021 M)

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi ikan lele dan hewan pemakan bangkai dan kotoran yang lainnya adalah halal tetapi tergolong hal yang dimakruhkan ketika terasa adanya perubahan pada daging yang ditimbulkan dari kotoran yang dimakan oleh hewan tersebut. Kemakruhan ini menjadi hilang tatkala tidak terasa adanya perubahan rasa pada daging pemakan bangkai. Sehingga sebaiknya bagi seseorang yang hendak mengonsumsi ikan lele agar lebih memprioritaskan ikan yang dibudidayakan bukan dengan bangkai atau kotoran, tapi dengan pakan yang lain. Dengan demikian ia terbebas dari hukum makruh dalam mengonsumsi ikan lele tersebut. Wallahu a’lam.

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur