Syariah

Jika Musim Haji Ada 3 Bulan, Mengapa Hanya Dilaksanakan saat Dzulhijjah?

Sen, 25 Juli 2022 | 18:30 WIB

Jika Musim Haji Ada 3 Bulan, Mengapa Hanya Dilaksanakan saat Dzulhijjah?

Al-Qur’an menyebut musim haji ada tiga bulan, yaitu Syawal, Dzulqadah, dan Dzulhijjah. Lalu kenapa hanya dilakukan saat Dzulhijjah?

Ibadah haji merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang sudah memenuhi syarat. Dalam praktiknya, pelaksanaan rukun Islam yang kelima ini hanya dilakukan saat bulan Dzulhijjah. Padahal, dalam Al-Qur’an disebutkan musim haji ada di tiga bulan, yaitu Muharram, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Allah swt befirman,

 

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

 

Artinya, “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah [2]: 197)

 

Sejumlah ulama menafsirkan kata asyhur (beberapa bulan) pada ayat di atas sebagai bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, maksud ayat di atas adalah waktu pelaksanaan ihram, bukan semua rangkaiaan haji. Sebab, waktu pelaksanaan haji tidak butuh berbulan-bulan, tetapi cukup beberapa hari.

 

Lebih spesifiknya, jelas an-Nawawi, waktu untuk ihram dimulai sejak bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (berakhir ketika sudah muncul fajar pagi Idul Adha) (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 2011: juz 8, h. 168).

 

Artinya, jika ada jamaah haji melakukan ihram mendahului atau terlambat dari batas waktu yang telah ditentukan maka hajinya tidak sah, dan berubah statusnya menjadi ibadah umrah. Imam al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an memaparkan,

 

وقال عطاء ومجاهد وطاوس والأوزاعي: من أحرم بالحج قبل أشهر الحج لم يجزه ذلك عن حجه ويكون عمرة، كمن دخل في صلاة قبل وقتها فإنه لا تجزيه وتكون نافلة، وبه قال الشافعي وأبو ثور

 

Artinya, “Imam ‘Atha, Mujahid, Thawus, dan Al-Auza’i berpendapat, ‘Siapa yang melakukan ihram sebelum memasuki musim bulan-bulan haji maka statusnya bukan lagi haji melainkan umrah. Seperti orang yang melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk waktunya, maka statusnya menjadi shalat sunnah, bukan fardhu. Demikian menurut Imam Syafi’i dan Abu Tsaur.” (Imam al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2006: juz 3, h. 320)

 

Kemudian, waktu pelaksanaan rukun-rukun haji lainnya yang berupa wukuf di ‘Arafah, tawaf, sa’i, mencukur rambut, semuanya sudah ditentukan sebagaimana yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhamad saw saat peristiwa Haji Wada’. Regulasi ini sifatnya tauqifi (tidak bisa ditawar). Hal ini sebagaimana sabda Nabi berikut,

 

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

 

Artinya, “Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku), karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa berhaji setelah hajiku ini” (HR Muslim).

 

Menurut Imam an-Nawawi, hadits ini merupakan dasar yang kuat untuk acuan teknis pelaksanaan haji berdasarkan peristiwa Haji Wada’ Rasulullah. Seolah-olah Nabi bersabda, “Hal-hal yang aku lakukan pada haji ini, baik berupa gerakan, bacaan, dan sejumlah ketentuan lainnya, merupakan rangkaian dan ketentuan-ketentuan haji. Semua ini merupakan manasik kalian. Ambil, terima, jaga, amalkan, dan ajarkanlah kepada orang lain tentangnya (An-Nawawi, Syarah Muslim, juz 9, h. 419).

 

Lebih detailnya, berikut adalah waktu-waktu pelaksanaan setiap rukun haji:

 

1. Ihram dilakukan sejak masuk bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhjjah.

 

2. Waktu wukuf di ‘Arafah berlaku sejak matahari tergelincir pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar di tanggal 10 Dzulhijjah. Pelaksanaan wukuf ini merupakan rukun haji yang paling pokok karena waktunya yang terbatas, berbeda dengan rukun-rukun lainnya.

 

Sehingga, jamaah yang tertinggal melakukan rukun ini hajinya tidak sah, dan harus mengulang tahun depan. Sebab itu, wukuf merupakan inti dari ibadah haji. Rasulullah saw bersabda,

 

الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ

 

Artinya, “Inti haji adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang mendapatkan malam Arafah sebelum terbit fajar dari malam jam’ (malam mabit di Muzdalifah) maka hajinya telah sempurna” (HR At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, dan lalinnya).

 

3. Waktu tawaf berlaku sejak tengah malam 10 Dzulhijjah dan tidak ada batas akhir waktunya. Yang lebih utama jamaah haji menyegerakan tawaf pada Hari Raya Kurban sebelum tergelincirnya matahari, kemudian kembali ke Mina dan shalat Dzuhur di sana.

 

4. Waktu pelaksanaan sa’i adalah setelah melakukan tawaf yang sah (qudum atau ifadhah) dan tidak memiliki batas waktu.

 

5. Waktu pelaksanaan mencukur atau memotong rambut mulai dari tengah malam Hari Raya Kurban, dan tidak memiliki batas waktu. (Sayyid Hasan bin Ahmad al-Kaff, Taqriratus Sadidah, 2004: h. 475-481).

 

Kesimpulannya, meski dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 197 disebutkan musim haji selama tiga bulan, yaitu Syawal, Dzulqadah, dan Dzulhijjah, tapi hal itu hanya berlaku bagi salah satu rukun saja yaitu Ihram. Sedangkan rukun-rukun lainnya ada yang harus dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dan ada pula yang bisa dilaksanakan sejak Dzulhijjah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

 

Kendati ada rukun-rukun yang tidak harus ditunaikan pada Dzulhijjah, yaitu tawaf, sa’i, dan mencukur atau memotong rambut, tapi demi kemudahan pelaksanaannya dituntaskan pada bulan Dzulhijjah. Wallahu a’lam bishawab.
 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta