Sirah Nabawiyah

Sejarah Haji Wada’ dan Hari-hari Jelang Rasulullah Wafat

Sen, 20 Juni 2022 | 08:00 WIB

Sejarah Haji Wada’ dan Hari-hari Jelang Rasulullah Wafat

Ilustrasi Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Peristiwa Haji Wada’ tidak saja menjadi momen bahagia umat Muslim karena dikenal sebagai simbol prestasi dakwah Rasulullah saw yang ditandai dengan animo masyarakat Arab untuk menjadi mualaf, tetapi juga sekaligus hari duka karena menjadi pertanda usia Nabi tidak lama lagi berdasarkan gelagat yang ditangkap sejumlah sahabat.


Perjuangan dakwah

Selama kurang lebih 23 tahun Nabi Muhammad menjalankan misi risalahnya mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, membawa mereka perlahan meninggalkan segala bentuk ajaran nenek moyang yang menyimpang kepada nilai-nilai kebenaran yang Allah sampaikan melalui Rasul-Nya.


Selama 23 tahun pula Nabi Muhammad bersama sekalian umat Muslim harus merasakan beratnya melewati tantangan dan ujian di tengah kaum musyrikin. Harta dikorbankan, tenaga dikerahkan, pikiran didedikasikan, hingga nyawa pun siap menjadi taruhan jika memang untuk mempertahankan keimanan harus dibayar dengan nyawa.


Dalam catatan sejarah yang dikemukakan oleh banyak sejarawan, kita akan menemukan sejumlah nama sahabat yang begitu tegar menghadapi perlawanan kaum musyrik yang selalu berusaha menggagalkan dakwah Nabi dengan menghalalkan segala upaya.


Selain tentu Nabi sendiri yang selalu menjadi incaran utama, untuk sekadar menyebut, ada satu keluarga sahabat yang dibunuh secara kejam karena mempertahankan akidahnya. Mereka adalah keluarga Ammar bin Yasir. 


Ayah Ammar, yaitu Yasir, meninggal dalam penyiksaan itu. Disusul sang ibu, Sumayyah yang juga disiksa Abu Jahal. Beruntung, dalam insiden itu Ammar selamat karena pura-pura murtad. (Safyurahman al-Mubarakfuri, Ar-Raḫîqul Makhtûm, 2013: h. 85)


Haji Wada’

Setelah 23 tahun perjuangan dakwah berlalu, tepatnya hari Sabtu empat hari sebelum habisnya bulan Dzulqa’dah tahun 11 H, Rasulullah bersama umat Muslim bertolak ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Haji Wada’. Kata 'Wada' sendiri berarti perpisahan karena tidak lama setelah itu Nabi Muhammad wafat.


Peristiwa Haji Wada’ ini ditulis oleh para sejarawan dengan begitu detail dalam catatan-catatan sejarah mereka. Mulai dari Nabi mempersiapkan keberangkatan, manasik per manasik, sampai kembali lagi ke Madinah. 


Nabi memasuki kota Makkah pada hari Senin, 4 Dzulqa’dah tahun 10 H dengan menghabiskan perjalanan selama delapan hari. Waktu tempuh perjalanan yang lebih lama dari biasanya ini menggambarkan betapa Rasulullah menikmati proses ibadah tersebut. Mengingat ini adalah momen haji pertama sekaligus terakhir baginya sebagaimana dituturkan sebagian sejarawan. (Ibnul Atsir, Al-Kâmil fit Târîkh, 2010: juz 2, h. 170)


Momen Haji Wada’ ini juga menunjukkan animo manusia untuk memeluk agama Islam begitu besar. Syekh Mushtafa as-Siba’i dalam As-Sîrah an-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar saja melaporkan sebanyak 114.00 umat Muslim dari Jazirah Arab dan sekitarnya turut serta menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Sementara Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Raḫîqul Makhtûm melaporkan jumlah jamaah haji sebanyak 124.000 atau 140.000.


Tentu angka ini sangat fantastis mengingat Nabi hanya butuh waktu 23 tahun untuk mengislamkan bangsa Arab yang sudah mapan dengan ideologi jahiliyah warisan nenek moyang dan sudah mengakar kuat di tubuh bangsa Arab saat itu.


Di tengah lautan umat Muslim itulah kemudian Rasulullah menyampaikan pidato yang cukup mengharukan. Pesan-pesannya mengisyaratkan bahwa usia beliau tidak lama lagi. Berikut adalah potongan pembuka pesan yang beliau sampaikan saat itu,


أَيُّهَا النَّاسُ، اسْمَعُوا قَوْلِي، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا بِهَذَا الْمَوْقِفِ أَبَدًا


Artinya, “Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku! Aku belum tahun secara pasti, boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini.”


Belum lagi setelah pidato selesai turun ayat Al-Qur’an yang semakin memperkuat bahwa tidak lama lagi Nabi akan tutup usia.


ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ  


Artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)


Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah telah tuntas dan sudah sempurna. Dengan demikian misi risalah Nabi juga telah rampung. Artinya, tidak lama lagi Nabi akan tutup usia.


Memang, banyak umat Muslim yang tidak menangkap pesan tersirat itu, akan tetapi ada beberapa  sahabat yang merasakan betul bahwa usia Nabi tidak lama lagi. Seperti yang dialami olah Umar bin Khattab, begitu Nabi selesai menyampaikan pidato dan turun ayat di atas, tak kuasa Umar menahan air mata. Kemudian seseorang bertanya padanya, “Mengapa engkau menangis?”


“Sesungguhnya setelah kesempurnaan pasti akan ada kekurangan,” jawab Umar.


Maksud Umar adalah ajaran Islam telah sempurna. Jika telah sempurna maka akan ada yang berkurang, yaitu kepergian Rasulullah saw yang tinggal menghitung hari.


Pesan serupa di bulan yang sama juga pernah Nabi sampaikan saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk misi tertentu, beliau berpesan padanya, “Wahai Mu’adz, boleh jadi engkau tidak akan berjumpa denganku setelah tahun ini, dan boleh jadi engkau akan lewat di masjidku dan kuburanku ini.”


Mendengar apa yang baru saja Nabi ucapkan begitu serius, Mu’adz sangat khawatir kalau usia beliau sudah tidak lama lagi. Sebagai salah satu sahabat, tentu Mu’adz mengimani betul bahwa apa yang diucapkan Rasulullah tidak main-main.


Setelah hari demi hari Nabi lalui dengan sederet peristiwa yang mengindikasikan usianya tidak lama lagi, empat bulan setelah Haji Wada’ beliau tutup usia. Tepatnya pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 H, di usianya yang ke-63 tahun lebih empat hari. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. (Safyurahman al-Mubarakfuri, Ar-Raḫîqul Makhtûm, 2013: h. 395)


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad