Syariah

Kapan Harus Bertanya tentang Status Halal Makanan?

Sen, 25 April 2022 | 20:23 WIB

Kapan Harus Bertanya tentang Status Halal Makanan?

Kita ingin barang atau makanan yang diberikan oleh orang lain pada kita dapat terjamin kehalalannya.

Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita seringkali dipertemukan dengan bermacam-macam orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Tidak jarang pula diantara mereka ada yang menunjukkan sikap baik kepada kita dengan memberikan beberapa hadiah berupa barang atau makanan untuk menunjukkan komitmen ingin dikenal baik oleh kita. 


Namun sebagai seorang muslim yang penuh kehati-hatian, terkadang kita memilih untuk selektif dalam menerima berbagai pemberian dari orang lain. Kita ingin barang atau makanan yang diberikan oleh orang lain pada kita dapat terjamin kehalalannya. Sekiranya pemberian tersebut didapatkan dari sumber yang halal, bukan dari proses yang diharamkan oleh syara’. 


Berangkat dari sudut pandang demikian, tidak heran jika kita memilih untuk bertanya terlebih dahulu kepada pemberi tentang status barang atau makanan yang diberikan pada kita. Sudahkah makanan tersebut halal? Apakah benda ini didapatkan dengan cara yang halal? pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi sangat relevan tatkala terbesit dalam hati kita rasa curiga terhadap orang yang memberikan barang atau makanan tersebut. 


Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas rasanya dapat membuat hilangnya keraguan dan kebimbangan pada diri kita atas status pemberian dari orang lain.


Namun di samping itu, sebenarnya bagaimana tinjauan syara’ berkaitan dengan hal ini? Kapan sebenarnya dianjurkan bertanya tentang status kehalalan sebuah makanan yang diberikan oleh orang lain?


Sebelum menjawab secara langsung tentang poin pertanyaan di atas, baiknya kita simak Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 11 berikut:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka buruk, sesungguhnya sebagian prasangka buruk itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 11)


Ayat di atas menegaskan larangan berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam salah satu hadits bahkan disebutkan secara tegas larangan mencari pembenaran atas sikap buruk sangka kita pada orang lain:


إذا ظَنَنْتَ فَلَا تُحَقِّقْ


Artinya, “Apabila kamu berburuk sangka, maka janganlah kamu nyatakan (mencari pembenaran),” (HR Thabrani).


Dari dua dalil di atas dapat kita pahami bahwa melontarkan pertanyaan tentang kehalalan suatu makanan hasil pemberian dari orang lain, apabila berangkat dari berburuk sangka adalah hal yang dilarang dalam hukum syara’.


Lebih rinci lagi, Imam Al-Ghazali menyebut bahwa hukum menanyakan pada orang lain tentang kehalalan sebuah makanan disesuaikan dengan dua hal, yakni keadaan orang yang memberi makanan dan wujud makanan itu sendiri. Menanyakan kehalalan makanan menurutnya, ada kalanya wajib, haram, sunnah dan makruh. Berikut penjelasan secara rinci berkaitan dengan hal ini:


(فَرْعٌ) قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ إذَا قَدَّمَ لَك إنْسَانٌ طَعَامًا ضِيَافَةً أَوْ أَهْدَاهُ لَك أَوْ أَرَدْت شِرَاءَهُ مِنْهُ وَنَحْوَ ذَلِكَ لَمْ يُطْلَقْ الْوَرَعُ فَإِنَّك تَسْأَلُ عَنْ حِلِّهِ وَلَا يُتْرَكُ السؤال قَدْ يَجِبُ وَقَدْ يَحْرُمُ وَقَدْ يَنْدُبُ وَقَدْ يكره وضابطه مَظِنَّةَ السُّؤَالِ هِيَ مَوْضِعُ الرِّيبَةِ 


Artinya, “(Cabang Permasalahan) Imam al-Ghazali berkata dalam kitab Ihya’: “Ketika ada seseorang yang menyuguhimu sebuah makanan atau memberikan makanan kepada kamu, atau engkau hendak membeli makanan kepadanya serta keadaan sesamanya, maka sikap wira’i tidak berlaku secara mutlak dalam hal ini dengan cara engkau selalu menanyakan kehalalan makanan tersebut dan tidak pernah meninggalkan pertanyaan (tentang status kehalalan makanan pada pemberi). Tapi bertanya tentang status makanan ada kalanya wajib, haram, sunnah dan makruh. Batasannya bahwa pertanyaan dilontarkan disesuaikan dengan keadaan di mana seseorang merasa ragu (terkait status makanan tersebut).”


وَلَهَا حَالَانِ (أَحَدُهُمَا) يَتَعَلَّقُ بِالْمَالِكِ (وَالثَّانِي) بِالْمِلْكِ (أَمَّا) الْأَوَّلُ فَالْمَالِكُ ثَلَاثَةُ أَضْرُبٍ (الضَّرْبُ الْأَوَّلُ) أَنْ يَكُونَ مَجْهُولًا وَهُوَ مَنْ لَيْسَ فِيهِ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَى طِيبِ مَالِهِ وَلَا فَسَادِهِ فَإِذَا دَخَلْت قَرْيَةً فَرَأَيْت رَجُلًا لَا تَعْرِفُ مِنْ حَالِهِ شَيْئًا وَلَا عَلَيْهِ عَلَامَةُ فَسَادِ مَالِهِ وَشَبَهِهِ كَهَيْئَةِ الْأَجْنَادِ وَلَا عَلَامَةُ طِيبَةٍ كَهَيْئَةِ الْمُتَعَبِّدِينَ وَالتُّجَّارِ فَهُوَ مَجْهُولٌ - وَيَجُوْزُ الشِّرَاءُ مِنْ هَذَا الْمَجْهُولِ وَقَبُولُ هَدِيَّتِهِ وَضِيَافَتِهِ وَلَا يَجِبُ السُّؤَالُ بَلْ لَا يَجُوزُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ لِأَنَّهُ إيذَاءٌ لِصَاحِبِ الطَّعَامِ فَإِنْ أَرَادَ الورع فليتركه وان كان لابد مِنْ أَكْلِهِ فَلِيَأْكُلْ وَلَا يَسْأَلْ فَإِنَّ الْإِقْدَامَ عَلَى تَرْكِ السُّؤَالِ أَهْوَنُ مِنْ كَسْرِ قَلْبِ مُسْلِمٍ وَإِيذَائِهِ


Artinya, “Dalam hal ini ada dua keadaan. Pertama, berhubungan dengan pemilik makanan (yang hendak memberikan atau menjual makanan tersebut pada kita). Kedua, berhubungan dengan makanan tersebut. Keadaan pertama secara umum terbagi menjadi tiga pembagian:


Pertama, pemberi makanan tidak diketahui identitasnya, yakni orang yang tidak ditemukan tanda-tanda kehalalan hartanya dan tidak ditemukan tanda rusaknya (haramnya) hartanya. Ketika engkau masuk di sebuah desa, lalu engkau melihat seorang lelaki yang tak kau ketahui identitas apapun darinya dan tidak ditemukan tanda keharaman hartanya, seperti pada keadaan bala tentara. Serta tidak ditemukan tanda kehalalan hartanya, seperti keadaan orang-orang yang ahli ibadah dan para pedagang. Maka orang dalam keadaan demikian disebut orang yang majhul. 


Boleh melakukan transaksi pembelian dengan orang dalam kategori ini, begitu juga menerima hadiah dan menerima suguhan darinya. Dan tidak wajib bertanya tentang hartanya, bahkan melontarkan pertanyaan dalam keadaan demikian tidak diperbolehkan, sebab akan menyakiti hati pemilik makanan.


Jika orang yang berkomunikasi dengannya memilih jalan wira’i (kehati-hatian) maka hendaknya menjauhi makanan darinya. Jika ia berada dalam keadaan mendesak, maka boleh memakan pemberian darinya dan hendaknya tidak menanyakan status makanan tersebut. Sebab bersikap untuk tidak bertanya lebih mudah dari pada menyakiti hati seorang muslim.”


(الضَّرْبُ الثَّانِي) أَنْ يَكُونَ مَشْكُوكًا فِيهِ بِأَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ دَلَالَةٌ تَدُلُّ عَلَى عَدَمِ تَقْوَاهُ كَلِبَاسِ أَهْلِ الظُّلْمِ وَهَيْئَاتِهِمْ أَوْ تَرَى مِنْهُ فِعْلًا مُحَرَّمًا تَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى تَسَاهُلِهِ فِي الْمَالِ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ يَجُوزُ الْأَخْذُ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ وَلَا يَحْرُمُ الْهُجُومُ بَلْ السُّؤَالُ وَرَعٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ لَا يَجُوزُ الْهُجُومُ وَيَجِبُ السُّؤَالُ قَالَ وَهُوَ الَّذِي نَخْتَارُهُ وَنُفْتِي بِهِ إذَا كَانَتْ تِلْكَ الْعَلَامَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَكْثَرَ مَالِهِ حَرَامٌ فَإِنْ دَلَّتْ عَلَى أَنَّ فِيهِ حَرَامًا يَسِيرًا كَانَ السُّؤَالُ وَرَعًا 


Artinya, “Kedua, pemberi makanan adalah orang yang diragukan kehalalan hartanya. Seperti ditemukan tanda ketidak takwaannya, seperti ia mengenakan pakaian orang-orang yang zalim dan bertingkah laku layaknya mereka, atau engkau melihat ia melakukan perbuatan haram yang merupakan indikasi atas sikap meremehkannya dalam persoalan harta. Maka dalam keadaan demikian mungkin untuk dikatakan bahwa boleh mengambil makanan dari orang tersebut tanpa menanyakan padanya (tentang kehalalan makanan tersebut) terlebih dahulu dan tidak haram untuk langsung mengonsumsinya, bahkan menanyai keadaan makanan tersebut adalah sikap wira’i.”


Mungkin pula untuk dikatakan bahwa tidak boleh langsung mengonsumsinya dan wajib menanyai padanya terlebih dahulu.


Imam Ghazali berkata bahwa kemungkinan hukum kedua ini adalah yang kami pilih dan akan kami fatwakan ketika ditemukan pertanda bahwa hartanya yang paling dominan berupa harta haram. Jika ditemukan pertanda bahwa harta haramnya hanya sedikit, maka menanyai status makanan yang akan diberikan adalah bentuk sikap wira’i.


(الضَّرْبُ الثَّالِثُ) أَنْ يَعْلَمَ حاله بِمُمَارَسَةٍ وَنَحْوِهَا بِحَيْثُ يَحْصُلُ لَهُ ظَنٌّ فِي حِلِّ مَالِهِ أَوْ تَحْرِيمِهِ بِأَنْ يَعْرِفَ صَلَاحَ الرَّجُلِ وَدِيَانَتِهِ فَهُنَا لَا يَجِبُ السُّؤَالُ وَلَا يَجُوزُ أَوْ يَعْرِفَ أَنَّهُ مُرَابٍ أَوْ مُغَنٍّ وَنَحْوُهُ فَيَجِبُ السُّؤَالُ


Artinya, “Ketiga, diketahui dengan penulusuran (pada hartanya) dan sesamanya. Sekiranya muncul dugaan kuat atas kehalalan hartanya atau keharaman hartanya. Seperti diketahui kesalehan dan ketaatan lelaki tersebut pada ajaran agama, maka dalam keadaan demikian tidak wajib bahkan tidak boleh menanyai status makanan pemberian itu padanya. Atau diketahui bahwa lelaki tersebut adalah orang yang meragukan (ajaran Agama) atau seorang penyanyi (yang haram) serta profesi sesamanya maka wajib menanyai keadaan makanan yang diberikannya.”


(الْحَالُ الثَّانِي) أَنْ يَتَعَلَّقَ الشَّكُّ بِالْمَالِ بِأَنْ يَخْتَلِطَ حَلَالٌ بِحَرَامٍ كَمَا إذَا حَصَلَ فِي السُّوقِ أَحْمَالُ طَعَامٍ مَغْصُوبٍ وَاشْتَرَاهَا أَهْلُ السُّوقِ فَلَا يَجِبُ السُّؤَالُ عَلَى مَنْ يَشْتَرِي مِنْ تِلْكَ السُّوقِ إلَّا أَنْ يَظْهَرَ أَنَّ أَكْثَرَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ حَرَامٌ فَيَجِبُ السُّؤَالُ وَمَا لَمْ يَكُنْ الْأَكْثَرُ حَرَامًا يَكُونُ التَّفْتِيشُ وَرَعًا لِأَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَمْ يَمْتَنِعُوا مِنْ الشِّرَاءِ مِنْ الْأَسْوَاقِ وَكَانُوا لَا يَسْأَلُونَ فِي كُلِّ عَقْدٍ وَإِنَّمَا نُقِلَ السُّؤَالُ عَنْ بَعْضِهِمْ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لِرِيبَةٍ كَانَتْ


Artinya, “Keadaan Kedua, keraguan muncul pada harta (yang diberikan). Dengan gambaran harta yang halal bercampur dengan harta yang haram. Seperti halnya di pasar ada tumpukan makanan hasil ghasab, lalu orang-orang pasar membeli tumpukan makanan itu, maka orang yang membeli di pasar itu tidak wajib bertanya (tentang status barang/makanan yang ia beli), kecuali tampak tanda-tanda bahwa mayoritas harta yang mereka miliki adalah harta haram, maka wajib untuk bertanya. Dan ketika mayoritas harta mereka bukan harta haram, maka meneliti harta atau makanan (yang akan dibeli) adalah bentuk sikap wira’i, sebab Para Sahabat tidak membatasi diri mereka dari berbelanja di pasar dan mereka tidak bertanya (tentang status barang yang akan dibeli) pada setiap akad. Melontarkan pertanyaan hanya dinukil dari sebagian sahabat dalam beberapa keadaan karena adanya keraguan (dari mereka)” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzab, juz IX, halaman 345).


Dari referensi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa menanyakan tentang kehalalan makanan pemberian dari orang lain tidak dapat digeneralisir dalam satu hukum. Tapi sangat ditentukan oleh beberapa faktor. 


Menanyakan status makanan bisa saja wajib ketika muncul keraguan pada hati kita karena pemberi dikenal oleh kita sebagai orang yang terbiasa melakukan maksiat atau tidak taat pada ajaran Agama dan hartanya didapatkan dengan cara yang haram seperti dengan mencuri, menipu dan lain sebagainya. Bisa pula berimbas pada hukum haram, ketika pemberi adalah orang yang terkenal sebagai orang yang taat beribadah dan hartanya didapatkan dari pekerjaan yang halal.


Bisa pula dihukumi makruh ketika kita tidak mengenalnya dan tidak ditemukan tanda-tanda kehalalan ataupun keharaman dari hartanya. Dan bisa pula dihukumi sunnah ketika hartanya bercampur antara yang halal dan haram, namun harta yang haram miliknya hanya sedikit. 


Hal yang dapat dapat dijadikan parameter dalam menentukan kapan kita menanyakan kehalalan makanan pemberian adalah hati kita. kapan kita merasa ragu pada makanan tersebut karena pemberi secara penampilan atau kepribadian tampak seperti bukan orang baik maka sebaiknya kita menanyakan kehalalan makanan tersebut padanya.


Sebaliknya, jika hati kita tidak memunculkan rasa ragu, atau muncul rasa ragu tapi tanpa berdasarkan pijakan yang jelas, maka tidak dianjurkan baginya untuk bertanya. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Mauidzhat al-Mu’minin yang merupakan ringkasan kitab Ihya’ Ulumiddin menjelaskan:


أن المطلوب ثقة النفس والمفتى هو القلب في مثل هذا الموضع وللقلب التفاتات إلى قرائن خفية يضيق عنها نطاق النطق فليتأمل فيه فإذا اطمأن القلب كان الإحتراز حتما واجبا اهـ


Artinya, “Hal yang dijadikan pijakan adalah kemantapan diri dan hal yang dijadikan pijakan fatwa adalah hati dalam persoalan ini. Hati tentu dapat mempertimbangkan beberapa pertimbangan berdasarkan pertanda-pertanda yang samar dan tidak dapat dijelaskan oleh oleh ucapan, angan-anganlah hal ini. Ketika hati sudah mantap (atas kehalalan makanan) maka menjaga (untuk tidak bertanya) adalah hal yang pasti dan wajib” (Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mauidzhat al-Mu’minin, [Beirut, Darul Kutub al-‘ilmiyyah: 1995 M], halaman 124). Wallahu a’lam.


Ustadz M Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember, Jawa Timur.