Syariah

Makna Hijrah Perspektif Maqashid Syariah

Kam, 20 Agustus 2020 | 01:00 WIB

Makna Hijrah Perspektif Maqashid Syariah

Hijrah bisa bermakna perpindahan fisik, juga perpindahan sikap untuk melindungi diri.

Sebagai agama fithrah, Islam mengajarkan segala aspek kehidupan manusia. Kedatangannya menjadi rahmat bagi seluruh alam, mengajarkan pentingnya menjaga kemaslahatan kehidupan manusia dan keselamatan bersama. Ulama ushul fiqh membuat sebuah rumusan yang dikenal dengan maqashid al-syariah (tujuan pokok syariat) yang membuat hukum Islam bisa sangat dinamis. Fungsinya untuk melindungi dan menjaga hak-hak dasar manusia dan menjawab segala kepentingan hidup manusia. 


Dalam perkembangannya, maqashid al-syariah yang dalam literatur klasik mayoritas disebut terdiri dari lima kategori, sekarang menjadi enam kategori, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan memelihara lingkungan hidup. Sebagian ulama kontemporer menambahkan hifzhul bi'ah (memelihara lingkungan hidup) sebagai bagian dari tujuan pokok syariat, sementara ulama lain menganggapnya tujuan itu sudah terakomodasi dalam hifzhun nafs (melindungi jiwa manusia). 


Makna hijrah jika ditinjau dari pemahaman maqashid al-syariah adalah perpindahan dari satu tempat menuju tempat yang lain dalam rangka melindungi diri dan lingkungan dari bahaya yang mengancamnya. Secara umum Syekh Nawawi mengutip pendapat Ibnu al-'Arabi membagi hijrah menjadi dua macam, yaitu hijrah sebagai upaya menghindar dan hijrah dalam rangka mencapai suatu hal. Artikel ini hanya mengkaji makna hijrah sebagai upaya menghindar dari segala bahaya yang dapat mengancam keselamatan manusia.


الذهاب في الأرض هربا وطلبا فالأول ينقسم إلى ستة أقسام الأول الخروج من دار الحرب إلى دار الإسلام الثاني الخروج من أرض البدعة الثالث الخروج من أرض يغلب عليها الحرام الرابع الفرار من الأذية في البدن الخامس الخروج خوف المرض في البلاد الوحمة إلى إلارض النزهة السادس الخروج خوفا من الأذية في المال


“Bepergian di muka bumi disebabkan dua hal, karena menghindar atau meraih suatu hal. Bepergian karena menghindari suatu hal terbagi menjadi enam; Pertama, keluar dari lingkungan kafir harbi menuju komunitas Muslim. Kedua, keluar dari komunitas ahli bid’ah. Ketiga, keluar dari lingkungan yang berpotensi terjerumus dalam keharaman. Keempat, menghindari penyiksaan terhadap badan. Kelima, berhijrah dari satu tempat karena menghindari penyakit menuju tempat yang lebih aman. Keenam, berhijrah dari suatu tempat karena melindungi harta” (Syekh Nawawi, Syarah Arba’in an-Nawawi, tk.tp. hal. 10-11)


Jika dianalisis berdasarkan pemahaman maqashid al-syariah, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:


Pertama, hijrah yang dilakukan karena keberadaannya di lingkungan kafir harbi (memerangi umat Islam) menunjukkan adanya penjagaan terhadap keselamatan diri dalam beragama. Dalam kondisi semacam ini ada dua kemungkinan yang terjadi pada diri seorang Muslim. Kemungkinan pertama adalah mempertahankan diri dan agamanya dengan cara menghadapi serangan kafir harbi dalam rangka berdakwah. Dan kemungkinan kedua adalah berhijrah karena kehawatiran atas diri dan agamanya. Di antara bentuk menjaga agama sebagaimana diungkapkan Syekh Hamid Al-Laffaf, yang dikutip kitab Nashaihul 'Ibada​​​​​​, adalah sebagai berikut:
 

أتاه الرجل فقال له أوصني بما ينفعني في الدين قال إجعل لدينك غلافا كغلاف المصحف قيل له ما غلاف الدين قال له ترك الكلام إلا ما لابد منه ترك الدنيا من إلامتعة إلا ما لابد منه ترك مخالطة الناس إلا ما لابد منه

 

“Seseorang lelaki datang kepadanya (Syekh Laffaf) dan memohon, ‘Nasihati aku dengan sesuatu yang bermanfaat untukku dalam agama!’ Syekh Laffaf menjawab, ‘Buatlah kantung untuk agamamu sebagaimana kantungnya Al-Qur’an yang dapat melindunginya dari debu!’ Lelaki itu pun bertanya tentang apa yang dimaksud dengan kantungnya agama. Syekh menjawab, ‘Meninggalkan berbicara kecuali pada suatu hal yang mengharuskan berbicara, meninggalkan harta dunia kecuali sangat membutuhkannya, meninggalkan bercampur dengan manusia kecuali mengharuskannya’ (Syekh Nawawi, Nashaihu al-‘Ibad, Semarang: Pustaka Alawiyah, hal. 14-15).


Kedua, berhijrah meninggalkan komunitas ahli bid’ah. Ibnu al-Qashim menceritakan bahwa ia pernah mendengar seorang pemimpin mengatakan tidak halal bagi seseorang berdiam diri di tengah komunitas pembeci para ulama, demikian disebutkan dalam Arba’in an-Nawawiyah Syekh Nawawi. Hijrah kedua ini senada dengan hijrah pada poin pertama. Karena ulama adalah para pewaris nabi dalam hal menyampaikan risalah dan menyiarkan agama kepada umat manusia. Sehingga menjauhi para pembenci ulama adalah bagian dari menjaga keutuhan beragama.

 


Ketiga, berhijrah dari lingkungan yang diliputi dengan perbuatan haram. Jika tetap berdiam diri di dalamnya, besar kemungkinan dapat terjerumus dalam kemaksiatan, maka berhijrah adalah lebih baik, karena mencari halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hijrah pada poin ketiga ini bisa mengarah kepada hifzhu ad-din (menjaga agama), hifzhu al-mal (menjaga harta), atau hifzhu al-‘aql (menjaga akal), tergantung dari aspek mana pengaruh keharaman tersebut terhadap diri Muslim.


Keempat, berhijrah karena menghindari kekerasan terhadap fisik. Kekerasan yang terjadi terus-menerus tidak saja dapat menyebabkan korban menderita, bahkan bisa menghilangkan nyawa. Berhijrah demi menjaga keberlangsungan hidup seseorang lebih penting daripada membiarkan diri dalam penderitaan. Konteks ini dalam maqashid syari’ah masuk pada kategori hifzhu an-nafs (menjaga jiwa).


Kelima, berhijrah untuk menghindari suatu penyakit. Penyakit bisa disebabkan karena kurangnya bahan makanan, tempat tinggal yang tidak bersih, wabah penyakit, dan sebagainya. bagi orang beriman meyakini bahwa segala hal yang menimpa pada hamba adalah takdir Allah, akan tetapi ada kewajiban yang tidak boleh dilupakan yaitu ikhtiar. Berhijrah dari tempat yang berpotensi terjadi penyakit merupakan bentuk ikhtiar dalam mencari kehidupan yang lebih baik. Hijrah dalam hal ini termasuk dalam kategori hifzhu an-nafs dan hifzhu al-mal.


Keenam, berhijrah karena melindungi harta. Poin ini secara eksplisit menunjukkan adanya upaya hifzhu al-mal (menjaga harta). Kewajiban manusia adalah menjaga hak sesama agar tercipta ketenteraman dan kedamaian. Allah subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an menegaskan;


وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِإلاثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)ـ


“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah[2]: 188).


Harta merupakan salah satu bagian dari sekian banyak nikmat Allah untuk makhluk-Nya. Dengan harta seseorang dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan harta seseorang dapat menunaikan zakat, infak, sedekah, qurban, jihad dan ibadah haji. Hijrah menjadi solusi terbaik dalam rangka menjaga keselamatan agama, jiwa, harta, akal dan keturunan jika dimungkinkan tidak ada jalan selainnya. 


Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta