Tasawuf/Akhlak

Ini Ekspresi Hijrah Paling Asyik untuk Ragam Talenta dan Profesi Umat Hari Ini

Sab, 22 Februari 2020 | 19:30 WIB

Ini Ekspresi Hijrah Paling Asyik untuk Ragam Talenta dan Profesi Umat Hari Ini

Hijrah atau jalan ibadah yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya menekankan pada kompetensi, keahlian, dan profesionalitas dari aktivitas keseharian kita yang semakin beragam dan kompleks hari ini.

Hijrah secara bahasa adalah perpindahan. Hijrah adalah perintah agama kepada umat Islam untuk berpindah dari Kota Makkah ke Madinah. Setelah peristiwa penaklukan Kota Makkah, perintah hijrah tidak lagi berlaku secara fisik, tetapi secara rohani atau spiritual.

Belakangan makna hijrah diartikulasikan dengan perubahan fisik (seperti jenggot dan meski tidak salah), busana (pemakaian jilbab atau cadar oleh perempuan, peralihan dari bahan jeans ke celana bahan di atas mata kaki oleh laki-laki), suasana dan identitas yang dinilai lebih islami, dan ekstremnya peralihan profesi dari sebuah pekerjaan yang dianggap tidak islami atau mengandung riba hingga meninggalkan tanah air untuk bermukim di daerah konflik seperti Suriah.

Sementara ada praktik hijrah yang lebih ramah pada keragaman talenta, identitas, profesi, dan lebih peduli pada perdamaian serta kemanusiaan. Praktik hijrah ini menuntut umat Islam untuk tetap berada dalam profesinya masing-masing. Praktik hijrah ini disarikan dari Surat Al-Isra ayat 84 berikut ini:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا

Artinya, “Katakanlah, ‘Setiap orang beramal sesuai keadaannya masing-masing.’ Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Surat Al-Isra ayat 84).

Syekh M Nawawi Banten memberikan jalan taqarub kepada Allah bagi mereka yang ingin lebih baik secara spiritual tanpa harus meninggalkan profesi yang sedang digelutinya. Menurut Syekh M Nawawi, mereka dapat menuju kepada Allah tanpa harus menyita dan mengurangi waktu atas profesinya selama ini.

واعلم أن المريد لحرث الآخرة السالك لطريقها لا يخلو عن ستة أحوال إما عابد أو عالم أو متعلم أو محترف أو وال أو موحد مستغرق بالواحد الصمد عن غيره

Artinya, “Ketahuilah, orang yang menginginkan dan menempuh jalan untuk bekal kehidupan akhiratnya kelak tidak lepas dari enam jalan, yaitu ahli ibadah, orang alim, santri/pelajar/mahasiswa, perajin, pemerintah, atau ahli tauhid yang menghabiskan waktunya dengan Allah semata.” (Syekh M Nawawi, Tsimarul Yani‘ah fir Riyadhil Badi‘ah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 94).

Ahli ibadah (cocok diisi oleh kalangan pensiunan misalnya) adalah orang yang menyediakan waktunya untuk ibadah mahdhah semata. Kalau ia meninggalkan ibadah (shalat sunnah atau zikir misalnya), niscaya ia duduk menganggur sia-sia. Aktivitas (hijrah) yang paling relevan adalah menghabiskan semua waktunya untuk ibadah mahdhah.

Adapun orang alim (cocok untuk guru, tuan guru, ustadz, kiai) adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain melalui fatwa (bagi mufti), pengajaran, dan penulisan. Jika memungkinkan untuk menghabiskan waktu pada semua aktivitas itu, niscaya itu lebih utama baginya setelah shalat wajib dan shalat rawatib dibanding untuk ibadah mahdhah. Ilmu orang alim yang dimaksud di sini adalah ilmu pengantar ibadah, yaitu ilmu yang memotivasi mereka pada kehidupan akhirat, membuat zuhud mereka di dunia, dan membantu mereka menempuh jalan akhirat jika pelajaran ilmu tersebut dimaksudkan untuk membantunya bersuluk.

Adapun santri yang menuntut ilmu karena Allah lebih utama menghabiskan waktunya untuk belajar, mutalaah, dan memikirkan materi pelajaran daripada zikir dan shalat sunnah. Bahkan, masyarakat awam lebih utama menghadiri majelis nasihat, majelis ilmu, majelis taklim dibanding berzikir.

Para perajin (dan aneka profesi lain seperti guru, dosen, ustadz, pekerja negeri dan swasta, pengusaha, penyedia jasa, seniman) yang memerlukan penghidupan keluarganya tidak boleh menyia-nyiakan (kewajiban terhadap) keluarganya dan tidak boleh menghabiskan waktunya untuk ibadah mahdhah. Wiridnya di sela aktivitas kesehariannya sebagai perajin berupa mendatangi pasar dan menyibukkan diri dengan usaha. Tetapi ia tidak boleh melupakan zikir dalam aktivitas kerajinannya. Ia bahkan (harus) membiasakan diri bertasbih, zikir, dan membaca Al-Qur’an karena (hampir) semua itu memungkinkan baginya untuk menyertai aktivitas usahanya. Ketika kerepotannya selesai, ia dapat kembali menyisipi aktivitasnya dengan zikir atau ibadah sunnah.

Adapun kebijakan pemerintah–seperti kepala negara, kepala daerah, anggota dewan, hakim, dan mereka yang mengatur kemaslahatan masyarakat–atas kebutuhan publik serta pemenuhan layanan sesuai dengan ketentuan syariat dan maksud keikhlasan lebih utama daripada wirid. Kewajiban pemerintah di siang hari “ibarat kata” adalah pemenuhan kewajiban terhadap publik atau pembatasan diri pada ibadah wajib seperti shalat lima waktu. Sedangkan malam hari ia sebagai individu dapat memanfaatkan waktunya untuk berwirid.

Ahli tauhid (maqam tajrid dalam istilah Al-Hikam Al-Atha’iyyah) yang menghabiskan waktunya dengan Allah semata–yang hanya memiliki sebuah kebimbangan, yaitu cinta dan takut hanya kepada Allah, serta tidak lagi membutuhkan penghidupan dari orang lain karena rezeki sudah “datang sendiri”– (yang sudah sampai pada derajat seperti ini) tidak perlu lagi mengamalkan banyak dan ragam wirid atau ibadah.

Wiridnya selain ibadah wajib cukup hanya satu, menjaga kehadiran hati bersama Allah pada setiap hal. Ia tidak perlu mengikuti sesuatu yang terbesit dalam pikiran, yang terdengar oleh telinga, dan pemandangan yang memicu gerak mata kecuali di dalamnya terdapat “pelajaran,” pikiran, dan tambahan kebaikan.

Setiap saat yang dilaluinya seyogianya menjadi sebab penambahan derajatnya. Ini puncak derajat As-Shiddiqin. Semua itu dapat ditempuh setelah melalui pelbagai pengalaman jenis ibadah dan keistiqamahnnya. (Syekh M Nawawi, Tsimarul Yani‘ah: 94).

Dengan demikian, hijrah atau jalan ibadah yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya menekankan pada kompetensi, keahlian, dan profesionalitas dari aktivitas keseharian kita yang semakin beragam dan kompleks hari ini.

Dengan kata lain, hijrah tidak harus diartikan perubahan atas penampilan fisik dan profesi yang sudah berjalan selama ini sejauh tidak bertentangan dengan syariat. Hijrah bukan juga hanya berisi satu jalan, yaitu ibadah mahdhah, apalagi mendatangi daerah konflik sebagai partisan di dalamnya. Hijrah memiliki banyak cara dan manifestasi.
 
Hijrah atau jalan ibadah yang diterangkan oleh Syekh M Nawawi Banten tidak membuat masyarakat menjadi seragam. Hijrah justru mendukung identitas, talenta, dan profesi masyarakat yang semakin beragam dan kompleks. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)