Syariah

Marak Order Fiktif, Bagaimana Jaminan Perlindungan terhadap Ojol?

Ahad, 12 September 2021 | 14:00 WIB

Marak Order Fiktif, Bagaimana Jaminan Perlindungan terhadap Ojol?

Marak Order Fiktif, Bagaimana Jaminan Perlindungan terhadap Ojol? (Ilustrasi)

Sudah kesekian kalinya, terjadi kasus order fiktif (pesanan fiktif) oleh pihak yang mengaku sebagai konsumen layanan ojek daring atau ojek online (ojol).

 

Seperti diberitakan oleh DetikFood, awal September yang lalu, ada driver Shopeefood yang mendapatkan order fiktif pembelian Steak senilai Rp490 ribu. Namun, saat order itu ditunaikan dan selanjutnya dikirim ke alamat pemesan, ternyata pihak pemesan membatalkan secara sepihak dan tidak bisa dihubungi.

 

Dalam pemberitaan tersebut juga sempat menyinggung kasus serupa sebelumnya yang pernah dialami oleh driver ojol yang lain di Balikpapan, Kalimantan Timur.

 

Setidaknya, persoalan order fiktif ini memantik tanda tanya, sudah sejauh manakah perlindungan terhadap driver ojol diberikaan oleh pihak penyelenggara jasa layanan?

 

Larangan Melakukan Bisnis yang Tak Berjamin Hukum

Baginda Nabi saw telah melarang melakukan transaksi bisnis yang tidak berjamin hukum (naha rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘an ribhi ma lam yudlman).

 

Ruang lingkup jaminan (dlaman) di dalam Islam itu mencakup 4 hal, yaitu terhadap utang (dain), barang (ain), pekerjaan (fi’lin), dan hak (haqqu al-adamy).

 

Dalam kasus ojol sebagaimana kasus di atas, terjadi tidak hanya pada barang dan utang, melainkan juga pada pekerjaan dan hak keselamatan harta bendanya.

 

 

Yang Wajib Menanggung Ganti Rugi akibat Order Fiktif

Order dikenal sebagai akad salam atau biasa disebut juga sebagai akad bai’ syaiin maushufin fi al-dzimmah (jual beli sesuatu yang karakteristiknya jelas dan dijamin). Akad ini pada dasarnya juga merupakan akad utang (ma fi al-dzimmah).

 

Di saat pihak jasa layanan berani mengadakan sebuah sarana akad pemesanan barang melalui peran akad utang, maka risiko yang harus diambil oleh pihak penyelenggara jasa layanan tersebut adalah harus siap menanggung klaim kerugian dari pihak driver ojol apabila terjadi kasus order fiktif. Mengapa?

 

Di dalam Islam, pihak yang menjadi sebab langsung (mubasyir) terjadinya kerugian (dlarar), merupakan yang bertanggung jawab atas kasus kerugian itu. Alhasil, pihak pertama yang wajib membayar kompensasi ganti rugi adalah pihak perusahaan ojol.

 

Selanjutnya, bagaimana bila pihak jasa layanan ojol tidak mau menanggung ganti kerugian akibat order fiktif?

 

Apabila pihak penyelenggara jasa layanan tidak mau menanggung ganti rugi, maka itu artinya bisnis jasa layanan tersebut berlaku sebagai yang tak berpenjamin.

 

Secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh terhadap jenis akad yang terjadi pada jasa layanan tersebut. Akad salam atau bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah ini menjadi akad yang rusak dan terlarang sebab adanya unsur spekulasi (maisir) dan ketidakpastian (gharar) pada pihak driver.

 

Perlu diketahui bahwa akad salam merupakan akad yang dibolehkan dalam Islam karena adanya hajat kebutuhan. Di dalamnya sudah ada satu ketidakpastian sebab salah satu harga dan barang tidak bisa diserahkan di awal transaksi.

 

Apabila tidak ada harga yang diserahkan di muka, maka harga tersebut berlaku sebagai utang (ma fi al-dzimmah). Jika utang itu tidak bisa dipastikan penunaiannya (luzumah fi al-dzimmah), maka di sinilah timbul ketidakpastian yang kedua (gharar tsani). Islam melarang terjadinya praktik multi-gharar dalam satu akad (irtikabu al-dlararain). Alhasil, hukumnya menjadi haram.

 

Lantas bagaimana solusinya agar tetap berlaku halal? Maka, jawabannya sudah bisa ditebak, yaitu berikan jaminan perlindungan terhadap driver ojol dari order fiktif!

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Pakar Bidang Ekonomi Syariah Asnuter PWNU Jawa Timur