Mark Up Harga Pulsa untuk Downline Aplikasi PPOB, Apakah Halal?
Senin, 15 Februari 2021 | 13:30 WIB
Pada dasarnya setiap akad muamalah itu hukumnya boleh, kecuali bila ditemui adanya illat keharaman di dalamnya yang dilarang oleh syara’.
Muhammad Syamsudin
Kolomnis
Assalamu'alaikum, Ustadz. Izin bertanya. Begini Ustadz, di dalam server/aplikasi penjualan pulsa dan lain-lain, jika ada agen pulsa yang bisa mengajak orang lain untuk jualan pulsa dan mendaftar melalui dirinya atau mendaftar sendiri di aplikasinya dengan memakai kode referal si agen, maka otomatis orang tersebut menjadi downline dari pemilik kode referal. Dan ketika si agen mempunya downline, maka agen ini bisa mendapatkan komisi dari setiap transaksi penjualan yang dilakukan oleh orang yg dia rekrut/daftarkan untuk berjualan pulsa tadi (downline), dengan perbandingan pendapatan dari komisi antara 25 rupiah, 50, 70, hingga maksimal 100 rupiah, tergantung berapa selisih harga yang di mark up oleh si agen terhadap para downline-nya. Padahal, harga dari pusat (owner), semisal modalnya pulsa itu sebesar 5.000, maka bagi si agen mendapatkan 5.100. Namun, karena adanya mark up/selisih harga yang dinaikkan oleh agen untuk downline-nya, maka harga pada downline menjadi 5.200, dan selisih sebesar 100 itu menjadi komisi bagi si agen. Apakah yg demikian ini boleh, Ustadz? Apakah komisi-komisi yang didapat dari hasil mark up harga itu halal? Sekian, terima kasih atas jawabannya!
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala senantiasa menaungi kita semua! Shalawat serta salam semoga terlimpah ke hadirat Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarganya dan sahabatnya!
Penanya yang budiman! Pada dasarnya setiap akad muamalah itu hukumnya boleh, kecuali bila ditemui adanya illat keharaman di dalamnya yang dilarang oleh syara’.
Mengulak pulsa seharga 5000 rupiah, lalu dijual kepada konsumen seharga 5.100 rupiah, hukumnya boleh. Demikian halnya, mengulak pulsa seharga 5.100 rupiah, lalu Anda jual kepada orang lain seharga 5.200 rupiah, hukumnya juga boleh. Keuntungan yang didapat adalah halal.
Kehalalan praktik semacam ini sudah pasti dengan catatan: pulsa yang dibeli itu bisa diserahkan kepada pembelinya, dan harga pembelian pulsa itu diterima oleh penjual. Syarat seperti ini dikenal dengan istilah imkan al-qabdli dan imkan al-taslim.
Namun, dewasa ini, aktivitas jual beli pulsa dan sistem keagenan, diperantarai oleh sebuah aplikasi, yang dikenal dengan istilah PPOB (payment point online bank). Kita bisa menyederhanakan istilah ini sebagai layaknya loket pembayaran online satu pintu. Kenapa ada istilah satu pintu? Sebab hampir banyak jasa layanan yang membutuhkan pembayaran langsung, bisa dilakukan lewat aplikasi tersebut dengan basis akad ijarah maushuf fi al-dzimmah.
Apakah aplikasi PPOB ini termasuk yang maslahat ataukah termasuk yang mudarat?
Melalui beberapa penelusuran data hasil penelitian ilmiah, didapatkan penjelasan bahwa masyarakat banyak terbantu karena keberadaan aplikasi PPOB. Mereka tidak perlu keluar rumah, meninggalkan kantor, melakukan antrean pembelian atau pembayaran, dan sejenisnya yang masih banyak lagi. Alhasil, aplikasi ini secara teknologi, memang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga kehadirannya termasuk membawa maslahat.
Titik Tengkar Masalah PPOB
Meskipun aplikasi PPOB ini teridentifikasi sebagai alat yang membawa maslahat, namun ada beberapa hal yang tidak bisa dihindari, bila jasa aplikasi tersebut dipasarkan, antara lain:
- Untuk membuka sub keagenan, dibutuhkan kerja pemasaran
- Pihak yang melakukan pemasaran sub keagenan, harus tetap mendapatkan peluang keuntungan akibat jasa pemasarannya. Itu sebabnya harus disediakan mekanisme yang menyediakan keuntungan tersebut.
- Membuka jasa PPOB tidak bisa dikerjakan oleh semua orang, sebab dibutuhkan modal yang tidak sedikit, dan jaminan bisnis yang harus bisa mendatangkan keuntungan bagi agen dan sub agen lewat aksi jual beli/ijarah. Bahkan, rasulullah shallallahuh ‘alaihi wasallam telah melarang melakukan aktivitas bisnis yang tidak menjamin adanya keuntungan.
- Salah satu mekanisme agar tetap bisa menjaga status keagenan tersebut, maka dibutuhkan upaya referal.
- Pendapatan Agen dan Sub Agen, tetap bisa dijamin datangnya lewat aksi jual beli, dan semata-mata bukan karena pencarian anggota, sehingga tidak ada illat terjadinya praktik ighra’ yang dilarang oleh syara’. Sebagai catatan, bahwa ighra’ merupakan praktik lalainya pihak agen dan sub agen dari melakukan aktivitas jual beli karena barang yang dijual tidak menjamin datangnya keuntungan, dan beralih ke tugas lain yang dianggapnya mendatangkan keuntungan, yaitu mencari anggota. Dan hal semacam ini tidak ditemui pada praktik bisnis PPOB.
Mekanisme Akad yang Berlaku atas PPOB
Setelah mencermati bahwa aktivitas bisnis semacam PPOB ini merupakan yang maslahat, serta tidak ditemukan adanya aktivitas ighra’ di dalam jaring bisnis tersebut, sehingga berujung tidak adanya pihak yang dirugikan (dlarar), maka secara tidak langsung dapat berakibat pada cara pembacaan akad keagenan PPOB, antara lain sebagai berikut:
Pertama, sebagai keumuman bahwa munculnya selisih harga jual sebesar 100 rupiah adalah lahir bukan karena aksi jual beli, melainkan karena aktivitas referral. Padahal, seandainya tanpa adanya aktivitas referral pun, pihak penjual juga pasti akan menaikkan harga sebesar 100 rupiah kepada pembelinya dalam rangka mengambil keuntungan. Itu sebabnya, karena referral adalah merupakan bagian kelaziman yang tidak bisa dihindari dalam PPOB, maka akhirnya memaksa timbul yang dinamakan dengan istilah income pasif (bonus/reward). Tidak diragukan lagi, bahwa komisi atas referral ini merupakan buah dari akad ju’alah (prestasi).
Kedua, sebuah bonus/reward/komisi adalah merupakan bagian yang sah, dan sekaligus merupakan pendapatan yang halal diterima oleh seseorang, dengan syarat bila datangnya bonus tersebut berasal dari pihak perusahaan (ja’il/penyuruh kerja), dan bukan dari pihak anggota secara langsung. Bonus yang datang dari pihak ja’il adalah memenuhi syarat sebagai ju’lu (komisi). Bonus yang datang dari aktfiitas perekrutan anggota, merupakan bonus yang fasid, buah dari akad ju’alah fasidah.
Ketiga, karena bonus yang sampai ke agen (upline) adalah buah dari relasi akad jual belinya sub agen dengan konsumen, maka bonus yang sampai kepada agen (upline), merupakan yang diduga kuat (madhinnah) berasal pihak ja’il (perusahaan), dan bukan dari pihak sub agen secara langsung.
Keempat, sebagai faktor penguat (murajjih) bahwa bonus tersebut berasal dari pihak perusahaan (ja’il) adalah setiap transaksi yang diperantarai oleh sub agen, senantiasa disetor kepada perusahaan secara langsung, dan bukan kepada agen (upline) yang ada di atasnya. Selanjutnya, pihak agen menerima komisi dari perusahaan.
Baca juga: MLM yang Diharamkan dan yang Diperbolehkan
Kesimpulan Hukum
Karena tuntunan zaman, PPOB hadir untuk memudahkan masyarakat untuk melakukan pembayaran jasa berbagai kebutuhan sehari-hari, antara lain: jasa tagihan PDAM, tagihan listrik pra bayar, tagihan telepon, pembelian tiket pesawat, dan lain sebagainya. Seluruhnya dikemas dalam satu aplikasi yang memerankan diri sebagai loket pembayaran online satu pintu, PPOB.
Untuk membuka jasa layanan PPOB dibutuhkan banyak modal sehingga tidak semua orang bisa melakukannya. Alhasil, bagi agen dan sub agen yang membukanya, tetap dijamin bisanya mendapatkan keuntungan dari aktivitas bisnis yang dilakukannya dan jauh dari unsur adanya ighra’.
Karena untuk membuka sub keagenan dibutuhkan referensi dari pihak agen yang sudah membuka duluan, maka akad jual beli beralih statusnya menjadi akad jualah (sayembara), di mana pihak yang berperan selaku pemberi pekerjaan (ja’il) adalah perusahaan penyedia layanan PPOB tersebut. Alhasil, perubahan akad bisnis dari jual beli/ijarah menjadi akad ju’alah ini didasarkan karena adanya dlarurah li al-hajah, karena faktor tuntutan zaman yang sudah berubah.
Adanya komisi akibat akad jualah merupakan sah, bila komisi tersebut datang langsung dari pihak perusahaan, dan bukan datang dari sub agen yang menjadi downline. Komisi PPOB merupakan yang kuat diduga berasal dari perusahaan, alhasil hukumnya adalah boleh, serta komisi tersebut adalah halal. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua