Syariah

Mengenal Imam al-Hafiz al-Iraqi: Ulama Multidisipliner sejak Usia 8 Tahun

Sab, 8 Juli 2023 | 16:00 WIB

Mengenal Imam al-Hafiz al-Iraqi: Ulama Multidisipliner sejak Usia 8 Tahun

Salah satu madrasah di Kairo Mesir. (Foto: NU Online/Freepik)

Salah satu ulama tersohor pada abad ketujuh hijriyah adalah Imam al-Hafiz al-Iraqi. Ia merupakan salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’iyah yang sangat diperhitungkan pendapatnya oleh para ulama pada masanya. Kontribusi dan sumbangsihnya dalam dunia keilmuan begitu vital dan sangat berarti, khususnya dalam disiplin ilmu fiqih.


Namun, di balik kesuksesan ulama yang satu ini, terdapat kisah menyedihkan yang bisa menjadi batu sandungan dalam rihlah keilmuannya, yaitu tumbuh sebagai sosok anak yatim. Ya, ia adalah seorang anak yatim tepat pada usianya menginjak 3 tahun. Ayahnya wafat dan ia hidup berdua dengan ibunya.


Kendati demikian, tumbuh sebagai sosok seorang anak yatim tidak menghilangkan semangat dan tekadnya untuk menuntut ilmu. Tidak adanya senyum dan dukungan dari seorang ayah tidak lantas melemahkan semangatnya untuk meraih cita-cita mulia menjadi orang yang memiliki ilmu luas dan mendalam.


Nama Lengkap dan Tahun Kelahirannya

Syekh Muhammad Hasan bin Aqil dalam salah satu karyanya yang berjudul, al-Mukhtaru al-Mashun min A’lami al-Qurun, mengatakan bahwa ia bernama lengkap al-Hafiz al-Iraqi Abdurrahim bin Abdurrahman az-Zain Abul Fadl al-Kurdi ar-Razani al-Mishri asy-Syafi’i.


Para ulama berbeda pendapat perihal tanah kelahirannya. Menurut Syekh Muhammad Hasan, Imam al-Hafiz al-Iraqi lahir di Mesir, sebagaimana yang disandarkan pada namanya, yaitu al-Mishri. Sedangkan menurut Syekh Musthafa bin Kahthan dalam kitab al-Auham al-Waqi’ah fi Asmail Ulama wa al-A’lam, ia dilahirkan di kota Irbil, Ibu Kota Kurdistan Irak, sebagaimana yang dinisbatkan kepada namanya, yaitu al-Iraqi (bangsa Irak), tepatnya pada tahun 725 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1325 Masehi.


Rihlah Keilmuan al-Iraqi

Kendati masih menuai pro-kontra antara para ulama perihal tanah kelahirannya, yang pasti Imam al-Hafiz al-Iraqi tumbuh besar di Mesir. Di tempat itulah awal mula rihlah keilmuannya dengan berguru kepada ulama-ulama tersohor.


Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, al-Iraqi tumbuh sebagai sosok yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya ketika usianya baru menginjak 3 tahun, sehingga ia harus pulang-pergi mencari guru untuk belajar kepadanya. Kendati yatim, semangat dan dan tekadnya tidak pernah berkurang, apalagi hilang. Ia terus konsisten belajar ilmu agama, sekalipun harus dengan cara pulang-pergi di usia yang masih sangat muda.


Pada mulanya, ia belajar tentang Al-Quran dan juga mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya sebagai kitab suci umat Islam dan dalil paling otoritatif yang harus dijadikan pedoman. Ia belajar kepada Imam Burhanuddin al-Qirathi, salah seorang ulama ahli Al-Quran di Mesir pada masa itu.


Di bawah bimbingan al-Qirathi, al-Hafiz al-Iraqi tumbuh sebagai anak yang sangat cerdas dan tangkas. Semua ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya berhasil ia lahap dan ia hapal dengan sempurna. Bahkan al-Qirathi memuji kecerdasan dan ketangkasannya. Dengan kecerdasan dan ketangkasan itulah ia berhasil menghapal Al-Quran di usia yang masih sangat muda.


Setelah beberapa tahun belajar kepada al-Qirathi, ia kemudian mempersilahkan muridnya tersebut untuk melanjutkan rihlah keilmuannya kepada ulama-ulama lain di Mesir pada masa itu. Ini karena semua ilmu yang ada dalam dirinya sudah berhasil diraih oleh al-Iraqi tanpa tersisa sedikit pun.


Perintah dari gurunya langsung ia penuhi. Ia melanjutkan rihlah keilmuannya kepada ulama-ulama tersohor lainnya di kota Mesir. Saat itu, target utama ilmu yang akan ia pelajari adalah ilmu fiqih, sehingga ia memilih Imam Ali bin Utsman al-Mardini, yang masyhur dengan sebutan at-Turkumani al-Hanafi, dan Shadruddin Abul Fath al-Mishri, dan beberapa ulama lainnya.


Di bawah bimbingan dua ulama besar di Mesir itu, kecerdasan dan ketangkasan al-Iraqi semakin tampak. Ia benar-benar dilahirkan sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, yang akan menjadi panutan para ulama di masa itu dan masa setelahnya. Bukti dari kecerdasannya ini adalah ia sudah bisa menghapal banyak kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Shalih al-Afani dalam karyanya, Shalahu al-Ummah fi ‘Uluwi al-Himmah, ia mengatakan:


حَفِظَ الْقُرْاَنَ وَهُوَ اِبْنُ ثَمَانٍ وَالتَّنْبِيْهَ وَأَكْثَرَ الْحَاوِيْ، وَكَانَ رُبَّمَا حَفِظَ فِي الْيَوْمِ أَرْبَعَ مِائَةِ سَطْرٍ


Artinya, “(al-Hafiz al-Iraqi) sudah berhasil menghapal Al-Quran di usia delapan tahun. Ia juga menghapal kitab at-Tanbih dan kebanyakan kitab al-Hawi. Dan, terkadang ia bisa menghapal dalam satu hari sebanyak 400 tulisan.”


Setelah berhasil menguasai banyak ilmu pengetahuan, apakah Imam al-Hafiz al-Iraqi mersa cukup, dan berhenti untuk mencari ilmu? Tidak. Inilah yang patut ditiru dari sosok seorang Imam al-Iraqi yang selalu haus akan ilmu pengetahuan.


Setelah rihlah keilmuannya di Mesir itu, ia masih melanjutkan rihlah keilmuannya untuk berkelana mencari guru agar bisa mendapatkan ilmu darinya. Bahkan, tidak hanya satu negara yang ia datangi setelah dari Mesir, di antaranya adalah Damaskus, Baghdad, Palestina, Maroko, dan negara lainnya yang masyhur dengan negara yang agamis.


Di beberapa negara tersebut, ia tidak hanya menguasai satu dan dua ilmu saja, namun semua cabang ilmu syariat Islam berhasil ia kuasai dengan sempurna, di antaranya adalah Hadits, fiqih, ushul fiqih, kaidah fiqih, tafsir, nahwu, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Ia juga bisa merumuskan dan menulis ilmu-ilmu yang ia dapatkan. Karenanya, ia tidak hanya dikenal sebagai ulama yang sangat alim, namun juga dikenal sebagai ulama yang sangat produktif, karena telah berhasil menelurkan banyak karya yang bisa kita pelajari hingga saat ini.


Karya dan Pengaruhnya

Kitab karya al-Hafiz al-Iraqi sangat banyak jumlahnya, di antaranya: (1) Taqribu al-Asanid wa Tartibu al-Masanid; (2) Tharhu at-Tatsrib fi Syarhi at-Taqrib; (3) Takhriju Ahaditsi Ihya Ulumiddin; (4) Ikhbarul Ahya bi Akhbari Ihya; (5) Nazhmu ‘Ulumil Hadits; (6) Kitab fil Marasil; (7) at-Tabshirah wa at-Tadzkirah; (8) at-Tahrir fi Ushulil Fiqih; (8) al-Fiyah fi Gharaibi al-Quran; (9) Nazhmu ad-Durar as-Sunniyah Manzhumah fis Sirah an-Nabawiyah; (10) Syarh at-Tirmidzi; dan masih banyak lagi karyanya.


Dengan keilmuannya yang sangat mendalam dan luas, akhirnya ia menjadi referensi umat Islam pada masa itu hingga saat ini. Pengaruhnya dalam penyebaran Islam sangat vital. Keberadaannya bisa menjadi sumber hidayah bagi orang-orang yang hendak memiliki ilmu pengetahuan. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Imam Ibnu Hajar al-Haitami.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur